Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kecelakaan Pesawat Terbang Biasa-biasa Saja

16 April 2010   14:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_119987" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi-Pesawat Merpati Boeing 737-300 PK-MDE dengan nomor penerbangan MZ-836, Selasa (13/4) pukul 11.00 WIT, tergelincir sekitar 300 meter dari landasan dan masuk ke sungai di dekat Bandara Rendani, Manokwari. Kondisi pesawat yang dipiloti Kapten Djoko Subiantoro itu patah dan rusak berat./admin (KOMPAS)"][/caption]

Ada pepatah Melayu lama yang berbunyi alah bisa karena biasa. Arti harfiahnya adalah bahwa bisa atau racun itu kalah oleh kebiasaan. Arti kiasannya, suatu hal yang luar biasa akan menjadi biasa-biasa saja bila sudah terlalu sering terjadi. Itulah yang kira-kira telah terjadi di negeri ini sehubungan dengan kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang. Terhadap bisa (racun) kita jadi terbiasa sehingga kebal, terhadap kasus-kasus kecelakaan pesawat terbang kita jadi terbiasa sehingga menjadi bebal. Tidak ada lagi kepekaan kita terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan. Rasa tanggungjawab atas faktor keselamatan penerbangan atau sense of safety sudah tergerus oleh praktek-praktek pengabaian yang telah “membudaya” dan menjadi kebiasaan yang tidak baik.

Memang menurut statistik, moda angkutan udara adalah moda transportasi yang teraman di dunia. Akan tetapi bayangan tentang kecelakaan pesawat terbang selalu menakutkan.

Kecelakaan sebuah pesawat udara bisa berakibat fatal. Bisa menghancur-leburkan pesawat berikut semua barang-barang yang ada didalamnya, bisa membinasakan seluruh awak dan penumpangnya dan bisa membumi-hanguskan segala yang ada di bumi bila tertimpa oleh kejatuhannya. Oleh karena itu pengoperasian pesawat udara diatur dengan peraturan dan prosedur keamanan/keselamatan penerbangan yang ketat. Di negara-negara lain frekuensi terjadinya kecelakaan pesawat udara relatif jarang. Tapi di negeri awak ini, kejadian (incident) dan kecelakaan (accident) pesawat terjadi secara “rutin”. Akibatnya, kecelakaan pesawat seperti yang dialami oleh Merpati Nusantara beberapa hari yang lalu dianggap biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh! Tokh bulan depan akan ada kecelakaan pesawat yang lain lagi dengan variant yang lain-lain. Hari ini tergelincir pada saat pendaratan, esok ban pecah pada saat landing, lusa gagal lepas landas karena kaca jendela pecah, minggu depan pesawat nyasar ke Sabang padahal tujuannya ke Merauke, dan lain-lain. Para pengamat penerbangan seperti Chappy Hakim, Dudi Sudibyo, Tengku Burhanudin dan yang lain-lainnya sudah capek nyinyir menganalisis dan mengevaluasi kinerja dunia penerbangan nasional kita yang tak kunjung membaik.

Coba perhatikan pada kasus yang menimpa pada pesawat Boeing B737-300 milik maskapai penerbangan nasional Merpati Nusantara Airlines hari Selasa tanggal 13 April 2010 yang lalu. Setelah menempuh perjalanan dari Sorong, pesawat naas ini dengan nomor registrasi PK-MDE dan nomor penerbangan MZ836 tergelincir pada saat mendarat di bandara Rendani, Manokwari, Papua Barat. Pesawat nyelonong masuk ke sungai hingga badan pesawat (fuselage) patah tiga. Untunglah tidak ada korban jiwa. Tapi sebanyak 20 orang dari total 96 orang penumpang harus dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Seperti biasa setelah kejadian selalu ada pernyataan bahwa pesawat berada dalam keadaan baik dan layak terbang. Kemudian Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi atau KNKT segera mengirim tim ahli ke tempat kejadian untuk mengadakan penyelidikan. Biasanya, proses berhenti sampai disini dan kita tidak mendengar apa-apa lagi, sampai terjadinya kejadian atau kecelakaan berikutnya. Begitu seterusnya, dengan harapan mudah-mudahan jangan sampai ada kecelakaan yang memakan banyak korban jiwa.

Industri penerbangan di dunia, baik sipil maupun militer, baik penerbangan komersial maupun bukan komersial, dijalankan dan diawasi dengan peraturan dan prosedur yang sangat ketat. Dalam bahasa asing disebut highly regulated industry. Peraturan-peraturan ini berlaku baku di seluruh dunia. Untuk menghindari kekeliruan atau kelalaian, maka sistim pengawasan dilakukan dengan mempergunakan sistim check list atau daftar cek. Di dalam implementasinya orang-orang yang berkiprah di dunia penerbangan selalu berpegang pada moto check and recheck and check again. Pokoknya there is no room for error. Pertanyaan yang muncul dalam konteks ini adalah, bila jenis pesawat yang dipakai diseluruh dunia rata-rata memiliki sistim operasional yang sama, dimana peraturan dan prosedur operasionalnya juga semua sama, mengapa kinerja dan rekam-jejak keselamatan penerbangan di setiap negara beda-beda? Mengapa kinerja dan rekam-jejak keselamatan penerbangan masing-masing maskapai penerbangan bisa beda-beda? Jawabnya adalah, ada faktor lain yang membuatnya berbeda yaitu, manusianya. Sumber daya manusia atau SDM-nya. It’s the man behind the gun that makes the difference! Ada sebuah film lama yang cukup terkenal yang berjudul The Singer Not The Song! Yang membuat kinerja dan rekam-jejak industri aviasi Indonesia jelek, terutama di bidang keselamatan penerbangan adalah manusia-manusianya. Manusia-manusia Indonesia yang dimaksud ini ada di pihak regulator (Pemerintah c/q Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub), di pihak operator (maskapai-maskapai penerbangan) dan masarakat. Manusia-manusia inilah yang bertanggungjawab atas kinerja dan rekam-jejak keselamatan penerbangan kita jadi buruk. Regulator dan Operator kita sama-sama tidak mampu untuk menghasilkan output yang setara dengan rekan-rekan mereka dari negara-negara lain. Masarakat kita juga bertanggungjawab karena mereka tidak berani memprotes Regulator, dan tidak berani memboikot Operator. Indikasi bahwa kelemahan kita ada pada faktor SDM yang ada di pihak Regulator dan Operator ini sangat mudah dideteksi. Lihat saja, apakah maskapai-maskapai asing seperti Singapore Airlines, KLM, Qantas, Cathay Pacific, British Airways pernah mengalami kejadian-kejadian secara “rutin” bergantian satu sama lain dengan kasus-kasus ban pecah, pendaratan yang menggelosor, terbang “nyasar” keluar dari jalur navigasi, dan lain-lain? Mengapa hanya maskapai nasional saja? Dan terjadi di kawasan domestik saja?

Walaupun lagunya (the song) sama, liriknya sama, tapi penyanyi (the singer) yang satu menyayikan secara klasik sesuai dengan apa yang tertulis di partitur, sedangkan penyanyi yang lain membawakannya secara jazz dan sering melakukan improvisasi, tentu saja hasilnya berbeda. Oleh karena itu jika kita benar-benar berniat meningkatkan kinerja dan memperbaiki rekam-jejak kita dalam hal keselamatan penerbangan, faktor SDM ini harus diganti atau berubah. Hal utama yang harus dirubah adalah sikap dan paradigma kita yang memandang nilai atau harga sebuah nyawa itu murah!

Jakarta, 17 April 2010

Suhandi Taman Timur

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun