Sumber ilustrasi: tribunnews
Sudah jamak diketahui bahwa tujuan pembangunan (atau dalam istilah kekinian: pemberdayaan) yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin masyarakat di mana pembangunan atau pemberdayaan itu dilaksanakan. Melalui pembangunan/pemberdayaan kemudian terjadilah perubahan dan kemajuan seperti yang telah direncanakan bersama. Kondisi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, lebih berkembang dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Pembangunan/pemberdayaan sebagai proses perubahan terencana (the process of planned change) yang secara sadar dilakukan masih sering dipersepsi secara sempit bahwa indikator keberhasilannya hanya dilihat dari bentuk-bentuk berupa benda/materi kasat mata yang ada misalnya: gedung-gedung megah, jembatan, bendungan, jalan, berdirinya proyek-proyek fisik ataupun wujud infrastruktur lainnya.
Memang tidak keliru jika dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang – Daerah/Nasional (RPJP-D/RPJP-N) bahwa sebagian besar program-program yang telah disusun dan direncanakan untuk pemberdayaan rakyat didominasi oleh kegiatan yang bersifat fisik, terutama menyangkut bidang perekonomian, industri, perdagangan serta berbagai infrastruktur pendukungnya. Tetapi jika dicermati lebih dalam, pembangunan/pemberdayaan yang termasuk bidang kesejahteraan masyarakat atau bidang terkait lain ternyata tidak kalah pentingnya bahwa yang bersifat non-fisik juga mendapat perhatian.
Salah satu contoh: kebudayaan (daerah) telah mendapatkan porsi yang cukup penting untuk dibangun/diberdayakan sehingga hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan secara fisik juga harus diimbangi oleh kemajuan di bidang non-fisik. Artinya, semaju/sepesat apapun hasil pembangunan/pemberdayaan yang ditandai modernisasi di segala bidang, namun kebudayaan di masing-masing daerah tidak boleh tergerus oleh kemajuan zaman.
Persoalan ini pantas mendapat perhatian dan perlu digarisbawahi, mengingat proses kemajuan dan perkembangan, termasuk di daerah akan selalu bersentuhan dengan globalisasi (era pasar bebas) yang juga harus disadari bahwa di dalam globalisasi itu sendiri terkandung nilai-nilai liberal yang belum tentu berdampak positif sehingga jangan sampai kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mandiri akan kehilangan dasar pijakan yaitu kebudayaan daerah yang memiliki nilai adiluhung (kearifan lokal) sekaligus sebagai landasan dalam meraih harapan di masa depan.
Itu semua sesuai dengan amanat yang tercakup dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945 yaitu berdaulat dalam bidang politik, mandiri di bidang ekonomi serta menjunjung tinggi kepribadian/berjati diri sebagai bangsa yang berkarakter.
Kebudayaan dan Nilai-nilai Kearifan Lokal
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami bahwa kebudayaan secara umum masih dimaknai sebagai sesuatu yang tampak, benda-benda maupun artefak baik yang bergerak atau tidak bergerak. Benda-benda yang tidak bergerak berupa: artefak peninggalan sejarah, batu-batu candi, atau bangunan cagar budaya lainnya. Sedangkan yang bergerak bisa dilihat melalui pertunjukan seni-budaya berupa: tari-tarian, seni sastra/kesusasteraan, upacara-upacara tradisi atau ritual adat, pertunjukan wayang dan pertunjukan rakyat lainnya, yang hingga kini masih ditemui di hampir seluruh wilayah nusantara. Itulah kekayaan budaya kita, budaya Indonesia yang terdiri dari aneka ragam daerah dengan kekhasannya masing-masing.
Dalam konteks tulisan ini, yaitu pada level pemahaman lebih lanjut dapat disebutkan bahwa kebudayaan lebih ditekankan pada nilai-nilai (value) yang terkandung dalam setiap benda-benda budaya atau artefak, baik yang tidak bergerak atau yang bergerak – sehingga nilai-nilai kehidupan yang didukung masyarakatnya itulah yang memberi kontribusi terhadap perilaku yang membumi, berkearifan lokal (local wisdom).
Memaknai kebudayaan sebagai kata kerja (bukan sekedar kata benda), akan memahamkan kita bahwa nilai-nilai kandungan budaya itu akan selalu mewarnai perilaku manusia penganutnya, menjadikan ‘pedoman’ dalam bertindak/bersikap dan tidak tercerabut dari akar kehidupan di mana manusia berada.