“Hidup itu.., Tuhan yang menentukan, kita yang jalani, dan orang lain yang komentar”, merupakan tulisan yang sering saya baca di media sosial (facebook & twitter). Awalnya saya menilai orang yang menulis seperti itu terlalu berlebihan. Mereka terlalu menganggap orang lain di sekitarnya sebagai variabel pengganggu yang kerja mengusik kehidupan, berkomentar ini dan itu, pokoknya meribetkan.
Lambat laun, saya kemudian perlahan mempercayai kalimat/ungkapan tadi. Bahkan saya mengalaminya secara langsung. Dunia memang sangat tidak bersahabat dalam kondisi tertentu.
Sebagai manusia, saya memiliki kekurangan di antara beberapa kelebihan. Salah satu persoalan yang cukup mengganggu saya adalah masalah berat badan (gemuk/obesitas). Saat itulah awal mulanya komentar-komentar digelontor bertubi-tubi dari berbagai sudut. Layaknya pengamat, mereka terlihat “cerdas” memberi saran. Berikut saya kisahkan beberapa komentar yang sempat saya ingat seputar masalah berat badan.
Saat Gemuk (Perut membuncit)
[caption id="attachment_347298" align="aligncenter" width="336" caption="Kondisi saat gemuk"][/caption]
Adakah pria yang ingin perutnya membuncit? Saya kira, mayoritas akan menjawab tidak. Termasuk saya, tidak pernah menginginkan gemuk/obesitas/perut membuncit. Selain secara estetika tidak menawan, dari sisi kesehatan, berat badan berlebih berisiko lebih besar mengidap berbagai penyakit, seperti jantung koroner, DM, hipertensi (tekanan darah tinggi), stroke, dll.
Tapi, apa boleh buat, saya pernah mengalaminya. Berat badan selalu meningkat, lingkar pinggang melebar, lemak tertimbun secara perlahan, perut membuncit. Akibatnya, badan semakin malas untuk digerakkan. Bergerak sedikit cepat merasa lelah, napas ngos-ngosan, keringat bercucuran di mana-mana. Rasanya ingin tidur terus. Sudah begitu, kunyah-mengunyah makanan sulit dihentikan. Kasihan kalau makanan disisakan, apalagi dibuang, sayang. Intinya, rakus...! Sulit mengendalikan napsu.
Lalu, diperparah lagi dengan berbagi komentar yang menyayat kalbu. Berikut saya uraikan satu-satu:
1.Dipanggil “Boss”. Entah mengapa, sebagian besar orang mempersepsikan seorang ‘Boss’ dengan perut buncit. Akhirnya, beberapa teman memanggil saya dengan sebutan ‘Boss’. Mestinya kita bangga dipanggil boss, karena secara sosial lebih dihargai/disegani dibanding orang biasa.Tapi, setelah saya pikir-pikir, panggilan sebetulnya menghina secara halus. Begini, mereka menyebut ‘boss’, tapi saya tidak punya usaha milik sendiri. Tidak ada bisnis tertentu yang saya kelola. Aneh kan kalau dipanggil seperti itu?
2.Dari sindiran halus seperti di atas, dilanjutkan dengan tingkatan yang agak kasar. Misalnya, “Woe.., perut itu macam baskom saja.” Ada juga yang bilang, “Pasti banyak cacing yang beranak-pinak dalam perutmu.”
3.Ada juga yang mengasosiasikan perut buncit dengan masalah seksual. Mereka mengejek, “Orang gemuk itu, ‘anunya’ kecil, tidak bertenaga”.
4.Tidak sedikit juga yang mengatakan saya seperti orang hamil saja (padahal laki-laki). Sedikit tidak sopan mereka katakan, “Masa cewek-mu tidak hamil, justru malah kamu yang hamil?”
5.Dalam kelas, saya sering dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’ (kesannya sudah tua dan beristri, padahal masih bujang), sementara yang lain dipanggil ‘Mas’ (terkesan muda) oleh Dosen. Teman-teman mengatakan, itu karena perut saya buncit.
6.Dan masih banyak lagi deretan atau litani penghujat yang satir. Kalau Mbak Cita-Citata bilang dalam lagunya, “ Sakitnya itu di sini” (sambil mengelus-elus dada).
Meski sering dihujat, saya tetap memberi senyuman persahabatan yang baik bagi mereka. Saya ikhlaskan semuanya demi relasi yang damai dan berkelanjutan. Tapi, dalam diam sebenarnya “saya tidak diam”. Saya terus berpikir, berusaha, berdoa untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Hingga akhirnya, 100 hari yang lalu, tidak sengaja saya menemukan cara yang sesuai dengan kepribadian. Saya menamakannya dengan sebutan “gaya hidup baru” atau biar terdengar keren menggunakan bahasa Inggris, “new life style”. Saya menemukannya dari berbagai buku yang dibaca, film atau video yang ditonton, diskusi dengan orang yang berpengalaman, dan dari ilmu keperawatan yang ditekuni selama ini. Hasilnya memuaskan, saya kehilangan berat badan yang cukup signifikan. Dan inilah satu-satunya ‘kehilangan’ yang sangat saya syukuri.
Saat BB Turun (Orang menyebutnya Kurus)
[caption id="attachment_347299" align="aligncenter" width="336" caption="Setelah 100 hari menjalani"]
Ketika baru 2 minggu mulai menjalani gaya hidup baru, perubahan bentuk tubuh mulai nampak. Apalagi hari ini (21 Januari 2015) merupakan hari ke-100 saya menjalani gaya hidup baru tersebut. Perubahan drastis terjadi begitu cepat. Hal itu terungkap dari komentar teman-teman.
“Kok sekarang kurus?”
“Kamu tidak makan ya Saver?”
“Apa dari NTT tidak ada kirim uang makan?”
“Kamu mengalami bencana kelaparan ya?”
“Aduh.., jangan sampai kamu kena HIV/AIDS sampe kurus begitu?”
“Atau jangan-jangan kamu konsumsi Narkoba kali ya?”
“Wah.., kamu jelek kalau kurus begini. Coba kembali seperti dulu?” (Padahal, dulu saat gemuk, komentarnya juga negatif)
“Jangan sampai kamu stress karena kerja skripsi ya?” (Seolah-olah saya sendiri yang paling ‘bodoh’ dalam kelas hingga sampai kurus berpikir dan mengerjakan skripsi).
“Dan lain-lain..., dan lain-lain..., dan lain-lain”. Banyak sekali, tak terhingga.
Dari fenomena yang saya alami ini, kesimpulannya jelas dan tidak mungkin salah. Kalimat atau ungkapan yang saya tulis pada paragraf pembuka di atas adalah suatu kebenaran umum yang tidak terbantahkan. Memang beginilah kehidupan kita. Dan itu normal. Kita tidak perlu repot-repot mengubahnya, memaksakan kehendak kita terhadap sesama untuk berkomentar yang baik-baik saja. Sangat sulit dilakukan.
Hal yang kita bisa buat adalah mengendalikan diri sendiri. Kita cukup mendengar komentar itu, lalu lupakan jika itu tidak bermanfaat bagi kebaikan hidup. Jika masih ada hal yang positif, ambil manfaatnya.
Beruntung, telah lama saya membaca buku-buku self-help, seperti: Kekuatan Pikiran, The Secret, The Magic of Thinking Big (Berpikir dan Berjiwa Besar), ACT= Acceptance and Commitment Therapy (Diaplikasikan dalam penelitian saya untuk pembuatan skripsi) dan berbagai judul lainnya. Semua buku tersebut memberi petunjuk bagi saya dalam menyikapi komentar atau pikiran negatif, pikiran yang tidak menyenangkan atau pikiran yang tidak bermanfaat bagi kebaikan hidup dan kedamaian.
Saya bahagia dengan kondisi tubuh sekarang. Saya mencintainya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak peduli apapun komentar orang lain. Tubuh saya aka semakin sehat, stabil dalam kondisi berat badan ideal, metabolismenya berjalan dengan baik, peredaran darah lancar, semakin bugar dan kekar.
[caption id="attachment_347300" align="aligncenter" width="336" caption="Kondisi setelah 100 hari menjalani"]
Ketika Sang Murid Siap, Sang Guru Akan Muncul
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya menawarkan diri untuk berbagi cara ‘gaya hidup baru’ yang telah saya buktikan hasilnya. Khusus bagi Anda yang mau berubah, ingin mendapatkan berat badan seideal mungkin.
Dalam membagi pengalaman ini, saya terinspirasi dengan cara Julian Mantle membagikan ilmu kebijaksanaan kepada sahabatnya, Robin. Cerita lengkapnya bisa membaca buku “The Monk Who Sold His Ferrari” karangan Robin Sharma. Dalam mempelajari ilmu kebijaksanaan di Himalaya, salah satu prinsip yang harus dianut adalah sebuah ungkapan “Ketika sang murid siap, sang guru akan muncul”.
Apa maksud dari ungkapan itu? Jika ingin mempelajari sesuatu, bersiaplah. Kosongkan pikiran skeptis, terbukalah selama beberapa saat. Biarkan pemikiran baru masuk mengisi ruang kosong yang gelap. Berisiaplah menerima pelajaran baru, niatkan yang baik, niscaya akan memperoleh banyak manfaat.
Manifestasi yang mudah terlihat dari sikap tersebut bisa dilihat dari antusiasme di kolom komentar. Katakan kalau mau atau siap menerima hal yang baru. Tulislah secara jelas kalau mau pengalaman ‘gaya hidup baru’ yang saya jalani dibagikan buat orang lain lewat tulisan. Jika responnya bagus dan banyak, dalam watu yang tidak begitu lama akan segera saya bagikan untuk semua.
Sekian saja, Salam Kompasiana !!! Cek saya di Facebook.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H