Dibandingkan dengan Singapura yang menempati peringkat pariwisata dunia nomor 10, posisi Indonesia di peringkat nomor 81 adalah “jauh panggang dari api”. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh World Economic Forum yang berkedudukan di Swiss, yang diberi nama Travel and Tourism Competitiveness Report 2009, Indonesia menempati peringkat dunia nomor 81. Ada kenaikan satu tingkat dari ranking tahun 2008 yaitu, 82. Negara-negara yang menduduki tiga besar top-ranking pariwisata dunia adalah Swiss, Austria dan Jerman. Negara tetangga kita Singapura berada pada peringkat 10, sementara Malaysia nomor 32, Thailand nomor 39 dan Brunei pada nomor 69. Negara-negara Asean yang berada dibawah peringkat Indonesia adalah Filipina nomor 86, Vietnam nomor 89 dan Kamboja nomor 108. Hasil survey ini adalah cermin-keberhasilan dari sebuah kebijakan nasional di bidang pariwisata nasional yang ditunjang oleh strategi pemasaran yang efektif ditambah dengan kerja-keras yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh negara-negera tersebut pada sektor turisme selama ini.
Sangat Buruk
Kalau kita boleh mengkategorikan penanganan industri pariwisata di negara Swiss (ranking 1) sebagai sangat baik, sementara penanganan hal yang sama di negara Kamboja (ranking 108) sebagai sangat buruk, maka secara relatif kita bisa mengukur tingkat atau mutu penanganan turisme di masing-masing negara-negara tersebut. Contohnya, Singapura (ranking 10) bisa dikategorikan sangat baik. Malaysia (32) dan Thailand (39) mungkin bisa dikategorikan sebagai baik. Brunei (69) sebagai kategori buruk. Sedangkan Indonesia (81), Filipina (86) dan Vietnam (89) masuk kategori sangat buruk. Kenyataan ini memang pahit namun sulit untuk dibantah.
Bagaimana sebenarnya penanganan sektor pariwisata di negara kita? Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik adalah satu diantara sedikit Menteri lama yang terpilih lagi untuk menduduki jabatan yang sama didalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ke dua. Konklusinya, Menteri ini dianggap berhasil menjalankan misinya pada masa-bakti KIByang pertama. Kemungkinan lain, yang saya harap saya keliru, adalah bahwa ke dua sektor Kebudayaan dan Pariwisata ini tidak masuk dalam kategori prioritas dalam rencana kerja KIB jilid II ini. Ke dua sektor ini berperan sebagai “pelengkap penyerta” saja. Indikasinya yang kuat adalah ketidak-mantapan sudut pandang Pemerintah atas nature dari sektor-sektor ini. Pada masa KIB/I, Depbudpar berada dibawah koordinasi Menko Kesra. Wacana yang timbul pada periode itu adalah bagaimana sebuah industri, yang bernama pariwisata, bisa bergerak secara efektif bila berada dalam kelompok Kesra? Sekarang didalam KIB/II, Departemen ini masuk dalam kelompok Koordinasi Ekonomi (Menko Perek). Bagi pariwisata, pengelompokan ini sudah tepat. Tapi bagi sektor Kebudayaan? Apakah kita berniat mengkomersialisasikan Kebudayaan? Ini memerlukan jawaban yang hati-hati dan bijaksana. Dalam hal kesenian nasional, seperti tarian daerah, musik daerah dan senirupa daerah hal ini sudah berjalan dan dianggap masih masuk akal walaupun menuai pro-kontra. Tapi bagaimana dengan elemen-elemen Kebudayaan Nasional lainnya? Misalnya, bisakah kita mengkomersialkan sejarah nasional kita? Ada pendapat yang mengatakan kebudayaan adalah jati-diti. Apakah jati diri akan kita komersialkan? Menurut Iwan Tirta, designer batik terkenal, kebudayaan adalah senjata. Senjata adalah sesuatu yang kita gunakan untuk membela diri. Akankah senjata ini akan kita komersialkan?
Tidak Punya Pendirian
Kelemahan pendirian Pemerintah dalam hal ini mengingatkan saya akan cerita rakyat dari Eropa Tengah tentang Pak Joachim menjual kuda. Cerita singkatnya adalah sebagai berikut. Karena kemiskinannya, Pak Joachim ingin menjual kudanya yang sudah tua. Pagi-pagi benar ia mengajak anak laki-lakinya untuk membawa kuda mereka ke pasar. Pak Joachim berjalan sambil menuntun kuda, sedangkan anaknya duduk diatas punggung kuda. Ditengah jalan, ada orang mengejek mereka. Anak muda yang masih kuat tidak patut menunggang kuda, sementara ayahnya berjalan kaki. Mendengar ejekan ini, mereka segera berganti tempat. Ayahnya menunggang kuda, anak lelakinya menuntun. Tak lama kemudian ada orang lain yang mengejek lagi. Dasar orang tua tidak tahu diri, anaknya disuruh jalan kaki sementara bapaknya enak-enakan menunggang kuda. Mendengar ejekan ini lagi-lagi mereka berganti posisi. Mereka menunggangi kuda tuanya bersama-sama. Ternyata ada orang lain yang melihat kejadian ini. Mereka berkomentar, alangkah kejamnya kedua orang ini menunggangi kuda yang sudah tua renta bersama-sama? Bagaimana kalau kuda ini nanti mati dijalan? Karena tidak ingin diejek dan bosan dikomentari macam-macam, akhir bapak dan anak ini menggotong kuda mereka kepasar. Sesampainya di pasar orang yang melihat mereka tertawa terbahak-bahak. Wah, baru kali ini kita melihat kuda digotong (dipikul) untuk dijual kepasar. Ha ha ha ha ha . .! Dalam hal ini, pendirian Pak Joachim ibarat nakhoda kapal yang berlayar tanpa kemudi, mengikuti arah angin dan arah arus air saja.
Kemistri yang Tidak Kompatibel
Di dalam sebuah acara debat-budaya yang disiarkan oleh salah satu stasion televisi di Jakarta selama kampanye Pilpres 2009 yang lalu, Capres/Cawapres SBY-Boediono pernah menjawab pertanyaan Noorca Massardie, moderator pada acara itu, bahwa keberadaan ke dua sektor ini didalam satu Departemen akan ditinjau kembali, seandainya mereka terpilih nantinya sebagai Presiden/Wakil Presiden RI periode 2009-2014. Para budayawan nasional mengeluh atas perhatian Pemerintah terhadap Kebudayaan yang tidak pernah fokus selama ini. Sementara insan pariwisata menginginkan agar sektor ini dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri. Pada kenyataannya sekarang, susunan KIB/II tidak menampung janji SBY-Boediono yang pernah diikrarkannya selama kampanye Pilpres 2009 yang lalu.
Solusi ke Depan
Di dalam pernyataan persnya, setelah dilantik sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI untuk yang ke dua kalinya, Jero Wacik berkata bahwa pada tahun 2010 nanti Indonesia siap untuk menerima kunjungan 7 juta orang wisatawan asing. Sebagai Menteri lama di dalam susunan Kabinet yang baru, Jero Wacik membidik sasaran pada satu angka 7 juta yang “bersejarah” karena sejak 2008, target ini tidak pernah tercapai. Seperti yang kita ingat, tahun 2008 Depbudpar mentargetkan kedatangan turis asing sebanyak 7 juta, namun hanya tercapai 6,4 juta. Tahun 2009 ini sudah sampai di penghujung, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa angka 7 juta akan tercapai. Supaya “aman” sasaran ini di carry over saja ke tahun 2010. Daripada tidak ada target sama sekali, kan?
Lalu bagaimana dengan pengembangan industri pariwisata kita lima tahun ke depan? Bisakah kita mengejar ketinggalan kita? Selama kita melakukannya secara business as usual, dengan strategi pemasaran yang sama, pola kegiatan promosi yang sama dan anggaran yang sama, maka hasilnyapun akan sama seperti sekarang. Biasa biasa saja! Saya kira tidak ada salahnya bila kita mau belajar dari Malaysia. Secara historis, jumlah kedatangan turis asing ke negara-negara Asean selalu di dominasi oleh Thailand. Tapi di tahun 2008 Malaysia sudah bisa menyalip Thailand secara telak. Malaysia menerima 20 juta kunjungan pelancong dari mancanegara, sementara Thailand tertinggal di angka 15 juta. Bayangkan, Malaysia yang berpenduduk 25 juta jiwa mampu mendatangkan 20 juta turis. Logikanya Indonesia dengan 245 juta penduduk, harus mampu mendatangkan 200 juta wisatawan. Tapi tahun 2008 yang lalu kita cuma menerima 6,4 juta turis asing saja? Menurut pendapat saya, bukan hanya kegiatan promosi yang harus lebih digencarkan, bukan hanya anggaran yang harus ditambah, seluruh konsep penanganan pariwisata nasional harus di rekayasa-ulang secara menyeluruh.
Jakarta, 2 November 2009
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H