kredo selamat penuhi hari-hari keramat, banyak terhidang selaksa ucap daripada mengenyam nikmat. di desa atau kota abangan setiap jeda amalan berpotensi mengantar laknat, berupa selera utopis model tarian hingar pengharapan kaum ingkar-rakhmat. sementara pemberi dan penerima ucapan tak tau apa wujud selamat. yang penting senang melampias cocor-bibir, spontan atau ikutan gagap. bagaimana suasana hati tetangga gundah-gulana, lama diterpa masalah betapa susah mencari kaya, tiba-tiba tadi kau ucapi selamat dalam rangka kelahiran, sunatan, kawinan, sukses, kematian, atau apa? mungkin ia diam saja, ucapanmu tak begitu mengundang sukacita. atau, setengah janji-maki dalam hati, akan ia bunuh ibu atau kekasihmu di tengah hari. kula’an selamat saja jadi rumit amit-amit, siapa jujur akan dihancur, koq begitu mudah menebar ucap, apalagi tak perlu pakai iman atas nubuat. dahulu kala selamatan menggelar dupa-sesaji, kini cukup obral nafsu memandang deru-nyala kembang-api. apiknya, yang suka selamatan mesti karena kadar percayai sang maha-serba-daya. buruknya, nyaris tak lagi percaya bahwa keselamatan telah diterima sebelum segalanya hampir disesakkan dosa. jadi, selamatan bukan lagi unjuk syukur memuji, tapi sudah jadi syarat sebelum meminta-minta jatah dan pangkat, bahkan mendikte juru selamat agar segera membagi berkat plus bonus zakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H