Sungguh kasian kita melihat wajah-wajah tegang para pejabat Polri dan Kejaksaan dalam beberapa minggu belakangan ini. Wajah-wajah tersebut seolah mengeluh, kenapa semua yang mereka lakukan seperti salah di mata rakyat? Kenapa semua media kelihatan seperti memusuhi mereka? Secara hukum, baik Djoko Tjandra, Anggoro Widjojo maupun Anggodo Widjojo belum tentu bersalah. Karena belum diadili. Sebaliknya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah juga belum tentu bersih. Tapi dukungan rakyat sudah seperti bulat “taken for granted” ditujukan kepada Bibit dan Chandra. Adilkah itu? Tentu saja tidak, tapi begitulah kenyataan yang ada di lapangan. Dalam hal ini saya setuju dengan strategi yang diambil oleh Presiden SBY. Kita harus berhati-hati didalam usaha kita untuk menegakkan keadilan tanpa menyakiti hati rakyat. Kita ingat bahwa Vox Populi Vox Dei.
Roh Hukum
Dalam kaitan perseteruan antara cicak melawan buaya ini, Prof Satjipto mengatakan bahwa hukum di Indonesia sudah mati. Saya sependapat dengan beliau. Hukum mempunyai roh. Kalau roh ini hilang maka hilanglah nilai-nilai keadilan yang dikandung oleh hukum itu. Hukum itu ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Didalam teori the whole person paradigm, Stephen R. Covey menjelaskan dalam bukunya The 8th Habit, from Effectiveness to Greatness, bahwa manusia terdiri dari 4 unsur. Selama ini kita cuma membagi manusia menjadi dua unsur saja yaitu jasmani dan rohani.
Covey membaginya menjadi 4 yaitu, jasad (body), pikiran (mind), perasaan (heart) dan nyawa atau semangat (spirit). Waktu manusia merumuskan hukum, ia mengerahkan ke empat unsur ini secara terpadu. Oleh karenanya, pada saat manusia mau melaksanakan hukum, seyogyanyalah ke empat unsur ini juga dipergunakan. Undang-undang ditulis oleh tangan manusia (body), kata-katanya dirangkai oleh pikirannya (mind), demi rasa keadilan (heart) untuk menanamkan nilai-nilai yang berlaku secara berkesinambungan (spirit). Yang diimaksud oleh Prof Satjipto bahwa hukum sudah mati adalah bila hukum hanya dibaca oleh mata (body) saja.
Kita masih ingat pada waktu Akbar Tanjung ngotot bertahan sebagai Ketua DPR padahal ia sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Ia berkilah bahwa selama proses bandingnya masih berjalan, maka vonis belum in kracht. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) diterapkan secara sempit karena hukum dilihat hanya sebagai pernyataan tertulis saja. Hukum hanya dilihat dengan body saja, sedangkan mind, heart dan spirit sama sekali tidak digunakan.
Saya teringat pada waktu saya masih menjabat sebagai anggota direksi suatu BUMN. Ada contoh yang sangat “common” pada waktu itu yaitu peraturan pengadaan barang. Sejatinya peraturan ini dibuat agar proses pengadaan barang bisa steril dari praktek KKN. Tapi dalam pelaksanaannya, yang tekun mempelajari peraturan ini (bahkan hapal di luar kepala) adalah para oknum anggota Panitia Pengadaan dan oknum-oknum mitra rekanan. Oknum-oknum ini justru mencari peluang dan celah untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang “sesuai dengan peraturan (tertulis) yang berlaku”. Peraturan diterapkan sesuai dengan apa yang tersurat saja, bukan yang tersirat. Nilai pembobotan atas proposal yang diajukan oleh peserta tender di rekayasa secara lihai sedemikian rupa sehingga mitra rekanan “selingkuh” nya akan keluar sebagai pemenang. Modus operandi seperti ini masih marak diterapkan hingga kini. Dalam kaitan ini, Akbar Tanjung tidak sendirian. Demikian pula dengan apa yang sekarang dilakukan oleh oknum-oknum petinggi Kejaksaan dan Polisi terhadap pimpinan KPK.
Arogansi Kekuasaan
Simpati masarakat terhadap cicak tidak berdiri sendiri. Ia juga didukung oleh rasa antipati terhadap arogansi buaya. Ungkapan “cicak kok mau melawan buaya?” adalah ekspresi arogansi kekuasaan yang tidak simpatik. Reaksi yang diberikan oleh Polisi terhadap rekomendasi Tim 8 adalah arogansi sang buaya yang “konsisten”. Tim 8 yang dibentuk oleh Presiden SBY ini terdiri dari tokoh-tokoh yang berkompeten, kredibel dan akuntabel. Mereka adalah tokoh-tokoh yangdihormati oleh masarakat. Antipati terhadap oknum petinggi Polri makin bertambah pada waktu Polri meremeh-temehkan rekomendasi pencopotan pejabat-pejabat Polri yang namanya disebut-sebut dalam rekaman percakapan dengan Anggodo Widjojo. Rakyat sulit mengerti waktu Jaksa Agung mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan percakapan antara Wisnu Subroto dengan Anggodo, karena itu hanya sekadar pertemanan. Bayangkan seorang jaksa senior berteman dengan seorang koruptor, dianggap biasa?
Siapa Bela Siapa? Siapa Tuntut Siapa?
Rakyat, terutama rakyat kecil, mengekspresikan rasa keadilannya dengan cara yang sangat sederhana. Mereka hanya melihat siapa membela siapa? Siapa menuntut siapa? Sejak ada KPK, rakyat melihat bahwa para pejabat yang selama ini kebal hukum sudah bisa diseret ke pengadilan dan dihukum. Tidak peduli apakah itu jaksa, polisi, gubernur, bupati, anggota DPR atau DPRD, dutabesar bahkan kerabat Presiden sekalipun. Sebaliknya, mereka melihat sekarang bahwa yang kini dilakukan oleh oknum petinggi Polisi dan Kejaksaan Agung adalah kebalikannya. Dengan mata telanjang, rakyat kini melihat bahwa Jaksa dan Polisi justru mengejar-ngejar pimpinan KPK. Sudah barang tentu rasa keadilan mereka terusik. Apalagi kalau mereka tahu bahwa proses yang sedang dilakukan terhadap pimpinan KPK ini adalah atas pesanan seorang pelarian, tersangka koruptor, Anggoro Widjojo. Anggoro sekarang bersembunyi di Singapura. Ia tidak berani pulang karena takut ditangkap oleh KPK. Rakyat kecil tidak habis mengerti apa kepentingan oknum-oknum petinggi Kejaksaan dan Polisi yang begitu menggebu-gebu membela kepentingan koruptor seperti Anggoro? Kalau mau bicara HAM, apakah Bibit-Chandra tidak punya HAM? Begitu juga kalau mau bicara equality before the law? Kok hanya kepentingan Anggoro yang diperhatikan? Sampai-sampai untuk mengadakan penyelidikan bisa dilakukan di Singapura? Oleh seorang perwira polisi bintang tiga? Siapa yang membiayai perjalanan tersebut? Sementara tersangka lain bisa diseret paksa untuk diinterogasi di kantor polisi setempat? Sikap kritis rakyat diremehkan. Dikira rakyat tidak tahu siapa membela siapa? Siapa menuntut siapa? Apalagi kalau mereka melihat semangat “pantang menyerah” Polisi untuk mendapatkan dasar hukum agar bisa menangkap Bibit dan Chandra. Tidak terbukti dengan kasus penyuapan, dipakailah kasus pemerasan dan penyalah-gunaan wewenang. Kita tidak tahu dasar hukum apalagi yang akan dipergunakan bila tuntutan yang sekarang masih tidak terbukti? Di lain pihak, Anggodo, sang cukong yang membantu kakaknya melakukan penyuapan dibiarkan bebas berkeliaran dengan alasan bahwa Polisi belum menemukan pasal yang bisa diterapkan untuk menahan Anggodo.
Tidak sulit untuk menyimpulkan kejadian-kejadian ini. Polisi mempunyai target yang harus dicapai. Tidak jelas apa yang menjadi target itu, tapi kelihatannya target itu harus bisa dicapai dengan segala cara. Apakah itu dengan cara kriminalisasi, pengerdilan atau rekayasa kepada pimpinan KPK. Sementara kita hanya bisa berharap agar kasus ini bisa cepat terselesaikan. Seandainya ada bukti bahwa Bibit dan Chandra bersalah, segeralah mereka diajukan ke pengadilan. Bila tidak, segeralah mereka dibebaskan. Seluruh masarakat menginginkan agar kasus ini bisa segera berlalu agar kita dapat menghadapi masa depan yang lebih kondusif dalam hal bernegara dan berpemerintahan.
Hukum adalah ciptaan manusia dengan tujuan tertentu. Buatan manusia tidak ada yang sempurna. Untuk itu didalam penerapan hukum hendaklah kita kembali kepada semangat yang menjiwai pembentukan hukum tersebut, yaitu Pro Justicia dan Pro Bono Publico.
Jakarta, 10 November 2009
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H