Ā Ā .
Ā Ā *Terdampar*
Ā Ā Kemarau tahun ini lebih dahsyat dari tahun sebelumnya, sampai harus mengangkut air dari jarak satu kilometer, itu pun jarak terdekat.
Ā Ā .
Ā Ā Berita itu datang, keraguan pun tak luput, antara mengiyakan atau mengabaikan. Tawaran itu dananya memaksa, baiklah. Akhirnya aku mengiyakannya.
Ā Ā Keberangkatan pun direncanakan, pamitan dengan keluarga terdekat, dari pihak Ayah, juga Ibu meskipun itu yang terberat bagiku.
Ā Ā .
Ā Ā Tubuh itu terkulai lemas, perutnya membesar, tak karuan ucapannya, kiriman dari mana lagi ini? Setega itukah seseorang jika membenci?
Ā Ā Umurku saat itu baru menginjak 16 tahun, sudah tiga kali tak naik kelas, sudah berapa kali juga perundungan yang telah kuterima. Kata orang-orang, aku adalah sosok pribadi yang super sangat menyebalkan, malas belajar, gengsi, keras kepala, sudah salah malah marah, kekanak-kanakan, irian dengki hasud, dan banyak lagi.
Ā Ā Tapi, aku tak percaya itu, aku sangat yakin kalau aku itu penabuh marawis yang handal, banyak perempuan yang tergila-gila karena merdunya suaraku, itu yang kuyakini. Sampai-sampai ada juga yang menganggap aku ini sebenarnya sudah gila, di situlah aku sangat sakit hati, sedih, perih, teriris rasanya hati ini. Tapi mau bagaimana lagi coba, rata-rata mereka tak suka padaku, padahal aku ini pribadi yang menyenangkan, santai dan asik, entah salahnya di mana.
Ā Ā .
Ā Ā Pesawat berangkat, membawa harapan di ruang masa depan, cerita cerita menarik yang telah kuterima dari temanku tentang tempat yang akan aku tinggali nanti, sungguh sangat menggugahku.
Ā Ā Di sisi lain, ada sisi berat yang terlalu sulit untuk kuutarakan, sebab---hanya sedikit sekali dari sekian banyak orang yang benar-benar bisa mengerti uraian dariku, entah mengapa bisa begitu? Memang hanya Ayahku saja yang sangat mengerti bagaimana aku.
Ā Ā Jika pun aku tetap tak berangkat, hari-hariku sudah bisa kutebak, aku akan banyak kelahi dengan orang-orang yang selalu tak jemu mencelaku yang pernah tak naik kelas tiga kali, lalu menghabiskan banyak waktu di rumah, seperti seorang wanita tua saja, perempuan hari ini jarang yang betah di rumah, kebanyakannya tidak, tak sedikit juga yang bangga dengan berliar-liar diri di luar rumah, entah mencari sensasi kok segitunya.
Ā Ā Pemandangan ini---cukup membuatku pilu, aku takut, bagaimana kalau pulau yang baru ini juga akan menghinaku, menganggapku aneh, orang khusus yang butuh pengertian lain dari orang-orang normal pada umumnya. Argggghh! Ini sungguh menyiksa.
Ā Ā .
Ā Ā Tak terasa dua jam perjalanan udara, aku sudah sampai di bandara yang cukup megah ini, jakunku bergerak naik turun. Mobil itu dipesan, perjalanan pun melesat cepat, tak terasa aku sudah tiba di kota tujuan.
Ā Ā Sebisa mungkin kesopanan kumaksimalkan, meski pun---sebenarnya semua itu sungguh memuakkan.
Ā Ā Satu dua teman kuajak bicara, mereka terlihat tertarik dengan dongeng yang kuceritakan, tapi lama-lama aku merasakan hal lain. Mengapa dari mereka perlahan menjauhiku?
Ā Ā Aku pun sering sekali mendengarkan kata-kata, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Aku tak pernah paham itu, setiap aturan yang rumit, aku tak pernah mau memahami itu, aku hanya mau tidur kapan pun aku mengantuk, makan kapan pun aku lapar.
Ā Ā Ternyata tidak begitu, dipanggillah aku oleh seseorang yang katanya instrukstur di tempat di mana aku tinggal.
Ā Ā Banyak sekali yang dia bicarakan, mulai dari: tata tertib, kepatuhan, kebersihan, telinga dipasang, jangan membangkang. Argggghh! Rasa rasanya mau di kampung halamanku atau di kampung halaman orang lain, keduanya sama! Mereka semua tak pernah bisa memahamiku!
Ā Ā .
Ā Ā Akhir akhir ini aku banyak termenung, memandang satu objek dengan pandangan kosong, tapi tanganku tetap tak lepas dari butiran tasbih yang terus kugerakkan.
Ā Ā Aku bingung, aku ragu untuk maju, aku hanya ingin janji itu, janji dari teman yang mengajakku ke kota ini.
Ā Ā Hingga pada akhirnya aku mampu mencapai syarat terntu untuk memperoleh janji itu.
Ā Ā Bisikan dari temanku pun berlanjut memprovokasi, hingga aku harus menuntut sebuah motor, laptop, biaya pendidikan, ongkos biaya pendidikan, biaya buku dan alat tulis.
Ā Ā Saking semangatnya aku pun selalu tak gentar mengajukan semua itu ke seseorang yang katanya instrukstur di tempat itu.
Ā Ā .
Ā Ā "Kerpa tahu malu lah, tenang. Udah, udah kita sampaikan ke atas, tapi memang belum turun. Heh dulu ada orang sebelum kamu yang enggak secerewet ini. Kalau pun sudah dikasih ENGGAK AKAN KITA AMBIL!" Aku sesekali sedikit melihat ke wajah instruktur itu, nampak betul kemarahan di wajahnya.
Ā Ā Senangnya bukan main sudah berhasil membuat orang lain marah, hehe!
Ā Ā "Ngerti enggak?" Tanyanya, aku mengangguk berlagak takzim. Instruktur itu pergi. Aku tetap membangkang dengan pembangkanganku!
Ā Ā .
Ā Ā Hari itu terik terasa sangat menyengat, dua orang teman sedang berbincang, sesekali tawa pun pecah, aku kesal, aku berasumsi, ini pasti ngomongin keburukan-keburukanku, sial!
Ā Ā "Terus-terus omongin terus!" Bentakku ke kedua temanku. "Yeeh badut GE er banget! Siapa juga yang ngomongin elu! Najis tau enggak, dari pada ngomongin elu jauh lebih baik ngomongin iblis! Badut sialan!" Balas salah satu temanku, aku pun bergejolak! Saat itu juga mendekatinya, menatapnya tajam.
Ā Ā "Apa!?" Kata temanku. Aku hanya mentap penuh kebencian! Tanpa pikir panjang aku pun mengayunkan tanganku ke kepalanya, Bheef! Sontak saat itu juga tangan instruktur. "Mau jadi jagoan!?" Pertanyaan itu langsung muncul, makinlah muak aku dibuat dengan tempat ini! Seolah-olah semuanya menjauh, membenci, paling mencari-cari kesalahan-kesalahanku! KEPARAT!
Ā Ā .
Ā Ā Aku tetap tak mau patuh, aku adalah pembangkang sejati, tiap aturan yang instruktur suarakan sampai mulutnya berbusa, aku tak pernah peduli sama sekali. Di mana aku mau tidur, ya tidur. Di mana aku mau makan, makan! Persetan tentang beasiswa! Aku hanya mau bertindak semauku sendiri saja. Huaahhh!---kantuk yang telah kurindu pun telah datang.
Ā Ā .
Ā Ā Pak Arik, Pak Juno, instruktur, dan aku. Kini kita duduk berhadapan. Aku merasa tak enak, sepertinya ada yang salah dengan perkumpulan ini!
Ā Ā "Kerpa kamu hanya punya dua pilihan, pertama, tetap di sini dengan janji tak akan pernah membangkang lagi. Kedua, skors sebulan di rumah, jika dalam jangka sebulan tak kembali, tak ada lagi kata kembali." Aku menunduk lesu, jemariku basah dengan kringat. Tak bisa banyak tingkah lagi.
Ā Ā Padahal aku, tak---"Sudah terimakasih tak usah lagi kembali ke sini, sekolah urus sendiri. Orang tuakau sudah kita hubungi." Pak Arik terkejut, begitu pun instruktur, apa lagi aku.
Ā Ā "Bukannya tak ada opsi ini Pak?" Gusar Pak Arik, instruktur melongo, "dia memang sudah sengaja dan tak ada lagi kesempatan untuk tinggal di sini. Saya pun sudah dapatkan semua track recordnya." Seketika itu juga mereka semua bungkam, aku pun terpuruk, terdampar entah harus ke mana lagi aku harus mencari gara-gara lagi?
Ā Ā .
Ā Ā At-Tin - Jaktim - Ahad, 20 Okt 2024 - 16.55, halub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H