Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tidak Benar Politik Itu Kotor

12 April 2010   07:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mencatat paling sedikit ada dua politisi senior kita yang sering berkata bahwa di dalam politik, tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Saya tidak akan menyebutkan nama-nama dari ke dua politisi senior tersebut disini, tapi saya ingin mengatakan bahwa prinsip seperi itu adalah sebuah pengakuan jujur atau pembenaran terhadap syahwat politik untuk mendapatkan kekuasan yang tidak berorientasi kepada rakyat. Suatu prinsip oportunistis yang melihat kekuasaan sebagai tujuan. Padahal kekuasaan itu hanyalah alat untuk mengabdi kepada rakyat, berdasarkan mandat yang dipercayakan oleh rakyat. Memang agak mencengangkan bila seorang politikus (sekedar catatan politisi adalah bentuk jamak dari politikus, seperti halnya alumni untuk alumnus) senior berani mengakui secara terang-terangan dihadapan publik bahwa ia mempunyai kepentingan (vested interest) demi kekuasaan. Bahkan untuk itu ia nekat untuk bersekutu dengan musuh dan siap untuk mengorbankan teman. Sungguh, ini adalah prinsip yang mencerminkan moral/akhlak yang perlu diwaspadai oleh siapapun.

Setelah Obama diumumkan sebagai pemenang dalam pemilihan Presiden AS tahun lalu, Senator John McCain mengucapkan selamat kepada Obama seraya berjanji untuk, bersama-sama dengan para pemilihnya, mendukung Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat yang baru. Pada tahun 1981, Jacques Chiraq kalah dari François Mitterand dalam pemilihan Presiden Perancis. Sebagai seorang negarawan sejati, secara sportif Chiraq mengakui kemenangan Mitterand dan berkata: “Je m’incline à la volonté du peuple!”. Artinya, saya tunduk pada kehendak rakyat. Semasa kampanye Pilpres 2009 yang lalu Prabowo Subiyanto juga pernah memberi pernyataan semacam itu. Dia berkata bahwa ia menawarkan visi dan misinya kepada rakyat agar rakyat mau memberikan mandat yang ia perlukan untuk kelak diabdikan kembali kepada rakyat. Dengan demikian, bila pada akhirnya rakyat memberikan mandat itu kepada seorang Capres tertentu, maka Capres lain yang kalah seyogyanya tahu diri. Kesadaran seperti itulah yang disebut kesadaran seorang negarawan. Bukannya malah mengalihkan permintaan mandat tadi dari rakyat kepada pemenang Pilpres untuk minta “bagi-bagi” kursi menteri. Sikap seperti itu adalahnya sikap politisi oportunis alias bunglon. Di dalam ranah politik jumlah politisi oportunis seperti ini cukup banyak dijumpai akan tetapi Puji Tuhan, masih lebih banyak politisi yang berkarakter baik. Oleh karena itu jangan pernah mengatakan bahwa politik itu kotor, karena yang kotor itu bukan politik melainkan segelintir politisi-politisi. Megawati Soekarnoputri pernah berkata bahwa kekuasaan bukanlah alat buat sekedar bagi-bagi kursi menteri. Ada tanggung jawab yang jauh lebih dalam dari pada itu.

Apakah ini berarti bahwa koalisi itu kotor? Tentu saja tidak! Di alam demokrasi, seorang politikus adalah representasi atau wakil daripada konstituennya. Selama masa kampanye seorang politikus menjual platform politiknya secara jelas kepada para konstituennya. Bila rakyat mempercayainya dan kemudian membeli platform tersebut, maka terpilihlah ia. Sebagai contoh, seorang politikus terpilih karena rakyat mendukung konsep “anti neo-lib” yang dianutnya. Tapi bila untuk mendapatkan kekuasaan, ia kemudian merapat ke pihak lain yang selama ini justru dihujatnya sebagai penganut “neo-lib”, maka ia sama saja dengan mengkhianati para konstituennya. Disinilah moral politik seorang politikus diuji. Sangat mudah untuk mengidentifikasikan akhlak seorang politikus. Lihat saja, kepada siapa ia meminta mandat atas kekuasaan. Ke rakyatkah? Atau ke penguasa? Koalisi diantara para pihak yang memiliki platform politik yang sama tentunya tidak menjadi masalah. Para konstituen yang memilihnya tidak akan merasa dikhianati.

Moral politik itu terpolarisasi ke dua kutub. Yaitu kutub politisi pemegang kekuasaaan dan kutub politisi yang berada di luar kekuasaan. Politik kotor akan terjadi bila politisi dari ke dua kutub tersebut diatas mengadakan persekongkolan untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat. Mengiming-imingi kursi Menteri kepada partai politik lain dengan syarat bahwa partai politik tersebut harus berpihak kepada penguasa walaupun berada di pihak yang salah adalah juga politik kotor. Sama halnya dengan kasus “kudeta” kepengurusan partai politik oleh anggotanya sendiri dengan cara memohon “restu” dari penguasa. Dalam hal terjadinya kekotoran-kekotoran politik seperti ini, janganlah gampang-gampang berkata itulah politik! Mereka yang mengatakan seperti itu adalah mereka yang mencoba untuk mendapatkan pembenaran atas tindakan mereka yang salah. Enak aja? Seharusnya kita berkata itulah politikus! Itulah politisi!

Jakarta, 12 April 2010

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun