Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

A Beautiful Mind & Act (Acceptance and Commitment Therapy)

17 Januari 2015   21:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup lama saya jedah menulis di blog ini. Sebenarnya aktivitas menulis terus saya latih yang saya tuangkan di dinding facebook. Pada akhirnya nanti, tulisan-tulisan lepas di FB akan saya pindahkan lagi ke sini. Harapannya catatan-catatan tersebut bisa terdokumentasi dengan baik, siapa tahu suatu saat akan bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Kali ini saya akan bercerita tentang film yang saya nonton kemarin dengan judul “A Beatiful Mind”, dikaitan dengan ACT (Acceptance and Commitment Therapi). ACT itu adalah suatu terapi psikologis, dimana menjadi tema utama penelitian saya baru-baru ini untuk penulisan skripsi. Agar bisa menemukan korelasinya, ada baiknya saya menjelaskan satu per satu. Saya membaginya ke dalam 2 subtopik sesuai judul di atas.

A Beautiful Mind

Film ini merupakan kisah nyata, dimana menceritakan kehidupan seorang ahli matematika berkebangsaan AS, bernama John Forbes Nash. Mungkin diantara Anda sudah banyak yang telah menonton, karena bukan kategori film baru (Sudah beredar tahun 2001). Selain itu, buku biografinya juga sudah beredar sejak lama (tahun 1998). Hanya saja, saya baru mendapatkan film tersebut belum lama ini, sehingga izinkan untuk diceritakan ulang secara ringkas.

Dalam film tersebut, digambarkan secara jelas karakter seorang John Nash yang eksentrik (berbeda dengan yang lainya), tidak suka bergaul, cerdas, dan suka mengobservasi kejadian-kejadian di sekitarnya. Saat menempuh kuliah doktoralnya, Nash jarang hadir ke kelas. Baginya, belajar di kelas menghambat keaslian pemikirannya dan membosankan.

Kaca jendela ruangan tidurnya dijadikan tempat menulis rumus matematika yang rumit. Rumus-rumus tersebut dijabarnya berdasarkan observasi pergerakan burung-burung di halaman kampus, kejadian penjambretan tas seorang wanita, dan lainnya. Sebagian besar waktunya digunakan untuk berpikir tentang rumus-rumus tersebut. Kadang dia merasa frustasi, hingga membenturkan kepalanya di jendela.

Tanpa disengaja, saat melewati malam bersama temannya di sebuah bar, dia mendapat inspirasi terkait temuannya. Bagi saya, adegan ini sangat menarik, sehingga perlu dideskrisikan lagi.

Malam itu, meski sedang berada di bar, Nash tetap bergelut dengan catatannya yang dipenuhi rumus matematika. Dari wajahnya, nampak sekali dia lelah dan murung karena belum menemukan jawaban atas teori baru yang sedang digodok. Sementara itu, 3 orang temannya yang lain sedang asyik menikmati minuman ditemani alunan musik.

Tiba-tiba, lima orang gadis memasuki bar. Diantara mereka, ada satu gadis yang sangat cantik dan berambut pirang. Spontan teman-teman Nash melontarkan isyarat untuk mendapatkan gadis tersebut. Salah sat temannya berkata, : “Adam Smith berkata, dalam persaingan, ambisi perorangan melayani kepentingan umum. Setiap orang untuk dirinya sendiri”. “Dan bagi siapa yang menyerangnya, akan terjebak dengan teman-temannya”, teman yang lain ikut menimpali.

Nash diam saja. Pandangannya tertuju pada gadis cantik berambung pirang tadi. Dia terpesona dan memperoleh inspirasi darinya. “Teori Adam Smith perlu direvisi”, tiba-tiba Nash angkat bicara. Teman-temanya terhenyak mendengar apa yang dikatakannya.

Nash melanjutkan penjelasannya,: “Kalau kita semua (4 orang) menghampiri Si Pirang, kita akan menghalangi satu sama lain. Tidak ada satu pun dari kita yang akan mendapatkannya”. Nash menjelaskan kemungkinan yang terjadi jika mereka berempat sama-sama merebut satu gadis yang sama (si pirang) dan mengabaikan 4 gadis yang lain. “Jadi kalau kita menghampiri teman-temannya, tetapi mereka semua akan memberikan kata penolakan karena tidak ada yang suka jadi pilihan kedua”.

Tanpa henti, Nash terus melanjutkan penjelasannya,: “ Nah, bagaimana jika tidak ada yang menghampiri Si Pirang ? Kita tidak akan menghalangi  satu sama lain, dan kita tidak menghina gadis-gadis yang lain. Itulah satu-satunya cara kita menang”. Nash kemudian menyimpulkah bahwa teori Smith yang mengatakan hasil terbaik datang dari semua orang dalm kelompok yang melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri, itu belumlah lengkap. Perlu direvisi menjadi, hasil terbaik akan datang dari semua orang dalam kelompok melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.

Pemikiran itulah yang menjadi inspirasi penemuan teori Nash hingga berhasil meraih gelar doktor. Setelah menyelesaikan studinya, Nash bertugas di laboratium dan mengajar di MIT (Massachusetts Institute of Technolog).

Hingga akhirnya, Nash diketahui mengidap Skizofrenia paranoid. Nash mengalami delusi. Dia berhalusinasi tentang orang asing yang  memintanya bekerja sebagai mata-mata untuk memecahkan kode rahasia dari berbagai surat kabar. Awalnya, tokoh dalam halusinasinya berperilaku baik, dalam artian tidak mengancam keselamatan. Lama-kelamaan, bayangan itu menunjukkan adengan yang mencekam, terjadi saling membunuh.

Kondisi tersebut sangat mengganggu kehidupan rumah tangganya. Istrinya yang sedang hamil bingung dengan tingkah laku Nash. Dia menjadi paranoid, melihat bayangan orang-orang asing yang seolah-olah mengejarnya. Dia berlari, mengamuk sendiri. Orang yang melihat semuanya heran.

Akibat gangguan tersebut, Nash dirawat di rumah sakit jiwa. Berbagai terapi dijalaninya, termasuk terapi koma insulin. Setelah melewati terapi di rumah sakit, Nash melanjutkan pengobatan di rumah. Dia harus rutin minum obat tepat waktu. Namun, efek samping obat – tubuh menjadi kaku, air liur menetes tanpa sadar-, membuat dirinya membuang setiap obat yang diberikan istrinya. Karena tidak lagi mengkonsumsi obat, halusinasinya muncul kembali.

Kali ini, bayangan yang dilihatnya semakin menakutkan. Bahkan mereka memaksa Nash membunuh istrinya. Karena terbawa dengan halusinasi tersebut, Nash mendorong istrinya yang sedang menggendong bayi mereka hingga jatuh. Pikiran Nash makin berkecamuk. Bayangan dan suara makin menganggunya dan begitu menakutkan.

Namun, dirinya bisa menyadari bahwa tokoh yang ada dalam bayangannya tidak nyata. Dia berusaha melawan halusinasinya sendiri, meski istrinya sempat ingin membawa kembali ke rumah sakit.  Melihat niat tersebut, istrinya membantu dengan penuh sabar dalam membedakan mana yang nyata dan tidak. Perlahan namun pasti, Nash mencoba beradaptasi dengan pikirannya tersebut. Dia mencoba untuk tidak menghiraukan mereka lagi. Tapi, bayangan itu selalu dan selalu saja mengganggu.

Setidaknya ada tiga tokoh utama yang sering menghantui pikirannya. Carles yang dianggap menjadi teman sekamar saat studi doktoral ternyata salah satu diataranya, lalu putri dari Carles dan William Parcher selaku pengawas saat ditugasi menjadi agen pemecah kode rahasia yang dikirimkan Rusia pada majalah dan surat kabar untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Semuanya itu tidak nyata.

Cara Nash menenang pikirannya, sungguh menakjubkan. Dia mengakui keberadaan mereka, membiarkan mereka ada, dan dengan lembut meminta mereka agar tidak berusaha mengganggu terus. Misalnya, kepada tokoh Carles, Nash mengatakan dengan serius, penuh perasaan dan tenang: “Carles, kau telah menjadi teman yang sangat baik padaku. Teman terbaik. Tapi aku tidak akan berbicara denganmu lagi. Aku hanya tidak bisa”. Setelah itu, Nash berpaling kepada putrinya Carles, sambil mengusap wajah dan membelai rambut Dia berkata: “Berlaku sama untukmu, sayang kecilku”. Kemudian Nash mengecup keningnya sambil mengucapkan; “Good bye”. Dalam bayangannya tersebut, Nash melihat Carles bersama putrinya meneteskan air mata. Meski begitu, tidak begitu dipikirkannya kemudian berlalu melakukan aktivitas lain. Begitu pula dengan tokoh William Parcher, Nash mengakuinya ada, tapi tidak terlalu menanggapi setiap perkataannya.

