Menyelesaikan studi dalam kurun waktu empat tahun merupakan target ideal bagi mahasiswa yang berusaha memperoleh gelar sarjana. Namun, tidak semua mahasiswa mampu mencapai kelulusan tepat waktu karena berbagai faktor.
Ketika masa studi hampir berakhir, menjelang tahun ketujuh, mahasiswa harus menyelesaikan kewajiban akademis mereka untuk meraih kelulusan. Jika gagal, mereka berisiko terkena drop out (DO) oleh pihak universitas. Lalu, apa saja penyebab mahasiswa mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan masa studinya?
Salah satu isu yang kerap memicu keterlambatan studi adalah perdebatan mengenai prioritas antara kuliah dan kegiatan organisasi. Ungkapan "zaman sekarang kuliah sambil berorganisasi, bukan organisasi sambil kuliah" menekankan pentingnya menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan dalam organisasi mahasiswa juga memiliki peran besar dalam pembentukan karakter dan pengembangan keterampilan.
Statistik menunjukkan bahwa sekitar 30% mahasiswa di Indonesia membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan studi akibat terlalu fokus pada kegiatan non-akademik, termasuk organisasi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat bahwa rata-rata waktu penyelesaian studi mahasiswa di Indonesia mencapai 5-6 tahun, lebih lama dari standar 4 tahun. Salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara aktivitas akademik dan non-akademik.
Sebagai mahasiswa, tujuan utama adalah menyelesaikan studi tepat waktu dengan hasil yang baik. Gelar dan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal tetap menjadi modal utama untuk bersaing di dunia kerja. Oleh karena itu, kuliah sudah seharusnya menjadi prioritas, sementara organisasi berfungsi hanya sebagai penunjang.
Meskipun demikian, kenyataan dilapangan menunjukan bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi cenderung memiliki keterampilan lunak (soft skills) yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya terfokus pada akademik. Laporan dari National Association of Colleges and Employers (NACE) di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 80% perekrut menilai keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan kerja sama tim sebagai atribut penting yang sering diasah melalui pengalaman organisasi. Hal serupa juga berlaku di Indonesia.
Melalui organisasi, mahasiswa belajar tentang manajemen waktu, penyelesaian konflik, hingga membangun jaringan. Kemampuan ini sulit diperoleh hanya dari ruang kelas. Namun, jika aktivitas organisasi tidak terkontrol, potensi pengembangan diri justru dapat terganggu.
Fenomena "organisasi sambil kuliah" sering ditemui di berbagai kampus. Banyak mahasiswa yang kurang bijak dalam berorganisasi, hingga abai terhadap tugas akademik. Misalnya kerap ditemui mahasiswa yang memimpin beberapa organisasi sekaligus, yang menyebabkan nilai akademiknya menurun atau tertunda dalam menyelesaikan skripsi. Kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mencoreng citra mahasiswa sebagai agen perubahan.
Sebaliknya, mahasiswa yang mampu menyeimbangkan keduanya cenderung memiliki hasil akademik yang memuaskan sekaligus pengalaman organisasi yang relevan. Mereka biasanya membuat jadwal yang disiplin dan fokus pada aktivitas yang memberikan dampak nyata, baik untuk akademik maupun organisasi.
Kuliah sambil berorganisasi adalah pilihan ideal bagi mahasiswa yang ingin berkembang, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik. Namun, organisasi tidak boleh mengorbankan tujuan utama kuliah. Dengan pengelolaan waktu dan prioritas yang baik, mahasiswa dapat menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual dan berdaya saing di dunia nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI