Mohon tunggu...
halub©
halub© Mohon Tunggu... Mahasiswa - Puisi, Cermin, Cerpen, dan Refleksi.

Pencarian dan keyakinan, berteman dekat, sampai kapan pun, selalu ada hal-hal yang membanggakan bagi setiap yang yakin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hidup di Dunia Gitu-Gitu Aja

1 November 2024   21:59 Diperbarui: 1 November 2024   22:05 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   .

  *Hidup Di Dunia Gitu-gitu Aja!*

   Hamil; duluan atau setelah akad, urusan tanggung masing-masing. Begitu kan ketika nasihat dilayangkan, "Urus aja urusan elu sendiri, udah kayak paling bener aja sedunia."
   Lahir, 1 bulan, 3 bulan, setengah tahun, satu tahun. 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, sebentar lagi orang tuanya mikir sekolahnya, mulai dikit-dikit ngajarin baca, cari info tipis-tipis PAUD terdekat.
   Surat keterangan lahir, akte lahir, kk, semua diurus walau apa pun rintangannya, mau culas, suap, apa lah, yang penting anak sekolah, surat-surat pribadinya lancar. Kalau diarahkan, "Jangan apa-apa tuh pakai biro jasa terus, yang normal saja." Jawabannya kurang lebih begini, "Heh, situ ini banyak bacot banget, anak anak siapa, kesulitan kesulitan siapa, kok situ yang banyak kali bacotnya? Situ siapa? Yang biayain hidup KAMI!?"
   Anaknya sekolah, kenal dengan satu dua teman, kelahi, ngadu ke orang tua, dibela. Harus dibela.
   Padahal di sekolah anak dia yang paling suka cari gara-gara, kalau enggak cari gara-gara enggak hidup. Sudah dibela mati-matian, eh ternyata saksi hidup lapangan lebih banyak dan enggak ada satu pun yang berpihak dengannya. Mau malu tapi malu, terlanjur PD paling benar dan tak pernah salah selamanya. Ya gitu kerjaannya nekuk muka saja dalam waktu yang lama.
   Tak lama waktu berpacu terus, anaknya sudah lulus tingkat SMA, cari gara-gara? Jangan tanya! Meski pun anaknya ini perempuan, ooooh! Liarnya bukan main. Sudah berapa laki yang tidur dengannya layaknya suami istri. Begitulah dunia, isinya gitu-gitu aja, enggak ada menarik menariknya.
   Sekalinya menarik, itu pun yang berbau culas, selangkangan haram, hubungan haram, dan beragam keheraman lainnya.
   Bilangnya sih hijrah, Ibunya pakai semacam atribut ninja atau apalah namanya. Yeee ternyata itu hanya atribut saja. Ganjen ya ganjen, gila ya gila. Mau heran, ya ini dunia, dunia kan isinya memang enggak mungkin bisa lepas dari yang begitu begitu, walaupun enggak juga selalu begitu terus. Begitulah hidup.
   Akhirnya singkat, memang kehidupan ini terasa begitu cepat, baru kemarin lahir eh sekarang sudah lulus SMA, buat ulah pula, marah lagi, hebat sih!
   Sebelum anaknya tamat sekolah setingkat SMA, Ibunya sudah berpisah dari bapaknya. Makin tak karuan kan, Yee namanya hidup masa mau serba karuan, terus. Grek.
   Kini anak perempuan itu duduk berhadapan dengan Ibunya, single parent.
   Mereka belum berbincang apa pun, hanya saling tatap, tapi hati mereka sudah berbicara ribuan, bahkan jutaan kata. Bagai bah ombak besar yang terus membesar. Grek! Meja agak digebrak oleh Ibunya yang sudah terlalu di ujung jurang frustasi.
   "Apa sih yang kamu harapkan dari kehidupan ini?"
   "Simpel saja Bu." Jawabnya singkat malas menjelaskan lanjutannya. "Maksud kamu?"
   "Ya senang senanglah Ibu." Jawabnya malas, muak berdebat dengan sosok yang pernah melahirkannya.
  Haaah .... Napas panjang, berat, frustasi Ibunya. "Kalau kamu ikut aturan Ibu senang?" Anak perempuannya diam, menatap tak suka ke wajah Ibunya. "Ibu, pernah enggak Ibu sadar mengapa Bapak pergi begitu saja meninggalkan Ibu?"
   "Karena dia tak bisa menyamakan frekuensi kehidupannya dengan kehidupan Ibu." Jawabnya singkat dan tak mau lagi sebenarnya membahas apa pun yang berbau ingatan terhadap mantan suaminya.
   "Begitu juga aku, aku akan pergi untuk senang-senang jika kudapati di rumah kesenangan itu tak ada lagi." Ibunya ternganga, rasa sakit dari tikaman darah daging sendiri memang sedahsyat ini!
   .
   "Aku pergi. Terimakasih telah susah payah melahirkanku. Maaf aku tidak bisa menjadi anak yang seperti Ibu inginkan." Setelah mengemas barang-barangnya, mencium tangan Ibunya, lalu pergi.
   Ibunya hanya terpaku, termenung, bingung. Mengapa segila dan sedahsyat ini! Sudahlah ditinggal suami, kini ditinggalkan oleh anak semata wayangnya.
   Perjalanan anak perempuan itu mengantarkannya ke persimpangan jalan yang remang dan tak jelas, amis penuh trik kotor dan najis.
   Hingga sampailah dia di pelarian setelah ditipu oleh seseorang yang---padahal sebelumnya telah dianggap muda, energik, manis penuh rencana cemerlang masa depan.
   Sama persis seperti dirinya pergi dari rumah dulu, dengan barang bawaan seadanya, di belakangnya tiga pria mengejarnya dengan buas. Tertatih-tatih kakinya digerakkan, sudah tak kuat lagi rasanya menghadapi dan menjalani kehidupan ini, harus bagaimana lagi ....
   Apakah ini sebab dosa? Atau kekasaranku kepada Ibu dulu?
   Hah! Enggak mungkin! Aku enggak pernah salah! Sejak kecil hingga dewasa aku tak pernah salah! Selalu benar! Orang lain amat sangat harus mendengarkanku! Sedangkan aku mendengarkan mereka? NAJIS!
   Bruaaak! Terjatuh sudah, tak mampu lagi wanita jalang itu berlari, di belakangnya tiga pria liar siap menyergap, di tengah gelapnya malam, di pelarian yang entah ke mana lagi langkah akan berlabuh, di ujung jurang keputusasaan.
   Teringatlah dia detik detik dahulu pernah membantu Ibunya yang sedang sakit hingga tak masuk sekolah untuk beberapa hari, si jalang berharap dengan setitik kecil perbuatan baiknya diterima di sisiNya, menjadi pelindungnya di mana pun, kapan pun.
   .
   Pria paruh baya itu gusar, tak ada kata yang bisa tumpah di bukunya, pikirannya kacau, jiwanya berteriak tanpa sebab, bingung dengan keadaan yang tiba-tiba saja begitu.
   Kunci motor diambil, dia melaju ke sembarang arah. Niatnya melepas sesak yang begitu tiba-tiba menyergap dada. Laju motor makin dipacu. Kelebatan ingatan itu berputar kembali.
   Sesal karena kurang sedikit saja sabar kerap menjadi hantu abadi di dalam jiwa, angin malam menusuk, menebas ingatan itu perlahan.
   Matanya menyipit, melihat ke depan ada tiga pria aneh berjalan mendekati seorang wanita yang sedang tersungkur. Naluri pria sejatinya bangkit, membara, membakar [gengsi, yang tanpa prestasi, meresahkan, membuat susah orang banyak, menjengkelkan banyak kalangan].
   Mereka sudah mengikat leher wanita itu, dengan gerakan praktis dan sistematis, ketiga pria itu tersungkur. "Naik," wanita muda itu pergi bersama pria tak dikenal lain. "Apa alasanmu menolongku?"
   "Tak perlu penjelasan, atau kamu sebenarnya lebih suka diterkam mereka?" Baru diam, yang sebenarnya wanita itu pun sedikit banyak menikmati siksaan itu, rumit dan terlalu kronis untuk disembuhkan.
   Aku rasa, ini tak salah, dia ini bukan orang asing bagiku. Kita lihat saja nanti. Pria itu menambahkan laju motornya, wanita tak dikenal itu memegang erat jaket tebal berwarna cokelat pria paruh baya itu.
   .
   Tibalah mereka di sebuah rumah berlantaikan kayu, dikelilingi pepohonan rindang, bertingkat satu. Mereka duduk di ruang tamu, wanita muda itu dipersilahkan duduk.
   Kompor dinyalakan, air dimasak, teh diseduh. Kini tersaji di depan mereka berdua bersama cemilan ringan dari tempat makanan mungil. Mereka saling tatap, naluri wanita itu tak tahu mengapa mengatakan: pria ini, sepertinya bukan orang asing, tapi---siapa dia?
   "Ibumu, siapa namanya?" Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba dan cukup privasi, wanita itu belum menjawab, dia menatap wajah pria paruh baya itu, tapi instingnya mengatakan: ini tak berbahaya, aku sangat mengenali sosok ini! Tapi! Apa maksudnya semua ini?
   "Siapa? Aku belum mendengarnya dengan jelas." Sambil pura-pura mendekatkan telinga ke arah wanita yang baru saja ditolongnya. "Me-re." Tatapan mata keduanya tak berkedip, ada bahasa yang tak bisa dibahasakan dengan bicara seutuhnya.
   "A, ya, h."
   "Tetu."
Cerita, bicara pun semakin lepas, sayang, Ayahnya kecewa. Perjalanan keji kelam hitam telah banyak melintang dilalui anak perempuannya.
   Komunikasi pun merenggang, hampir seperti bukan layaknya seorang orang tua dan anak saja.
   Karena sudah terlalu lama kondisi komunikasi mereka membeku, cair hanya sesekali dan kembali membeku lagi, wanita itu mengemasi barang-barangnya, berjalan lunglai, seolah tak ada harapan lagi harus ke mana melabuhkan penat dan kehancuran hatinya.
   Ayahnya yang tahu kalau anaknya suatu saat pasti akan bertindak seperti itu segera berdiri dari duduknya.
   Ini saatnya pertunjukan dimulai!
Mungkin begitu gumam pria paruh baya itu. "Ayah tak pernah menyuruhmu keluar dari sini, ada apa?"
   "Sikap Ayah adalah pengusiran." Jawab anknya lugas. Ayahnya tersenyum. "Ini, inilah yang salah Nak. Kalau bertindak, pikirkanlah secara logika bukan perasaan, timbanglah secara tenang.
   "Maaf, kalau kamu seorang anak, lantas kesalahanmu telah diketahui oleh orang tuamu, apakah orang tuamu yang harus meminta maaf, sujud sujud, mohon mohon di depanmu?" Wanita itu muak, makin berang.
   Memang tak jauh dari Ibunya, sudah salah malah marah, beruntung mereka berada pada orang yang tepat, kalau tidak, mungkin sudah tak lagi bisa bernapas di muka bumi ini.
   Ayah menahan tangan anak itu, "Duduklah sebentar. Tenangkan dulu pikiranmu, jangan melakukan kesalahan yang pernah Ibumu lakukan. Bukankah kamu pernah bilang kalau keadaan Ibu dan Ayah dulu Ibumu yang mayoritas dominan pusat kesalahannya. Belajarlah Nak, perasaan itu semakin dituruti, semakin kamu jauh dari arti manusia dan kemanusiaan yang sesungguhnya."
   Wanita itu terpaksa diam, duduk, mendengarkan Ayahnya, semua dijelaskan dengan singkat dan padat. Anak perempuannya tertegun, ternyata Ayahnya sejauh ini memikirkan masa depannya hingga sejauh ini.
   Tak menyangka juga akan ada lelaki yang mau denganku, kalau tanpa perantara Ayahku, mungkin hingga mati pun aku menjadi wanita bangkai yang hidup dari satu kerusakan ke kerusakan lain.
   Seorang pria itu datang, dengan latar belakang yang tak jauh berbeda, mereka dipertemukan untuk janji saling mengerti hingga nanti dan seterusnya.
   Tetu pun memulai lembaran baru, Ibunya tak banyak bicara di hari bahagianya, merasa bersalah pun mau bagaimana lagi, memang dari dulu sudah selalu salah. Tapi Tetu sudah jauh berubah, kata-kata Ayahnya mampu membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
   Kalau kamu merasa terpuruk, atau merasa paling menderita di dunia ini. Kamu pasti akan begitu terus sampai kapan pun, hingga kamu mampu adil sejak dalam berpikir, buka hanya mau didengar orang lain, tapi juga mau mendengarkan orang lain. Sederhana, tapi tak banyak yang mampu untuk saling dengar, saling paham, dan saling saling yang lainnya.
   .
   Cls, tepi jalan, di bawah pohon ceri, seberang Narma. Selasa 291024, 10.00, halub

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun