Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

SAWANG SINAWANG

6 Agustus 2015   22:33 Diperbarui: 6 Agustus 2015   22:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sawang Sinawang"][/caption]

Setiap pagi, hampir saya melewati jalan atau rute yang sama. Dari starting point, Semolowaru Praja Kavling 8, saya keluar menuju jalan utama. Sedikit melanggar lalu lintas, saya lawan arus menuju Kampus Untag, kemudian belok kanan melewati jalan Manyar Rejo III. Hingga ujung jalan, saya tiba di jalan Manyar Rejo, lalu belok kiri hingga di perempatan yang ada traffic-light atau yang biasa kita sebut di perempatan lampu merah.

Jika lampu yang berwana merah menyalah, saya beristirahat sejenak, tapi tangan kanan harus selalu stand by pada stang kanan  agar gas sepeda motor butut yang saya kendarai tidak mati. Begitu lampu hajiau bersinar, langsung tanjap gas, membelokkan ke arah kanan menuju jalan Manyar, melewati jalan Raya Menur, hingga tiba di jalan Karang Menjangan. Di sanalah tujuan saya, tempat praktek profesi ners.

Hingga pukul 15.00 saya kembali ke kost. Masih melewati jalan yang sama seperti saat berangkat, hanya saja dengan rute sebaliknya. Kesannya membosannkan, karena hanya melihat pemandangan yang sama. Bahkan pengalaman yang dirasakan hampir sama. Misalnya saat melewati pasar Menur saat pagi hari, tangan atau kaki kita harus siap-siang menarik atau menginjak pedal rem. Penjual dan pembeli yang menggunakan hampir sebagian jalan menyebabkan macet, dan jika tidak hati-hati bisa saja kita menabrak orang atau kendaraan lain.

Tapi, selain pengalaman yang membosankan tersebut, ada juga pengalaman lain. Ini tentunya bersifat pribadi. Saya tidak tahu, apakah dialami oleh orang lain seperti Anda atau tidak ? Dan yang menyeramkan, saya selalu bertanya-tanya, pikiran saya itu masih tergolong normal atau tidak ?

Begini, saat melewati jalan Manyar, saya melihat kerumunan orang di pinggir jalan, tepatnya di trotoar. Ramai sekali. Selain orang, kendaraan yang diparkir juga cukup banyak. Dari jauh, kelihatan di sana ada yang sedang menjual makanan. Karena penasaran, saya pernah mampir. Ternyata itu tempat jual nasi pecel. Warung dadakan itu sangat laris. Pembeli bahkan harus rela mengantri berlama-lama. Padahal masih banyak warung lain dekat situ yang menjual jenis makanan yang sama. Melihat itu, tiba-tiba saya berpikir, andaikan saya bisa memasak pecel yang selaris itu, lebih baik menekuni bisnis tersebut dibanding setiap hari mondar-mandir ke tempat praktik.

Tidak berhenti di situ. Di depan RSJ Menur, saya melihat banyak angkot line N. Saya perhatikan para dengan santai mengendalikan mobilnya. Tidak terlihat kecemasan di wajahnya. Sedangkan saya selalu cemas melihat kemacetan, jangan sampai terlambat tiba di tempat praktik, lalu dikenai sanksi. Saat itu saya kemudian berpikir lebih baik jadi sopir angkot. Kelihatannya mudah, hanya menginjak tiga pedal (gas, rem, dan kopling) dan mengendalikan stir. Bisa juga sambil menikmati musik, mendengar berita lewat radio lokal, bercengkerama dengan penumpang, dan sebagainya. Pokoknya terlihat menyenangkan.

Begitu juga saat saya melihat penjual sate di pasar Menur, tukang parkir dan satpam di tempat praktik, penjual mie ayam di warung pojok RS, dan masih banyak lagi. Ada perasaan ingin menjadi seperti mereka, melakukan apa yang mereka kerjakan. Terlihat mudah, mereka sangat menikmatinya.

***

Pemikiran saya yang aneh itu terus menjadi diskusi hangat dengan teman kelompok praktik. Saat itu jam istirahat, terjadilah diskusi ringan antara saya, dan tiga orang teman lainnya. Saya takut mereka tidak mau diekspose namanya, biar saya gunakan inisial saja. Mereka adalah Mas DS, Mbak CV, dan Mas DR.

Berawal dari saya yang menceritakan pengalaman seperti di atas, lalu bertekat  untuk menekuni binis mie ayam suatu saat nanti selain menjalani profesi sebagai perawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun