Membaca berita terkait atlet dan seniman yang mewakili Indonesia dalam kancah pesta olahraga, festival, dan perlawatan internasional, saya jadi teringat keluhan famili dan tetangga. Teman saya guru ngaji di Surabaya, punya anak laki seusia SMP yang hampir seminggu minimal dua kali diantar ke gelanggang latih bulutangkis. Kegemaran yang dibina sejak kecil itu, mendapat dukungan penuh dari orangtua dan guru sekolah. Undangan pertandingan antar kota hingga antar propinsi sudah sering dipenuhi. Kadang meraih juara, kadang harus puas dengan prestasi level juru kunci. Beberapa bulan lalu, tetangga saya itu masih punya persoalan biaya belajar anaknya.
Mantan teman kuliah saya, masih akrab hingga kini, punya putri bungsu suka sekali kegiatan menari. Sejak kecil mengenal berbagai gaya dan asal-muasal tari dari beberapa guru di padepokan seni di lingkungan Dinas Kesenian Jawa Timur Perlawatan ke luar negeri berulang dilakoni. Sampai sekarang, ia menari bagai obyek komoditas ekonomi yang mesti dikemas rapi. Bukan mau mereka, memang. Yang keterlaluan ya agen dan sindikasi bermisi memperkenalkan kesenian Indonesia ke manca negara, yang memberi job peserta festival pada group tari atau seniman berbakat lainnya. Si putri pun agak terganggu masa studinya di perguruan tinggi. Apalagi orangtua, sering tak cukup dana untuk bayar per semester hingga tahun ini.
Satu lagi, putri sulung famili saya di Kota Malang, kini berada di Canada, Amerika Serikat. Pertukaran antar pelajar tingkat menengah atas ia geluti hampir satu semester berlalu. Prestasi akademik menonjol, kejuaraan karate, dan penelitian remaja sudah jadi kebanggaan sejak sekolah dasar. Karenanya, ia terpilih bersama teman satu sekolah dan pelajar lain dari kota berbeda untuk mengenal adat kebiasaan kehidupan keluarga terpelajar di negeri Paman Sam. Selama setahun ia akan beradaptasi di sebuah keluarga yang ketat pengawasan, tinggal di desa dingin, tentu segala aktivitas model pendidikan persahabatan 'antar-bangsa' itu dibiayai pemerintah Indonesia bekerjasama pemerintah negara bagian Canada. Tapi, hingga memasuki semester dua belum ada gambaran apakah sekolah menengah asramanya di Malang dan sekolah asal para siswa peserta pertukaran pelajar lainnya akan membebaskan biaya terkait pendidikan formal.
Jika mau mengungkap keadaan beberapa pelajar, atlet, dan seniman muda dari keluarga pas-pasan seperti contoh di atas, mungkin perlu waktu luang untuk mengumpulkan biodata, proto folio, wawancara, dan jadwal perjalanan tour & show mereka, satu per satu. Saking banyaknya informasi yang harus dikonfirmasi ulang ke diknas, kepala sekolah, koni, dewan kesenian, lembaga atau sanggar latih bersangkutan, maka perlu menggunakan waktu dan sarana seefisien mungkin. Santai tapi serius, mengangsur pendataan dan monitoring agar akurat.
Saya berpedoman, jika ada satu atau beberapa kasus pemerasan terselubung dan korban mengeluh sesuai kenyataan yang sungguh dialami, maka cukup bagi saya, dan seharusnya bagi pejabat / pihak berkompeten, untuk menelisik dan mengambil jalan terbaik menyelesaikan bibit masalah berskala nasional ini. Bila tidak, perampasan hak dan kewajiban atlit maupun seniman akan terus melaju sepesat janji (siasat) oknum bertopeng impresif: 'menambah devisa negara melalui duta pertukaran pemuda dan demi kemajuan pariwisata, olahraga, seni, budaya'.
Eksploitasi elite politik terhadap atlet dan seniman sudah kelewat batas. Ini juga akibat para atlet dan seniman sendiri kurang berani bersikap dan berpendirian, bahwa mewujudkan bakat dan prestasi bukan hanya berurusan dengan perut, tapi lebih kepada mengembalikan keutuhan sikap kepribadian bangsa yang merdeka (ingat: teks Proklamasi 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta / Pancasila, Pembukaan UUD 1945). Mereka kurang otodidak dalam mengasah kemampuan negosiasi, acuh tak acuh pada persoalan kebijakan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (policy of state).
Apalagi jelas-jelas, pendidikan mereka kurang terjamin di lembaga yang seharusnya khusus didirikan untuk menampung bibit jawara olahraga dan seni. Kesempatan mereka (di)habis(i)kan untuk melayani bos-bos konglomerasi bisnis, anehnya sebagian atlet dan seniman suka bermanja dengan iming-iming hadiah dan janji sebagai bentuk kompensasi (kontra-prestasi). Sekilas, ada kesan sebagian dari mereka memang suka atau pura-pura tidak tau-menau, atau terjebak gaya hidup (prestise) ketika 'mendaftar jadi korban politisi'.
Masihkan para atlet dan seniman kita berkarakter generasi bela negara? Kalau belum, mereka hanya jadi boneka cantik guna perlancar praktek korupsi-kolusi-nepotisme periode reformasi. [11L27]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H