Tidak ada sejarahnya di Republik ini seorang Ketua Umum Partai Politik berpidato di depan para anggotanya sendiri, tapi diliput secara luas oleh media nasional seperti yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, pada hari Jumat 5 Maret 2010 yang lalu. Pidato ini menarik perhatian publik karena disampaikan berkaitan dengan rekomendasi Sidang Pleno DPR RI tentang kasus Bank Century, sehari setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono menyampaikan tanggapan mereka atas hal yang sama .
Pidato SBY dan Wapres Boediono yang disiarkan oleh berbagai stasion televisi nasional dua hari berturut-turut pada hari Rabu dan Kamis tanggal 3 dan 4 Maret 2010, berdampak hebat. Dari kedudukan mereka yang sebelumnya kelihatan seperti terjepit, SBY-Boediono berhasil membalikkan arah ayunan bandul kearah yang berlawanan melalui pidato mereka. Isi pidato Presiden dan Wakil Presiden RI ini secara tekstual tidak ada yang baru, semuanya adalah déjà vu, akan tetapi pesan yang disampaikan langsung kepada rakyat melalui bahasa tubuh ke dua petinggi negara ini memberi kesan yang berbeda. Gemuruh suara genderang-perang yang selama ini ditabuh bertalu-talu oleh suara mayoritas baik didalam sidang-sidang Pansus Bank Century maupun sidang paripurna DPR RI seakan-akan kini teredam. Sungguh suatu gesture komunikasi yang sangat efektif. Kontras dengan pidato-pidato SBY sebelumnya yang belakangan ini selalu bernada “curhat” kepada rakyatnya sendiri, seperti “ratapan” nya atas teriakan “Maling!”, tentang kerbau serta apa yang ia sebut sebagai fitnah-fitnah lainnya.
Di saat ayunan bandul bergerak-balik inilah, Ical tampil memanfaatkan momentum ini secara cerdik. Peluang ini tidak disia-siakan untuk menyetarakan dirinya dengan Presiden dan Wakil Presiden RI. Dengan gaya pe-de dan “tanpa dosa”, Ical muncul tanpa diminta oleh siapapun dan berbicara tentang masalah besar yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara. Tanpa minder sedikitpun, walaupun diisukan sebagai biang-keladi bencana lumpur Lapindo Brantas, Sidoarjo, dituding sebagai pengemplang pajak bisnis tambang batubara dan dihujat sebagai mitra koalisi yang durhaka, Ical berbicara bagaikan politikus ulung dan negarawan sejati yang jumlahnya langka di negeri ini.
Politikus dan Negarawan yang Visioner
Sebagaimana halnya dengan mantan Wakil Presiden Mohamad Jusuf Kalla, Ical meniti karir politiknya melalui jalur keberhasilannya sebagai pedagang dan konglomerat yang kaya raya. Kinerja politiknya selama ini, baik sebagai tokoh Partai Golkar, Menko Ekuin dan Menko Kesra terkesan biasa-biasa saja. Tapi kemunculannya yang tiba-tiba Jumat malam yang lalu menunjukkan bahwa dia mempunyai potensi untuk menjadi calon pemimpin besar di negara ini. Potensi ini sudah terlihat sejak ia memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Pada waktu itu Ical berjanji untuk tidak tergiur oleh jabatan di pemerintahan dan akan berkonsentrasi penuh pada usaha pemulihan kembali citra partai yang sempat terpuruk. Tujuannya jelas yaitu, kemenangan Golkar pada Pemilu 2014 dan merebut kursi RI-1 pada Pilpres 2014. Pidatonya pada malam hari itu adalah sebuah milestone dari suatu strategi dan rencana perjalanan-panjang yang akan ditempuh untuk mencapai visinya. Disini kita bisa melihat bahwa Ical adalah pemimpin yang visionary. Ciri-ciri seorang visioner adalah tidak graba-grubu untuk meraih sebuah sasaran jangka pendek. Pandangan seorang visioner selalu fokus pada sasaran akhir, nun jauh di depan sana, sementara setiap momentum yang muncul selama di perjalanan harus dimanfaatkan secara cerdas dan efektif. Mungkin naluri pedagangnya membuat ia jeli melihat peluang.
Melalui pidato politiknya Ical berhasil membunuh banyak lalat-lalat dengan sekali pukul. Disamping mencuri start kampanye-dini untuk Pilpres 2014 yang masih jauh, ada sasaran lain yang bisa diperhitungkan seandainya opsi pemakzulan menjadi kenyataan. Sementara bila pemakzulan tidak akan terjadi, Ical juga tidak kehilangan akal untuk tetap bertahan di Kabinet Indonesia Bersatu jilid Dua (KIB/II). Ical yakin bahwa Presiden SBY tidak akan berani dan gegabah untuk membuka front terhadap “pengkhianat2” koalisi, terutama terhadap Partai Golkar. Dengan jumlah kursi di Parlemen yang besarnya nomor dua setelah Partai Demokrat, Ical tahu bahwa SBY tidak akan merasa aman di DPR tanpa berkoalisi dengan salah satu diantara Partai Golkar dan PDI-P. Dan ia juga tahu bahwa PDI-P tidak akan mudah dirangkul kedalam KIB/II selama Megawati masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai. Ical juga sadar bahwa tidak banyak manfaat yang bisa diraih oleh Golkar bila berada di posisi oposisi. Salah-salah malah bisa jadi kampanye buruk untuk Pilpres 2014 nanti. Untuk itu, pasca Rekomendasi DPR RI tentang skandal Bank Century ini, SBY perlu dirangkul kembali seperti lazimnya seorang isteri setia yang malang, yang harus dibujuk-bujuk oleh suami khianatnya yang baru saja berselingkuh. Makanya didalam pidatonya itu Ical menyambut baik ajakan SBY untuk meningkatkan semangat kebersamaan dalam rangka menindak-lanjuti isi dari rekomendasi DPR tersebut. Pada kesempatan yang sama Ical berhasil membuat Golkar tampil beda diantara partai-partai koalisi, partai-partai koalisi-pembelot maupun oposisi. Sungguh suatu strategi politik yang hampir sempurna. Disini Ical sukses mengemas segala akal-bulusnya menjadi sebuah penampilan seorang negarawan yang siap perang dan siap damai. Kalau mau dicari cacat atau kekurangannya mungkin di mata PDI-P gaya berpolitik Golkar seperti ini bukanlah barang baru. Cara seperti ini didalam permainan gundu atau kelereng, permainan yang sempat saya sukai pada masa kanak-kanak saya, disebut “dus-dusan” artinya semua sasaran bisa kena. Lalu, dimana letak kepiawaian seorang Aburizal Bakrie untuk memetik manfaat dari koalisi ini?
Koalisi itu Nikah, Kawin atau Kumpul Kebo?
Seorang teman lama pernah mengajukan teka-teki kepada saya, apa bedanya nikah dengan kawin? Jawabnya, menurut teman itu sambil tertawa terpingkel-pingkel sendiri, adalah bahwa kalau nikah pake surat, tapi kalau kawin pake “urat”, katanya! Rupanya kawan ini sedang bergurau dengan teka-teki atau lelucon ini. Entah “urat” yang mana yang dia maksud untuk kawin itu? Mungkin maksudnya kawin itu sama dengan kumpul-kebo, karena tanpa ijab-kabul yang tertulis dalam suatu dokumen resmi. Sehubungan dengan hal ini, kita agak sulit untuk menganalisis bagaimana Partai Golkar, dan Ical khususnya, menilai koalisi yang selama ini sudah dibangun dengan Partai Demokrat? Ijab kabul sudah ditanda-tangani, karena kesepakatan koalisi ini dibuat tertulis. Artinya, aturan pembagian harta gono-gini pun sudah disepakati bila sampai terjadi perceraian. Menurut etika perkawinan dalam hubungan suami-isteri, selingkuh itu dosa. Sedangkan bagi Golkar koalisi ini pake surat, juga pake “urat”, tapi selingkuh jalan terus. Lalu ini nikah, apa kawin, apa kumpul kebo? Mungkin cuma Pak Ical yang bisa menjelaskan!
Bagi banyak pihak, kasus skandal Bank Century ini bagaikan gelombang badai yang menghempas kesana-kemari dan meluluh-lantakan segala sendi kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Sedangkan bagi Aburizal Bakrie, kasus ini bagaikan riak-riak ombak di tepi sebuah pantai tropis yang indah dimana ia sedang asyik berselancar dengan kaum kerabatnya. Disini Ical tidak hanya sekedar bertahan ngambang atau buoyant tapi juga meluncur cepat menuju pantai tujuan visi dan cita-citanya. Seandainya ia bisa membuktikan bahwa dia adalah Pemimpin bangsa dan negara yang tepat dan yang selama ini kita dambakan, mengapa tidak? Kesempatan terbuka lebar bagi semua putra terbaik.
Jakarta, 7 Maret 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H