Selanjut, Nash lebih beradaptasi dengan baik. Dia kembali bisa mengajar dan membimbing mahasiswa di kampus Princeton University. Setiap bertemu orang baru, dia akan memastikan sama orang yang telah dikenalnya, apakah orang tersebut nyata atau tidak.

Pada bulan Desember 1994, Prof. John Nash mendapat penghargaan bergengsi, Nobel dalam bidang ekonomi. Teori-teori yang telah dikembangan Nash telah mempengaruhi negosiasi perdagangan global, hubungan nasional tenaga kerja dan bahkan menembus evolusi biologi.

Lalu, apakah tokoh-tokoh dalam halusinasi tadi sudah hilang dari pikiran Nash ? Tidak ! Mereka tetap ada, dan sesekali muncul kembali. Namun, mereka sudah tidak lagi mengancam seperti yang dirasakan sebelumnya. Nash sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu, dan tidak begitu mempedulikannya lagi.

ACT (Acceptance and Commitmen Therapy)

Cara Nash dalam menangani halusinasinya persis dengan apa yang disarankan Steven C. Hayes dalam ACT-nya untuk mengatasi pikiran dan perasaan yang mengganggu. Berbeda dengan teknik self-help lainnya yang mengajarkan orang menghilangkan pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan, ACT justru membiarkan tetap ada, mengakuinya keberadaannya, tanpa harus bergulat untuk menghilangkannya.

ACT masih terbilang baru dan belum begitu populer di Indonesia dibuktikan literatur berbahasa Indonesia masih minim. Pengalaman saya dalam menyusun proposal penelitian beberapa bulan lalu, ditemukan sedikit artikel jurnal hasil penelitian tentang ACT di Indonesia. Beberapa yang berhasil saya dapatkan adalah: intervensi terapi penerimaan dan komitmen (ACT), terbukti efektif dalam menurunkan kejadian perilaku kekerasan dan halusinasi (Sulistiowaty, 2012), mengatasi respon ketidakberdayaan sedang pada klien gagal ginjal kronik (Widuri, 2012), meningkatkan penerimaan penderita HIV/AIDS (Wahyuningsih,dkk., 2014), meningkatkan insight dan efikasi diri pada pasein skizofrenia (Jalil,dkk., 2013), dan dapat meningkatkan subjective well being pada dewasa muda pasca putusanya hubungan pacaran (Kusumawardhani, 2012).

Ada juga buku yang saya dapatkan tentang ACT karangan Dr. Russ Harris yang berjudul: “The Happiness Trap: Hati-hati dengan Kebahagiaan Anda !”. Buku tersebut membahas ACT secara populer berdasarkan pengalaman yang telah diterapkan pada berbagai klien.

Harris menjelaskan beberapa cara dalam mengendalikan pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan. Banyak teknik yang bisa dipelajari dan dicoba untuk diterapkan. Diantaranya persis seperti teknik yang dilakukan Nash dalam cerita sebelumnya. Kita bisa melakukan observasi terhadap pikiran yang muncul tersebut, mengakui keberadaannya, berterima kasih terhadap pikiran kita, dan tidak perlu bersusah-payah atau bergulat untuk menghilangkannya. Lama-kelamaan, kita jadi terbiasa dengan pikiran itu. Respon cemas atau takut terhadap pikiran tadi akan berkurang atau hilang seiring berjalannya waktu. Pikiran itu tetap ada, namun tidak mengganggu lagi.

Saya berkesimpulan, usaha John Nash dalam melawan halusinasinya sesuai cerita di atas merupakan penerapan secara nyata dari ACT. Jika kita sulit memahami atau membayangkan proses bekerja ACT, menonton film tadi bisa menjadi salah satu jalan keluarnya. Saya berharap, aplikasi ACT ini akan dikuasai banyak orang karena sudah terbukti efektif mengendalikan halusinasi dan masalah yang lainnya. Termasuk dalam penelitian yang telah saya lakukan pada penderita kanker, kualitas hidup mengalami peningkatan pascaintervensi.

Bisa juga baca di Blog Sejuta Mimpi. Salam Kompasiana...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun