Untuk merangkul sosok Ical, Presiden SBY telah tega “menendang” keluar Sri Mulyani Indrawati (SMI) dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua. Hal ini dilakukan oleh SBY untuk mendapatkan dukungan politik yang notabene selama ini sudah terbukti semu. Setelah gagal membujuk-rayu PDI-Perjuangan untuk merapat ke koalisi melalui lobi-lobi yang gencar dengan Ketua Dewan Penasihat Partai, yaitu Taufik Kiemas, maka tanpa risi atau malu SBY merangkul Aburizal Bakrie (ARB) lagi. SBY percaya bahwa Ketua Umum Partai Golkar ini mempunyai pengaruh yang kuat untuk mempersatukan barisan koalisi.
Disini kita dibuat sadar betapa mahalnya harga sebuah koalisi politik! Pengabdian seorang Menteri yang sudah berkontribusi secara profesional dan loyal selama ini, bisa di-barter dengan mudah demi kembalinya mitra koalisi yang jelas-jelas sudah berkhianat secara politik? Sudah jelas loyang tapi masih dikejar, sementara emas dikorbankan. Barter politik ini dikemas secara apik sehingga masarakat awam tidak bisa melihat dengan jelas siapa menyandera siapa, siapa merangkul siapa dan siapa yang hanya dijadikan pelengkap penderita secara “terhormat”? Seandainya saya Dedy Mizwar, saya akan membuat filem baru dengan lakon “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” bagian II, dengan tokoh-tokoh ARB, SMI dan SBY.
Politik Aburizal Bakrie
Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie atau ARB sekarang muncul sebagai politikus papan atas di pentas politik nasional. Wibawanya kini tampak lebih high profile dibandingkan pada saat ia masih menduduki jabatan sebagai Menko Polhukam dan Menko Kesra pada masa KIB jilid satu. Dengan latar belakang sebagai pengusaha sukses, ia mengikuti jejak senior dan pendahulunya yaitu Jusuf Kalla (JK). Disamping menakhodai partai politik yang sama, ARB juga memiliki gaya dan kelincahan berpolitik yang mirip-mirip JK. Sebagai Ketua Umum pasca Pemilu/Pilpres 2009, ARB menghadapi masalah kepartaian yang sama krusialnya dengan yang pernah dihadapi oleh Akbar Tanjung (AT) selepas kejatuhan Orde Baru. Dalam kaitan ini ARB dan AT telah membuktikan kemampuan mereka untuk mengangkat kedudukan Partai Golkar dari keterpurukan ke posisi yang diperhitungkan baik oleh kawan maupun lawan. Pada tahun 1998 AT mampu meredam tuntutan masarakat untuk membubarkan Golkar, dan merubah status Golkar dari Orpol menjadi Parpol. Kini ARB mengendalikan Partai Golkar bak seorang CEO sebuah perusahaan multi-nasional. Sekarang ia sibuk melakukan turn around atas kinerja bisnis “Golkar Inc.” pasca Pemilu/Pilpres 2009. Dengan kepiawaiannya, ARB berhasil merubah nasib Partai Golkar dari kedudukan yang tak menentu diantara Pemerintah dan Oposisi pasca Pemilu/Pilpres 2009, ke posisi pemegang kendali keadaan di negara ini. Bayangkan, posisi SBY sebagai Presiden RI, pemenang Pemilu/Pilpres 2009 berada dibawah kendali ARB! Lihat, betapa hebatnya ARB ini! Sudah menggunting dalam lipatan, sudah menyikut Pemerintah dalam kasus Bank Century, ARB masih dikasih ati. Kita tunggu saja, kapan ARB akan merogo rempelo pada kesempatan pertama. Tidak itu saja, tanpa berucap secara verbal ARB sudah menyampaikan pesan-pesannya dengan jelas kepada calon Menteri Keuangan RI yang baru: “Jangan coba-coba cari perkara dengan saya! Kartu Anda semua ada ditangan saya!”. Sejarah akan membuktikan nanti apakah keputusan SBY untuk mengundang “anak macan” ke dalam rumah ini bijak atau malah sebaliknya?
Sri Mulyani Indrawati yang Berkarakter
Diantara Menteri-Menteri wanita dalam KIB jilid satu dan dua yang jumlahnya relatif sedikit, penampilan Sri Mulyani (SMI) sangat menonjol. Bahkan lebih menonjol daripada banyak Menteri-Menteri pria lainnya. Beberapa media nasional menyebutkan bahwa secara de facto SMI adalah penentu kebijakan nasional nomor dua setelah Presiden. Sebagai tokoh dengan karakter yang kuat, keberadaan SMI dalam barisan KIB jilid satu dan dua memang agak unik. Chemistry dari karakter SMI yang kuat, pasti tidak cocok dengan sifat SBY yang selalu bermain di wilayah abu-abu, kompromistis, akomodatif, ingin menyenangkan semua pihak dan selalu mengedepankan pencitraan. Untunglah periode pemerintahan SBY-JK 2004-2009 bisa berlalu relatif mulus. Saya katakan relatif karena sebenarnya bibit-bibit pemasalahan sudah terasa sejak lama. Ketegasan SMI yang tanpa pandang bulu, tanpa kompromi, telah menjadikan dirinya malah sebagai duri dalam daging bagi SBY. Kelugasan SMI terhadap masalah penjualan saham Bumi Resources dan masalah perpajakan yang menyangkut badan-badan usaha milik ARB yang lain, alih-alih mendapat apresiasi malah dirasakan menyulitkan kedudukan politik SBY.
Tawaran untuk menduduki jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia sudah sejak tahun lalu ditolak oleh SMI. Ia sama sekali tidak berminat. Kalau ia mau, SMI sudah menerima tawaran tersebut dari dulu. SMI lebih memilih berbakti kepada bangsanya sendiri. Sebagai Menkeu RI, ia adalah seorang “raja-kecil” yang menetapkan kebijakan-kebijakan untuk dilaksanakan oleh orang lain. Sedangkan sebagai Managing Director, World Bank, ia cuma “kacung-besar” yang digaji besar (15 x lipat), yang hanya menjalankan kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkan oleh orang lain. Kehadiran SMI dengan karakternya yang kuat di dalam Kabinet yang dipimpin SBY sudah diramalkan pasti akan menimbulkan permasalahan, cepat atau lambat. Coba perhatikan pernyataan SMI yang disiarkan oleh harian Kompas, pada hari Jumat tanggal 7 Mei 2010 yang lalu: Pemimpin Jangan korbankan Anak Buah! Simak juga komentar Kompas atas pernyataan itu: Ini kata-kata bersayap dari Ibu Menteri. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kejadian ini adalah SMI tahu dan sadar bahwa ia telah dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih “besar”. Kepentingan lebih “besar” ini adalah kepentingan sesaat, kepentingan SBY, dan bukan kepentingan rakyat banyak. Hal ini mengingatkan saya pada saat Hoegeng dicopot sebagai Kapolri oleh Jenderal Soeharto pada masa Orde Baru. Hoegeng menolak tawaran jabatan Duta Besar, dan menerima pencopotannya dengan lapang dada. Pada kesempatan berikutnya, Hoegeng muncul di TVRI bersama grup musik Hawaiian Seniors dan menyanyikan lagu It’s A Sin To Tell A Lie. Sebuah lagu terkenal tahun 1940-an. Sekarang kita tunggu saja bagaimana SMI melakoni kegiatan barunya, dengan caranya sendiri. Saya rasa SMI juga akan bernyanyi, tapi mungkin judul lagunya lain. Sungguh kasihan nasib SMI ini. Sudah diperalat, dijadikan bumper dan masih dijadikan tumbal pula!
Apa yang Kau Cari SBY?
Sebagaimana umumnya seorang pemimpin, SBY pasti akan memilih anak buah yang cocok dengan karakter pembawaan dirinya. Tokoh-tokoh yang berpotensi untuk menyulitkan dirinya pasti disingkirkan. Lihat saja bagaimana SBY “membersihkan” tokoh-tokoh keras dari lingkungannya pada tahun 2004. Semua Kepala Staff Angkatan pada waktu itu diganti, pencalonan Ryamizar Ryacudu sebagai Panglima TNI dijegal. Kemitraan SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang berakhir pada tahun 2009 yang lalu juga berlatar-belakang pada motif yang sama. SBY alergi menghadapi orang yang berkarakter kuat.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan SBY sebagai Pemimpin Bangsa, ada satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah suksesnya mencitrakan diri sebagai Pemimpin yang santun, tampil penuh wibawa dan pandai mengendalikan emosi dan egonya. Tapi dibalik penampilan wajah yang anggun itu, ternyata berkecamuk rasa tidak percaya diri, rasa ketidak-pastian, bahkan rasa panik dan ketakutan yang sangat berlebihan terhadap partai-partai politik lain, terutama terhadap PDI-P dan Partai Golkar. Perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 dan perolehan suara SBY pada Pilpres 2009 adalah kuasi mutlak. Dukungan partai-partai PAN, PKB, PPP dan PKS juga lebih dari cukup. Dukungan yang lebih kuat daripada suara mayoritas di DPR adalah legitimasi SBY sebagai pemegang mandat yang diberikan langsung oleh rakyat. Tapi mengapa SBY seperti ngotot untuk menggaet Partai Golkar, bahkan siap untuk “mengemis” kepada PDI-P dengan segala cara? Hal ini memang sulit untuk dimengerti oleh orang lain, termasuk oleh orang-orang dekatnya. Yang lebih sulit lagi untuk dimengerti sekarang adalah kenyataan bahwa SBY telah tega dan rela melepas SMI untuk merangkul ARB. Posisi koordinator partai-partai koalisi yang selama ini dipegang oleh Hatta Rajasa juga dialihkan kepada ARB. Kalau kita mengacu pada bunyi peribahasa lama Berani Karena Benar, Takut Karena Salah, mungkinkah SBY takut karena merasa bersalah? Mungkinkah SBY terlibat langsung dalam kasus Bank Century? Hanya Tuhan dan SBY sendiri yang tahu. Kita hanya bisa mengamati perilakunya dan indikasi ke arah keterlibatannya saja.
Sehubungan dengan hal ini, beberapa teman pengamat politik memperkirakan bahwa ke depannya SBY akan menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah resiko di rogo rempelo-nya oleh ARB, karena sebelumnya SBY yang sudah memberi ati. Hal ini akan terjadi bila SBY berlaku “tulus” (baca: naif) dan mengharapkan agar ARB dan Partai Golkar juga akan tulus memberikan dukungannya bagi koalisi. Dalam hal ini seyogyanya SBY belajar dari PDI-P yang sudah sangat “berpengalaman” dirangkul dan ditinggal secara berulang-ulang oleh Partai Golkar dalam hal berkoalisi.
Kemungkinan ke dua adalah pudarnya citra SBY di mata rakyat kecil. Hal ini akan berlaku bila SBY ternyata melakukan semua ini dengan sadar. Ini berarti bahwa SBY juga menganut paham macchiavellist yangmengatakan bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Jika hal ini benar maka SBY tidak berbeda dengan politisi-politisi senior lainnya. Prinsip yang demikian adalah politik bunglon yang oportunis. Kekuasaan yang seharusnya diabdikan untuk kepentingan rakyat tapi malah dipakai untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Kepentingan sesaat, kepentingan pribadi dan golongan lebih diprioritaskan daripada kepentingan masarakat. Kebijakan mengorbankan keberadaan SMI untuk memberi tempat yang leluasa kepada ARB dan Golkar di dalam kapal koalisi akan dibaca sebagai suatu permufakatan jahat. Ada apa dibalik semua ini? Kok sebegitu nekatnya? Kasus bank Century sudah terlanjur mendapat stigma sebagai persekongkolan tingkat tinggi yang harus ditutup-tutupi dengan segala cara, dan berapapun harganya. Indikasi tentang ini sangat kasat mata. Ibarat kata pepatah Melayu lama yang berbunyi, kalau tidak berada-ada, masakan tempua bersarang rendah. Mengorbankan apa saja demi dukungan politik untuk mengelabui rakyat dan menutup-nutupi suatu kejahatan adalah tindakan yang sangat berbahaya. Semoga penafsiran saya keliru, tapi bila kasusnya memang demikian, maka siap-siaplah untuk mendengar suara rakyat yang nantinya akan berkata: “Sekali lancung ke ujian, seumurku tak percaya!”
Jakarta, 10 Mei 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H