"Baiklah, saya jelaskan sekarang biar kamu tahu. Tapi janji, jangan sampai kamu sebarkan ke orang lain, karena ini masih rahasia. Belum banyak orang yang tahu".
"Iya, lu sonde percaya beta ko ?", saya berusaha atau pura-pura meyakinkan Boros.
Boros mendekati saya duduk di samping kiri. Mulutnya sejajar dengan kuping, jaraknya begitu dekat. Saya merasa sedikit geli merasakan hembusan nafas Boros di daun telinga. Meski begitu, saya berusaha tenang mendengar apa yang dibisikkan Boros.
"Bro, kalau angkutan umum itu bisa kita lihat rute perjalanannya tanpa perlu bertanya, dari mana dan mau ke mana, karena tertulis jelas di bagian muka. Misalnya, Nasipaf-Kupang P/P; Kupang-Atambua P/P; Ruteng-Lembor P/P, dll. Beda kalau pesawat terbang, di badan pesawat tidak ada tulisan rute perjalanannya. Kondisi itulah yang membuat kita selalu bertanya di petugas bandara, mana pesawat yang hendak ke Jakarta, dsb. Makanya, saat pesawat tadi mau mendarat, walaupun jarak kita melihat tidak terlalu jauh, kita tidak tahu itu pesawat datang dari mana".
Saya tercengang, tidak bisa berkomentar apa-apa. Saya hanya bisa mengambil ranting kering di hadapan kami, kemudian mematahkannya menjadi bagian yang kecil-kecil.
"Ingat, ini rahasia kita Bro", Boros kembali mengingatkan saya dengan mimik serius.
Saya mengangguk saja. Dalam benak saya berdoa, "Tuhan, segera kayakan si Boros. Jadikanlah dia sebagai salah satu pemilik maskapai penerbangan swasta di Indonesia, khusunya NTT. Dengan begitu, impiannya untuk menuliskan rute tetap di badan pesawat bisa terwujud, Amin".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H