.
Dari proses belajar, lalu santai berleha-leha, berandai-andai hingga terlelap dalam mimpi, bangun, belajar, lalu sangat ingin cepat selesai dan bersantai setelahnya. Begitu terus hingga tak tahu kapan penghujungnya.
Baru belajar "pengantar" perbandingan agama, sudah merasa paling benar sendiri. Padahal baru pengantar saja sudah begitu tingkahnya. Bagaimana kalau sudah tiga, lima buku yang betul-betul sudah selesai dikaji secara mendalam.
Kapan kita selesai dari belajar? Ketika otak tak lagi terasa kegunaannya. Atau ketika semua hasrat keduniaan seperti tak perlu dikejar lagi. Padahal ada alam yang belum pernah dikunjungi, dan dibutuhkan "belajar" untuk sampai ke sana, tapi tidak mau.
Generasi yang suka sekali cari sensasi, selalu gengsi sebagai acuan dan dijadikan petunjuk dalam menjalani hidup. Paling banyak alasan tak terhingga, selalu punya cara dan pola untuk membela diri dari kekeliruan pribadi yang sengaja dibuat lestari. Lalu menimpakannya ke orang lain.
Menuhankan logika dan perasaan sebagai Tuhan. Tak mengaku sebab sudah dianggap seperti aktifitas harian yang biasa saja. Nyatanya sudah seperti menghamba dan menganggap seluruh rentetan yang terjadi atau pun belum adalah logika dan perasaan acuannya.
Padahal tak begitu. Belajar seumur hidup saja masih tetap tolol, bagaimana caranya merasa puas dan terburu-buru merasa cukup dari belajar?
Makna belajar selalu luas, tak selalu terikat dengan rutinitas formal kelas dan semisalnya. Tetap ada proses belajar biar pun tak di kelas. Kita sudah berjanji kan akan terus belajar? Akan terus membaca biar pun dungu ternyata lebih betah hinggap nyaman di dalam.
.
Cls, RTD, Jum'at 111024, 19.45, halub