Hari ini boleh dikata para aktivis dan pekarya lebih bersemangat memperjuangkan hak dan kewajiban mereka. Berbeda dengan situasi 1 Mei 2013 lalu, perayaan Hari Karyawan 2014 disemarakkan dengan apa yang saya istilahkan sebagai Sepuluh Mosi Karyawan Indonesia. Beberapa peristiwa di lapangan antara lain dilaporkan media online KOMPAS.com, bahwa dalam aksinya, para buruh tersebut akan menyampaikan sepuluh tuntutan yang ditujukan bagi para pengusaha dan pemerintah. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sepuluh tuntutan yang akan disampaikan oleh buruh itu menyangkut persoalan kesejahteraan buruh dan para pegawai outsourcing lainnya. Menarik untuk disimak, sepuluh tuntutan itu masih bersifat instingtif spontan, sepihak (karyawan / pekarya), belum terintegrasi sebagai satu kesatuan kebutuhan (baca: berorientasi pada hak dan kewajiban para pihak). Dari sisi bahasa ungkap, beberapa istilah dalam slogan dan butir tuntutan digunakan secara tupang tindih. Namun, secara umum, mereka cukup kritis meninjau kebutuhan karyawan di Indonesia yang mesti diperhatikan oleh pihak Pemerintah dan Pengusaha.
Pekarya di pabrik pembuat kertas ala Ts'ai Lun
Bila sesiang tadi kita saksikan mereka berjibaku di lapangan, malam ini layak untuk direnung sejenak. Paling tidak, saya pikirkan kembali butir-butir tuntutan mereka di hari perjuangan para pekerja ini berkaitan dengan kepentingan karyawan di masa mendatang, dalam beberapa tinjauan umum berikut ini. Pertama. Sayang sekali, para aktivis masih memakai istilah buruh. Masih banyak istilah positif yang sanggup menyerukan martabat mereka, misal karyawan, pekarya, atau pekerja. Bukankah 'slogan berbau buruh' secara sugestif akan semakin menyusup halus dan menekankan kekalnya praktek perbudakan secara terbuka? Apalagi, selama menggunakan pendekatan kapitalis dalam menyusun kebijakan bagi para pekarya nasional, maka sejak itu pula akan terus berkembang mekanisme pasar berupa 'jual-beli tenaga kerja' yang senantiasa menekan (kurang respek melaksanakan) hak pekarya dan menuntut lebih pelaksanaan kewajiban pekerja demi keuntungan. Itulah nasib kalian di balik manuver padat modal. Kedua. Para pekerja profesi seperti paramedis (perawat, bidang, tenaga laborat penunjang diagnosis penyakit, tenaga rontgen, dll), reporter, pengacara magang, guru, asisten dosen, dosen, juru kamera, juru masak, pembantu pelaksana pekerjaan sipil, dan berbagai istilah jabatan pada jenis pekerjaan tertentu sudah memiliki kriteria atau ukuran tingkat jabatan, tugas, wewenang, dan lingkup pekerjaan. Sehingga, akan memudahkan proses meninjau ulang dan menetapkan hak dan kewajiban yang baru, karena sebelumnya sudah ada standarisasi yang bisa diuji dan diterapkan dalam kerja nyata. Di samping persyaratan perijinan pendirian usaha dan kriteria pengusaha seharusnya disusun pula standarisasi dan kriteria tingkat pekerjaan ringan sampai menengah di berbagai lingkup pekerjaan teknis untuk memudahkan menimbang hak dan kewajiban yang harus disepakati kedua pihak (pemilik pekerjaan dan pelaksana pekerjaan). Ketiga. Hak dan kewajiban karyawan / pekaryja secara nasional dapat dirumuskan kembali, jika perlu meninjau kembali berbagai produk peraturan perundang-undangan terkait di tingkat pusat dan regional. Perjuangan hak dan kewajiban itu sebenarnya cukup disalurkan melalui Dewan Perwakilan yakni DPR, DPRD, dan DPD. Tapi, mengapa para karyawan / pekerja perlu dimakan hasutan lebih dahulu agar hak dan kewajiban mereka dapat ditingkatkan melalui protes sosial yang berlarut-larut? Karyawan apapun jenjang pengetahuan dan keterampilannya, wajib mengetahui hak dan kewajiban secara etika / moral dan wajib memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama belajar, kalian dapat didampingi oleh pihak yang menguasai bidang pranata formal ini. Keempat. Sepuluh butir teriakan mereka kita kembalikan pada kesiapan sikap, pengetahuan, dan keterampilan mereka yang amat beragam. Kesiapan mereka menghadapi pelaksanaan hak dan kewajiban kedua pihak tidak lepas dari pengaruh pendidikan yang baik saat menempuh pendidikan formal di tingkat SD, SLTP, SLTA, mungkin sampai perguruan tinggi. Setelah memasuki dunia kerja mereka masih punya kesempatan berlatih agar tetap siaga mengawal hak dan kewajiban (kedua pihak) melalui pembinaan dan pelatihan kerja sesuai permintaan dunia profesi atau lingkup pekerjaan yang tersedia. Perusahaan atau pengusaha tidak dapat menghindari kewajiban membina tenaga kerja yang (akan) mereka ajak memajukan perusahaan (hasil kerja, produksi). Di samping itu, para aktivis dan perkumpulan yang menaruh minat pada kemajuan angkatan kerja dari tahun ke tahun pun wajib menyelenggarakan pembinaan (etika dan moral kerja) dan pelatihan (sub-manajerial hingga mekanisme teknis) bagi seluruh anggota perkumpulan. Bila mengharap pendidikan formal (wajib belajar) menjadi 12 tahun, maka tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk mempekerjakan warga negara yang masih dalam proses mengikuti wajib belajar, kecuali cukup tersedia kesempatan magang dengan standarisasi dan sistim pengelolaan magang bagi pelajar sltp / slta dan mahasiswa. Hanya dengan pelatihan serius dan ketekunan bekerja para karyawan akan mampu meningkatkan kinerja dan kreativitas. Kelima. Jaminan sosial bagi para karyawan dan pekerja (yang tidak cacat kinerja dan prestasi) harus bersumber dari APBN ataupun APBD, bukan dari potongan honor / gaji / upah kerja. Para pengusaha, perusahaan, dan karyawan sudah ada mekanisme (perundangan pajak dan retribusi) membayar pajak di samping melaksanakan kewajiban agama / moral yakni infaq, zakat, shodaqoh. Jaminan sosial secara berangsur dapat berupa bantuan pendidikan keterampilan, kesehatan, bantuan pengadaan perumahan karyawan dengan harga terjangkau, tunjangan keluarga, dan tunjangan pasca bekerja. Jaminan ini di luar kewajiban Pemerintah dan Pengusaha / Perusahaan menyiapkan fasilitas K3. Bedakan jaminan sosial dengan asuransi yang secara individu dapat diminati oleh siapa saja yang menghendaki pertanggungan atas risiko kerugian yang mengancam jiwa, jasmani, proses dan hasil pekerjaan, maupun atas persiapan di hari tua. Khusus istilah pensiun, saya garis bawahi, bahwa manusia beriman dan optimis akan tetap belajar dan berkarya seumur hidup demi mempertahankan harkat, martabat, dan keilmuan (terutama akhlaq) manusia dari jaman ke jaman. Keenam. Kalau mereka menyodorkan 10 tuntutan,kita selaku pegiat, pengamat, dan penulis juga ajukan beberapa butir mendasar ini kepada semua pihak, paling lambat semua pihak dapat mengabulkan sebelum 1 Mei 2015:
- Gunakan kata PENGUSAHA (individu) atau PERUSAHAAN (badan hukum), menggantikan istilah majikan / juragan / bos.
- Gunakan kata KARYAWAN (individu) atau PEKARYA (badan hukum), menggantikan istilah buruh / kuli / budak / jongos / kacung.
- Gunakan istilah subyek hukum "Pihak I: Pengusaha atau Perusahaan dan Pihak II: Karyawan" dalam setiap perjanjian kerja (untuk jenis profesi atau pekerjaan apapun yang dilindungi undang-undang). Hak dan Kewajiban pemberi kerja (pengusaha / perusahaan) dan pelaksana pekerjaan (karyawan atau pekarya) harus diatur secara tertulis dalam perjanjian kerja dan tidak bertentangan dengan akhlaq-etika, kepatutan, dan peraturan perundang-undangan.
Akhir renungan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat diwujudkan melalui pengaturan hak dan kewajiban (umum maupun khusus) semua warga negara tanpa terkecuali, dilaksanakan secara seimbang, penuh tanggung-jawab, dan juga bertujuan memerdekakan 'perbudakan' di / dari negeri sendiri. Selamat Hari Karyawan 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H