Siapa yang tidak shock waktu mengetahui bahwa suatu jenis makanan yang disini biasa kita konsumsi sehari-hari, ternyata di tempat lain jadi makanan binatang piaraan atau pakan ternak? Bayangkan, kita disamakan dengan binatang? Sayur lodeh dan empal goreng kita yang terhidang di atas meja makan disetarakan dengan sekerat tulang milik si Pleki yang terletak di atas keset di depan pintu? Shock atau goncangan semacam itu bisa saja terjadi kapan saja tanpa terduga-duga.
Waktu saya masih remaja, masih duduk di bangku SMP, saya sudah mengalami shock semacam ini. Sepulangnya ayah saya almarhum dari pengembaraannya di Eropa, dia bercerita bahwa di Eropa sana, kalau kita suka makanan babat, iso, paru, jantung, ati, ginjal, otak dan jeroan lainnya, maka hidup kita tidak akan susah karena disana jeroan ini tidak dijual tapi bisa diminta secara gratis. Wah, saya berpikir enak benar hidup di Jerman sana? Bisa masak soto tiap hari tanpa belanja jeroan? Iya, kata ayah saya. Disana jeroan tidak dimakan orang tapi jadi makanan anjing. Seorang teman ayah yang sudah lama tinggal di Jerman menceritakan pengalamannya tentang hal ini. Seorang tukang daging biasanya harus membayar sejumlah uang untuk membuang jeroan ini. Tapi jeroan ini bisa diberikan secara cuma-cuma kepada teman atau tetangganya yang memiliki anjing piaraan. Di lain pihak, para penyayang anjing ini juga memerlukan jeroan untuk pakan binatang kesayangannya. Maka terjadilah disini sebuah win win solution yang saling menguntungkan. Yang “lucu” adalah kejadian yang dialami oleh teman ayah tersebut sewaktu ia bermaksud untuk menawarkan “win win solution” versi dia. Ia ingin memasak soto jeroan yang agak banyak, karena mau mengundang makan-malam beberapa teman mahasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Untuk itu ia memerlukan jeroan dalam jumlah yang agak banyak. Untunglah usahanya ini berhasil. Pada waktu menyerahkan jeroan gratis tersebut kepada teman ayah, si tukang daging berkata dengan ramah: “Ooo, Anda punya banyak anjing ya dirumah?” Teman ayah itu tersenyum kecut sambil bergumam dalam hati, sialan! Di Inggeris ada cerita ayah yang lain. Subyeknya sama tentang orang Indonesia yang suka memanfaatkan jeroan gratis disana. Suatu waktu ia pergi ke pasar dan menanyakan kepada salah seorang tukang daging yang sedang berjualan disana. “Excuse me Sir, do you have brain?” Si tukang daging langsung bercakak-pinggang dan balik bertanya: “Why do you think that I have no brain?” Rupanya teman ayah ini ingin minta otak sapi yang gratis, tapi karena ia berbahasa Inggeris “apa adanya” hampir saja terjadi salah paham. Konon kini tidak ada lagi jeroan gratis disana. Sudah banyak orang Indonesia dan orang-orang Asia lain disana yang mengajari orang-orang Eropa untuk tidak membuang-buang jeroan ini. Mubazir kan?
Setelah dewasa saya menjadi eksekutif muda tinggal di Paris, Perancis. Jabatan saya waktu itu adalah kepala perwakilan sebuah Perusahaan dan bertanggung jawab untuk seluruh Perancis. Suatu saat saya mengundang beberapa mitra-usaha orang Perancis untuk business lunch bersama saya di restoran Cina langganan saya, Au Dragon Imperialyang berlokasi di jalan Faubourg St. Honoré, VIIIe arrondissement, Paris. Diantara set menu yang dipesan ada sepiring cah taoge yang cukup enak. Mitra Perancis ini berkomentar bahwa sebagai orang Perancis, ia tidak pernah mengetahui bahwa taoge bisa dimasak jadi seenak ini. Sambil tersenyum saya berkata bahwa itu normal saja karena orang Perancis tidak mengenal taoge kan? Dia membantah. Katanya, negeri Perancis mengimport taoge dalam jumlah yang sangat besar dari Brazil. Tapi taoge ini bukan untuk dimakan manusia tapi untuk makanan babi! Ya, ampuun! Sampai sekarang saya masih menyukai tumis taoge ikan asin yang dijual di restoran langganan saya di Jalan Batu Tulis, Jakarta Pusat. Tapi setiap kali saya menyantap makanan ini, masih terngiang-ngiang di telinga saya kata-kata teman Perancis saya dulu, bahwa makanan seenak ini disana diberikan ke babi.
Selama di Perancis saya mempunyai seorang rekanita orang Indonesia yang sangat supel pergaulannya dengan orang-orang setempat. Suatu saat kami berlibur bersama-sama dalam sebuah rombongan kecil dengan teman-teman Perancis, di Sable d’Olonne, sebuiah kota kecil yang indah di pantai lautan Atlantik. Kami semua menginap di sebuah chalet dimana sebagai tamu kita bisa masak sendiri. Kita bersepakat untuk memasak masakan Perancis dan Indonesia secara bergantian. Sambil memasak kita juga akan saling mengajari masakan masing-masing. Pada hari ke dua kita berbelanja rame-rame di sebuah super market yang besar. Pada saat berbelanja ini kami, rekanita saya dan saya, mengalami shock berat yang tidak kami duga-duga. Waktu rekanita ini memasukkan sekaleng kornet ke dalam troli untuk dibeli, teman wanitanya yang orang Perancis itu tiba-tiba melarangnya. Aduh, itu makanan anjing, katanya. Orang-orang imigran asing disini ada yang makan itu tapi kami orang Perancis tidak, katanya lagi. Rekanita saya dan saya, tahu benar bahwa makanan anjing, kucing dan binatang-binatang peliharaan yang lain itu selalu dijual di dalam rak-rak khusus dan terpisah. Sementara kornet kalengan yang mau dibeli oleh rekanita saya ini ada di rak lain, dan benar-benar bermerek corned beef. Tapi siapa sangka bahwa di Perancis kornet ini adalah makanan anjing? Untung saja cepat diketahui, kalau tidak? Bayangkan bila kami sudah keburu menyajikannya dengan bangga diatas meja sebagai kuliner Indonesia? Wah, betul-betul sulit untuk dibayangkan! Pengalaman saya yang satu ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.
Baru-baru ini saya makan siang dan ngobrol-ngobrol dengan teman saya, orang Indonesia yang bekerja di Kedutaan Besar Kanada di Jakarta sebagai staf lokal. Dari ngobrol ngalor-ngidul ini saya baru mengetahui darinya bahwa Kanada adalah negara pengekspor kedelai terbesar nomor satu di dunia, sementara Indonesia adalah negara pengimpor kedelai juga terbesar nomor satu di dunia. Saya heran kenapa Pemerintah kita tidak pernah berpikir untuk bisa merubah keadaan ini. Tempe, taoge, oncom adalah makanan sehari-hari rakyat Indonesia tapi bahannya kok impor? Rokok kretek juga mengalami hal yang sama. Rokok khas negara kita ini menggunakan cengkeh impor dari Zanzibar. Rupanya, bukan produk PT Pindad, PT PAL dan PT ITPN saja yang local content atau kandungan lokalnya masih sedikit, produk tradisional seperti tempe dan rokok kretekpun mengalami hal yang sama. Lebih banyak kandungan impornya daripada kandungan lokal. Nah, kembali pada masalah kedelai tadi, ada hal lain yang membuat saya lagi-lagi shock. Kedelai yang diproduksi dan diekspor oleh Kanada ada dua jenis. Kita sebut saja yang pertama adalah jenis A, yang terbagi lagi dalam 3 tingkatan mutu yaitu, A1, A2 dan A3. Jenis yang ke dua adalah jenis B yang juga terbagi atas 3 tingkatan mutu yaitu B1, B2 dan B3. Kedelai jenis A adalah jenis kedelai untuk dikonsumsi oleh manusia, sedangkan jenis B untuk ternak. Tahukah Anda bahwa Indonesia, negeri kita ini adalah pengimpor kedelai terbesar nomor satu di dunia untuk kedelai jenis B3 ? Iya, jenis kedelai untuk ternak dari mutu yang terendah! Coba bayangkan bila pada suatu waktu Perdana Menteri Kanada bertemu dengan Presiden RI dalam sebuah konperensi PBB atau APEC misalnya. Perdana Menteri Kanada akan menyapa Presiden RI: “ Pak SBY, para petani Kanada sangat berterimakasih loh kepada Indonesia yang telah mengimpor kedelai kami. Negara Anda hebat ya mempunyai sebegitu banyak ternak!” Dan kalau Pak SBY punya sense of humor yang tinggi, beliau akan menjawab: “Terima kasih kembali, memang ternak kami banyak sekali. Ranking ke empat di dunia. Ada 230 juta jiwa loh!”.
Yah, itu adalah kenyataan hidup. Kita tidak punya pilihan lain kecuali menghadapinya. Saya harap para pembaca tidak akan mengalami shock-shock seperti yang pernah saya alami.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Lain kawasan lain kebiasaan, lain orang lain pula pangannya
Jakarta, 22 April 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H