Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Peta Baru Geo-Ekonomi Asia Timur Pasca ACFTA

27 April 2010   23:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_128318" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Begitu ACFTA dinyatakan berlaku pada 1 Januari 2010 yang lalu, Indonesia langsung minta negosiasi-ulang kepada Cina karena alasan belum siap. Ini dilakukan tanpa perasaan risih atau sungkan kepada Cina dan negara-negara Asean lainnya. Padahal Indonesia sudah meratifikasi ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) atau Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-Cina sejak 15 Juni 2004 melalui Kepres Nomor 24 tahun 2004. Keikut-sertaan Indonesia selama ini di dalam diplomasi mempersiapkan ACFTA cukup menonjol. Tapi entah mengapa setelah ACFTA ini diberlakukan tiba-tiba ada pihak-pihak di dalam negeri yang menjerit dan protes karena tidak siap? Ternyata penyakit lama kita masih saja belum hilang. Walaupun untuk sebuah kesepakatan penting dan strategis seperti ACFTA, koordinasi antara diplomasi ke luar dan kesiapan di dalam negeri masih saja kedodoran.

Sudah lama kita mendengar pemeo yang mengatakan bahwa koordinasi bukanlah titik kekuatan bangsa Indonesia. Tapi kalau kita melihat cara bekerja para markus (makelar kasus) di negeri ini, yang mempunyai jejaring begitu luas, yang bisa bekerjasama lintas unit, lintas instansi bahkan lintas departemen secara rapi dan efektif, pemeo yang tersebut diatas seharusnya tidak ada. Para mafia hukum di Indonesia ternyata mampu berkoordinasi dengan baik secara “profesional” melebihi para mafiosi yang asli di negeri asalnya di Sicilia, Italia sana. Terus terang, hal ini harus menjadi keprihatinan kita semua. Kalau menghadap ACFTA saja kita sudah tidak siap, apalagi menghadapi pasca ACFTA, dimana peta geo-ekonomi Asean plus Cina, bahkan di seluruh Asia Timur diramalkan akan berubah total.

Ditinjau dari tingkat kesiapannya, negara-negara yang terlibat di dalam ACFTA dapat dibagi menjadi empat kategori. Yang pertama adalah kategori negara inisiator yaitu Republik Rakyat Cina dan Republik Singapura. Ke dua negara ini sudah lebih dari siap dan sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk mengimplementasikan ACFTA dengan segera. Kategori ke dua adalah negara-negara pendukung, yaitu Malaysia, Thailand, Brunei Darusalam yang sudah siap dengan konsep perdagangan bebas, namun masih mempersiapkan diri untuk program-program pendukungnya. Yang ke tiga adalah kategori negara-negara pengikut yaitu Filipina, Laos, Kamboja, Vietnam dan Myanmar, yang relatif cukup siap namun bersikap low profile dan mewaspadai setiap perkembangan yang terjadi. Kategori ke empat adalah negara kita, Indonesia. Sikap dan kedudukan Indonesia cukup unik karena “penyakit” sindroma negara besar yang dideritanya. Ini terlihat dari perilakunya yang high profile pada tingkat diplomasi, tapi pada kenyataannya tidak terlalu siap di berbagai sektor di dalam negeri. Indonesia seperti tidak sadar bahwa dirinya adalah “sasaran tembak” baik oleh Cina maupun oleh negara-negara tetangga sesama anggota Asean. Indonesia adalah pasar terbesar nomor tiga di Asia setelah Cina dan India. Namun, berbeda dengan Cina yang merupakan pasar terbesar tapi sekaligus produsen yang sangat kompetitif, Indonesia adalah bukan produsen yang kompetitif. Di mata negara-negara ACFTA yang lain, Indonesia adalah produsen yang tidak perlu ditakuti, dan mitra konsumen yang memiliki pasar yang sangat potensial.

Dari sudut kepentingan regional, ACFTA adalah sebuah kesepakatan strategis yang sudah dirintis secara komprehensif sejak lama. Visi kesepakatan ini sudah lama dirumuskan bersama-sama sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Untuk menunjang ACFTA sebagai kesepakatan induk, semua pihak kini sibuk merumuskan program-program pendukung di tingkat nasional dan regional. Di forum ini negara-negara anggota bersaing dan menguji kejelian mata mereka masing-masing untuk melihat peluang yang ada. Dengan berlakunya perdagangan bebas, sudah dapat dipastikan bahwa arus pergerakan orang dan barang diantara negara-negara ACFTA ini akan meningkat tajam. Dengan semakin tingginya intensitas interaksi antar pelaku usaha di kalangan negara-negara ACFTA ini, maka hubungan sosial-budaya akan semakin baik, tingkat saling pengertian akan semakin tinggi dan hubungan politik akan bertambah erat. Disinilah peran sektor transportasi dan telekomunikasi akan menjadi sangat penting.

Sub-sektor angkutan laut dan angkutan udara menjadi sektor andalan yang perlu diantisipasi dalam penyusunan program-program pendukung tersebut. Diantara program-program pendukung tersebut, ada rencana untuk mengkaji-ulang semua perjanjian-perjanjian bilateral yang masih berlaku antara Cina dan negara-negara Asean di bidang angkutan laut dan angkutan udara. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan umum ACFTA adalah untuk menghilangkan segala hambatan biaya-masuk (tariff barriers). Oleh karena itu semua perjanjian bilateral mengenai hubungan angkutan laut dan angkutan udara yang sekarang berlaku di antara negara-negara Asean dengan Cina akan diselaraskan dengan kebijakan umum ACFTA tersebut. Semua klausul-klausul yang ada dan bersifat membatasi atau restriktif akan dirubah. Tujuannya adalah mendukung kelancaran perdagangan bebas. Bila kesepakatan pendukung ini nanti tercapai, maka pratis antara Cina dan Asean akan berlaku kebijakan pelabuhan bebas, baik di bidang angkutan laut maupun angkutan udara. Meski nantinya angkasa dan laut Indonesia akan menjadi terbuka bagi semua kapal-kapal dari negara-negara Asean dan Cina, dampaknya terhadap perkembangan industri angkutan laut dan angkutan udara niaga di dalam negeri tidak perlu terlalu dikuatirkan. Tapi dominasi Singapura di kawasan Asean akan lebih menonjol lagi. Tanpa memerlukan kesepakatan politik legal dari sesama negara Asean yang lain, Singapura akan menjadi “ibukota” atau titik-pusat Asean secara de facto. Untuk hal ini Singapura memiliki segalanya. Disamping letak geografis yang strategis, Singapura mempunyai sarana dan prasarana yang kuasi paripurna sebagai pelabuhan transit laut dan udara antara Asean dan Cina, dan sebaliknya. Kedudukan pelabuhan Singapura yang ideal di “beranda” teritori Asean, tepat dimuka Laut Cina Selatan siap untuk menampung lalulintas komoditas perdagangan laut antara ke dua kawasan ini. Secara emosional, Singapura juga memiliki kedekatan yang lebih khusus dengan Cina dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Jangan dilupakan bahwa Singapura juga dikenal sebagai negara Cina ke tiga (the third China) sesudah RRC dan Taiwan. Sementara itu di pihak Cina, secara historis mereka tidak menerapkan sistim bandar-pengumpul (hub) tunggal. Kota-kota seperti Beijing, Shanghai, Hongkong atau Guangzhou adalah bagian dari sistim multi gateways di Cina. Oleh sebab itu, dibawah naungan ACFTA nanti, Singapura berpotensi menjadi bandar penghubung tunggal antara kota-kota di Cina dan kota-kota di Asean. Inilah kira-kita gambaran peta geo-ekonomi Asia Timur yang akan datang.

Tibanya era keterbukaan adalah keniscayaan yang hanya menunggu waktu. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali memperkuat diri. Tapi sementara Kuala Lumpur dan Bangkok berusaha untuk membayang-bayangi Singapura, kita masih berkutat di dalam negeri dengan masalah-masalah keselamatan penerbangan yang sangat mendasar. Kasus pesawat tergelincir dan ban pecah waktu mendarat masih jadi kejadian “rutin”! Di laut, kapal-kapal asing mendominasi laut interinsuler kita, karena Pemerintah alpa menerapkan asas cabotage tanpa pertimbangan yang jelas. Kasus-kasus kelebihan muatan masih selalu terjadi. Bagaimana dengan sektor telekomunikasi? Ingat bahwa jauh sebelum ACFTA ini, Indosat sudah kita lego ke asing! Lalu kapan kita akan mampu bangkit agar sumber daya alam kita bisa mencapai pasar melalui sektor angkutan niaga kita sendiri? Apa yang akan kita lakukan bila peta geo-ekonomi Asia Timur akan berubah kanti? Jawabannya adalah pekerjaan rumah kita bersama!

Jakarta, 26 April 2010

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun