Dewasa ini seluruh rakyat Indonesia sedang dilanda stres masal. Dari Presiden sampai rakyat jelata resah. Ada masalah nasional yang tak kunjung teratasi, yaitu apa yang disebut dengan rekayasa pengerdilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, dengan cara kriminalisasi terhadap Pimpinannya. Apa gerangan yang menjadi sumber keresahan ini?
Bagi Presiden, masalahnya adalah bagaimana menjawab tuntutan rakyat agar rasa keadilan bisa ditegakkan dengan baik, tanpa melanggar konstitusi? Bagaimana mempertahankan prinsip kebenaran tanpa melakukan intervensi hukum ke ranah yudikatif yang berada di luar wewenang Presiden? Saya yakin bahwa selama beberapa minggu belakanagan ini pasti Pak SBY susah tidur nyenyak. Entah kenapa, kok masalahnya jadi ruwet begini? Sementara, hati rakyat terluka seperti tersayat sembilu menonton “opera sabun” yang diperankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum, dengan lakon “pemaksaan hukum” yang disutradarai oleh para markus (makelar kasus) yang tidak terjamah hukum. Markus-markus ini telah memamerkan dirinya sebagai the intouchables yang sejati. Di mata rakyat, apalagi setelah mendengarkan rekaman percakapan antara super markus Anggodo Widjojo dengan pejabat-pejabat penegak hukum seperti yang telah diperdengarkan didalam sidang Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, masalah ini sebetulnya tidak rumit. Para pelaku dengan segala perilakunya yang melanggar etika hukum, terlihat jelas dengan mata telanjang. Tapi kok sulit amat untuk mengatasi persoalannya?
Presiden Bukan Tukang Pos
Ditengah penantian rakyat yang bagaikan En Attendance Godot seperti yang dilukiskan oleh Albert Camus, proses penyelesaian masalah ini seperti jalan di tempat. Semua pihak tidak sabar menanti apa gerangan yang akan diputuskan oleh Tuan Presiden. Sementara solusi yang dipilih oleh Presiden adalah, melangkah ke depan, mundur ke belakang, berputar ke kanan, bergerak ke kiri, kemudian mengulangi lagi gerakan-gerakan yang sama tanpa kemajuan yang berarti. Mungkin ini yang disindir dengan gerakan tari poco-poco.
Pada waktu permasalahan semakin mencuat, dengan sigap Presiden segera melakukan “audisi” untuk membentuk Tim 8. Melihat nama-nama besar dari tokoh-tokoh masarakat yang dipilih menjadi anggota Tim 8 ini rakyat mempunyai pengharapan yang sangat tinggi. Tapi rakyat kembali kecewa karena rekomendasi Tim 8, yang notabene dibuat khusus untuk dan atas perintah perintah Presiden itu ternyata di “volley” lagi kepada institusi lain untuk dievaluasi kembali. Rekomendasi untuk penghentian kasus Bibit Samad Ryanto dan Chandra M Hamzah di-estafet ke jajaran Polri dan Kejaksaan Agung, sedangkan rekomendasi untuk melakukan reformasi institusional dan reposisi personal diteruskan lagi kepada Tim UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto. Alih-alih mengambil keputusan dan tindakan yang cepat dan tepat, para pengambil keputusan di negeri ini malah menjadi “tukang oper” seperti dalam permainan bola voli. Masarakat masih ingat bahwa ini bukan untuk pertama kalinya sebuah masalah nasional dicoba untuk diselesaikan dengan pembentukan Tim yang bekerja cepat, tapi penyelesaian akhirnya tidak kunjung terwujud. Contoh yang paling berat dan masih menggantung sampai sekarang adalah kasus kematian Munir. Kenapa? Karena pejabat yang seharusnya mengambil keputusan, justru melempar lagi hasil evaluasi Tim ini ke pihak lain. Rekomendasi yang diterima dianggap sebagai sebuah hot potato.
Isu yang beredar ditengah masarakat adalah, apakah kasus Bibit dan Chandra ini memang akan diteruskan ke pengadilan, atau akan dihentikan? Menurut Tim 8 di dalam rekomendasi yang sudah diserahkan kepada Presiden, barang bukti yang ada sangat lemah untuk bisa diajukan ke pengadilan. Artinya, bila kasus ini akan tetap diteruskan ke pengadilan akan memberi kesan adanya pemaksaan. Sedangkan untuk menghentikan pemeriksaan atau penuntutan akan terbentur kepada ego oknum-oknum Pimpinan Polri dan Kejakgung. Keadaan inilah yang menyudutkan kedudukan Presiden ke dalam dilema. Haruskah ia mengikuti rasa keadilan rakyat? Jawabannya tentu iya, tapi bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar rambu-rambu konstitusi? Apakah kasus Bibit dan Chandra ini memang bagaikan buah simalakama? Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati? Saya kira tidak!
Leadership Myopia
Theodore Levitt almarhum, seorang pakar marketing dari Harvard pernah merumuskan teori marketing myopia atau gejala rabun pemasaran. Pada tahun 1970-an, konon perusahaan angkutan kereta-api di Amerika Serikat mengalami kerugian besar akibat persaingan melawan moda transportasi lain. Kekalahan persaingan ini disebabkan oleh sikap defensif para pelaku usaha kereta-api yang seolah-olah tidak mampu lagi berinnovasi didalam persaingan. Inilah yang menurut Ted Levitt rabun marketing. Para pelaku usaha kereta-api ini melihat dirinya hanya sekedar sebagai operator kereta-api. Padahal kalau mereka melihat dirinya sebagai pelaku usaha transportasi, bukan cuma sekedar operator kereta-api, mereka tidak akan kehilangan akal untuk terus berinovasi dan bersaing.
Saya kuatir bahwa apa yang sedang terjadi di tanah air kita ini ada kemiripan dengan kasus tersebut diatas. Kini kita sedang dilanda penyakit rabun politik (politics myopia) atau rabun kepemimpinan (leadership myopia). Bahkan Presiden melihat masalah Bibit dan Chandra ini hanya sebagai masalah hukum yang menurut UUD 1945 tidak boleh dicampur-tangani oleh Presiden selaku badan eksekutif. Mungkin hanya sedikit diantara kita yang mampu melihat masalah ini sebagai masalah rabun kepemimpinan. Di ranah kemiliteran ada sebuah prinsip kepemimpinan yang sudah diadopsi di ranah manajemen perusahaan, yang mengatakan bahwa tidak ada prajurit yang jelek, yang ada hanyalah komandan yang jelek. Seharusnya SBY sebagai purnawirawan TNI Angkatan Darat bisa melihat ada anak buah yang sudah berbuat di luar kepatutan. Memang benar perbuatan ini dilakukan di dalam domain hukum yang tidak dapat diintervensi oleh Presiden. Tapi perilaku tidak patut ini menjadi tanggung-jawab Sang Komandan. Bayangkan, deklarasi Presiden untuk menganyang mafia peradilan dijawab oleh Kapolri dengan pengawalan khusus bagi Anggodo Widjojo, sang super markus? Kalau anak buah dibiarkan berbuat seenaknya, maka kesalahan ada pada Pimpinannya!
Kalau saya jadi SBY, maka yang akan saya lakukan adalah memanggil Kapolri dan Jaksa Agung dan memerintahkan mereka menyelesaikan kasus ini dalam batas waktu yang wajar. Saya akan peringatkan mereka untuk tidak main-main dengan citra pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 ini. Sebelum turun dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, Pak JK sudah memberi batas waktu kepada Kapolri untuk menyelesaikan masalah ini dalam tempo dua minggu. Artinya dalam waktu dua minggu harus ada keputusan apakah Bibit/Chandra bia diadili? Atau di bebaskan karena tidak cukup barang bukti. Sebagai anak buah yang tidak mampu mendukung visi Tim, seperti yang telah dirumuskan oleh Pimpinan, mereka harus diganti dengan petugas lain yang lebih mampu. Sementara itu saya akan berunding dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Yudisial untuk sama-sama memberantas mafia peradilan. Langkah awalnya adalah dengan menjamin suatu proses peradilan yang transparan atas Bibit Samad Ryanto dan Chandra M Hamzah, bila ditemukan cukup bukti sebagai perkara di peradilan. Dengan demikian Presiden tidak akan melanggar konstitusi, tapi rasa keadilan rakyat bisa dipelihara dengan baik. Pada saat yang sama, wibawa Presiden akan bertambah anggun di mata rakyat dan bawahannya. Apalagi di forum internasional.
Jakarta, 20 November 2009
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H