Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ancaman Kecelakaan Pesawat Terbang Masih Laten

8 Desember 2009   00:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:01 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentetan kecelakaan pesawat terbang masih terus berlangsung di bumi Pertiwi ini. Yang agak berubah adalah frekuensi kejadiannya yang sudah agak lebih jarang, demikian juga derajat fatalitasnya. Ini berarti bahwa kemungkinan terjadinya kecelakaan yang lebih fatal dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Dalam tempo kurang dari satu minggu, telah terjadi lima kejadian atau incident pesawat terbang. Yang pertama terjadi pada hari Rabu, 2 Desember 2009 yang lalu. Pesawat Merpati jenis Fokker F-100 mendarat darurat di bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur tanpa roda pendarat utama sebelah kiri. Dalam dunia aviasi pendaratan darurat seperti ini disebut dengan istilah belly landing atau pendaratan perut. Pesawat dengan nomor registrasi PK-MJD dan nomor penerbangan MZ5840 ini memuat 88 orang penumpang dan 6 orang awak pesawat. Beberapa orang penumpang terluka dalam proses evakuasi, tapi tidak ada korban jiwa.

Keesokan harinya, Kamis tanggal 3 Desember 2009 giliran pesawat Boeing tipe B737-400, PK-YVR milik Batavia Air yang mengalami gagal lepas-landas di bandara Ngurah Rai, Bali. Sejatinya pesawat dengan nomor penerbangan 7P701D ini akan terbang ke Surabaya dengan 148 orang penumpang. Kejadian yang menimpa pesawat Batavia Air ini cukup unik. Menurut media, semula pesawat berada dalam keadaan baik-baik saja. Semua berjalan normal, siap untuk tinggal-landas. Masalah timbul ketika salah seorang penumpang berteriak-teriak melihat api dan asap pada engine pesawat sebelah kiri. Para penumpang yang lain langsung ikut panik dan menghambur keluar melalui pintu darurat pesawat. Beberapa penumpang terluka dan menderita patah tulang pada saat berusaha melompat keluar, karena balon peluncur tidak berfungsi maksimal. Untung tidak ada korban jiwa, namun kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan? Pada saat pesawat akan take-off, seluruh isi pesawat berada dalam keadaan “siaga penuh”. Di kokpit, nakhoda pesawat atau captain in command sibuk mengemudikan pesawat dan berkomunikasi secara intens dengan staf di darat. Sementara di dalam kabin, para awak pesawat, dibawah supervisi seorang Kabin-Satu (cabin-one) yaitu penanggung-jawab kabin (biasanya dijabat oleh seorang purser, atau assistant purser, atau awak kabin senior) sibuk memandu penumpang tentang prosedur keselamatan penerbangan. Logikanya, dalam kondisi demikian setiap gerak-gerik penumpang tidak boleh luput dari pengamatan awak pesawat. Kalau ada satu atau beberapa penumpang melihat sesuatu yang tidak biasa, seharusnya pramugara atau pramugari lekas bertindak. Kalau kemudian diberitakan bahwa penumpang panik dan berusaha untuk membuka pintu pesawat, kedengarannya agak janggal. Yang jadi pertanyaan adalah, apa yang dikerjakan oleh para awak kabin waktu itu? Apa pula reaksi Kapten pesawat? Beberapa rekan pengamat, termasuk saya kuatir bahwa ada yang tidak transparan dalam pemberitaan soal insiden ini. Awak kabin yang profesional pasti mampu menguasai keadaan seperti itu, kecuali kalau ia (mereka) juga ikut-ikutan panik. Kalau seorang Kapten juga ikut panik berarti ia juga tidak paham tentang apa yang terjadi dengan mesin pesawat yang berasap tersebut. Bagaimana mereka bisa menenangkan penumpang, lha wong mereka sendiri aja panik?

Pada hari Senin 7 Desember dilaporkan ada 3 kejadian lagi. Yang pertama adalah kejadian yang menimpa pesawat CN212 milik Polri dimana seluruh awaknya dikabarkan selamat. Kemudian ada sebuah pesawat jenis CN235 yang tergelincir di lapangan terbang Pondok Cabe, Tangerang. Dan yang terakhir adalah pesawat milik maskapai Riau Airlines yang melakukan pendaratan darurat di Brang Biji, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pesawat tersebut sedang dalam penerbangannya dari Denpasar menuju Nusa Tenggara Timur.

Kejadian-kejadian tersebut diatas cukup mengejutkan dan sekaligus memprihatinkan. Selama ini kita sudah merasa sedikit lega dengan kemajuan-kemajuan yang telah kita capai dalam hal keselamatan penerbangan. Jumlah kejadian dan kecelakaan sudah menurun dan larangan terbang oleh Uni Eropapun sudah dilonggarkan. Tapi dengan terjadinya ke lima kejadian tersebut, yang notabene diakibatkan oleh alasan teknis, kita bisa berasumsi bahwa secara sistem, faktor keselamatan penerbangan di negeri ini masih tetap rawan. Kemungkinan terjadinya kecelakaan yang lebih fatal masih tetap laten. Dalam hal ini, regulator ditantang untuk lebih mengintensifkan lagi pelaksanaan audit, inspeksi dan pengawasan teknis rutin secara lebih efektif. Maskapai Merpati Nusantara perlu mendapat perhatian yang lebih khusus karena dalam tahun ini saja, kinerja MMF (Merpati Maintenanace Facility) sudah memiliki catatan yang kurang baik atas kasus sebelumnya. Masarakat belum lupa atas peristiwa yang terjadi pada kecelakaan sebelumnya yang juga berkaitan dengan fungsi roda pendarat. Pada waktu itu regulator langsung membekukan kegiataan MMF untuk di audit sebagai tanggung-jawab atas kejadian tersebut. Kejadian berulang seperti ini sama sekali tak boleh dianggap sepele. Kita tidak rela untuk mempertaruhkan nama dan kehormatan bangsa hanya demi toleransi terhadap sebuah kelalaian. Masarakat tidak menghendaki kejadian-kejadian semacam ini terus berlanjut dan nantinya bisa berujung pada diberlakukannya kembali larangan terbang oleh Uni Eropa yang baru saja dicabut sebagian!

Direktorat Teknik sebuah maskapai penerbangan bertanggungjawab atas perawatan dan perbaikan pesawat. Salah satu kelemahan dari unit ini, yang melanda hampir semua maskapai penerbangan di dalam negeri, adalah abai terhadap kelengkapan dan ketelitian dalam pencatatan atau recording. Maskapai yang menyerahkan jasa perawatan/perbaikan pesawatnya kepada pihak ke tiga, dikecualikan dari kategori pengabaian ini. Sedangkan maskapai yang melakukan perawatan/perbaikan sendiri, umumnya tidak punya catatan yang rinci dan up to date atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Tidak jarang proses perbaikan mengharuskan perubahan pada tata-letak komponen-komponen yang ada. Bila hal ini tidak dicatat dengan baik pada buku catatan atau log book yang tersedia, pasti akan menyulitkan pada perbaikan berikutnya. Sayangnya, audit atas hal ini memakan waktu yang lama sehingga di satu pihak menyulitkan auditor, sedangkan di pihak lain “menguntungkan” maskapai yang malas. Selama hal ini masih berjalan, maka keselamatan penerbangan masih akan tetap rawan. Mudah-mudahan hal ini memberikan pembelajaran yang berharga kepada kita semua bahwa keselamatan penerbangan adalah tanggung jawab kita semua.

Jakarta, 8 Desember 2009

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun