Bab 1: "Pagi yang Nyaris Sempurna" (Lanjutan)
Joko duduk di bangku bus, mencoba menenangkan diri. Namun, tak peduli seberapa keras dia mencoba, rasa lengket di rambutnya akibat kecap dan bercak kopi di celananya terus mengingatkan bahwa hari ini bukanlah hari biasa.
Bus berderit pelan saat melaju, dan Joko menatap ke luar jendela, berharap ada sesuatu yang bisa menenangkannya. Tapi tentu saja, dunia punya selera humor yang aneh. Tepat ketika dia merasa mulai sedikit lebih rileks, seorang anak kecil di kursi depan tiba-tiba berbalik, menatapnya dengan serius, dan bertanya kepada ibunya, "Ma, kenapa om ini kelihatan kayak abis jatuh di panci rendang?"
Ibunya tersenyum canggung, lalu segera membelokkan pandangan anaknya dari Joko. Tapi sudah terlambat. Penumpang di sekitarnya mulai menoleh, beberapa di antaranya menutup mulut sambil berusaha menahan tawa. Satu penumpang, seorang bapak-bapak berkumis tebal, bahkan tergelak keras sampai kacamatanya melorot.
Joko tersenyum lemah, berusaha seakan tak peduli, padahal dalam hati ingin menghilang dari bumi. Ia menatap lurus ke depan, berharap bus ini bisa berubah menjadi teleportasi yang langsung membawanya ke kantor tanpa interaksi sosial lebih lanjut.
Namun, seakan tak cukup, saat bus berhenti di lampu merah, masuklah dua orang lelaki bertubuh besar. Mereka mengenakan kostum badut lengkap dengan hidung merah besar. Rupanya, hari itu ada pesta di taman kota. Joko langsung menyesal duduk di bangku depan ketika badut-badut itu mulai bercanda dengan penumpang, dan tentu saja, Joko menjadi target empuk.
"Hei, kamu! Iya, yang rambutnya kecap!" seru salah satu badut sambil menunjuknya dengan penuh semangat.
Joko, yang biasanya cukup humoris, merasa ini adalah momen terendah dalam hidupnya. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa, badut itu sudah duduk di sampingnya. "Wah, rambut model baru ya? Keren banget, bro! Kayak bumbu sate siap saji."
Yang lebih parah lagi, badut itu mengeluarkan sisir mainan dari kantong besar di bajunya dan mulai "menyisir" rambut Joko dengan pura-pura serius. Joko hanya bisa mematung, tak tahu harus tertawa atau menangis. Sementara penumpang lain di bus mulai tertawa terbahak-bahak, menikmati momen kekacauan ini. Bahkan Milo, si kucing yang tiba-tiba ikut naik entah dari mana, tampak menatap Joko dari kejauhan dengan tatapan menghina.
"Siap tampil di televisi, nih! Besok-besok jangan lupa kasih saus tomat buat aksesoris, ya!" tambah badut itu sambil tertawa lebar.
Lampu hijau menyala, dan bus kembali melaju. Badut itu akhirnya berdiri dan pindah ke penumpang lain, tapi efek dari interaksi mereka masih terasa. Semua mata di bus tertuju pada Joko. Dia hanya bisa tersenyum kaku, merapikan rambutnya yang sudah tidak ada harapan, dan berharap perjalanan segera berakhir.