.
Tidak sempat aku berbalik cerita, tanda ritual suci akan segera dimulai sudah terdengar. Aban bangkit begitu saja, aku pun demikian. Kita mengambil tempat masing-masing.
Selama pelaksanaan ritual, kelebatan kisah pilunya, seakan merayap di dada, membuat gemuruh lain, seolah aku pun bagian dari keluarganya, terasa cukup menyesakkan.
Tapi segera kutepis kekurangajaran ini. Fokusku segera kembali. Usai ritual, setelah kontemplasi mendalam, tak terasa orang-orang telah banyak yang pergi. Aku coba mencari Aban, tidak ada.
Sudahlah, mungkin ada maksud tersendiri dari kejadian tadi. Sebenarnya aku pun ingin meluapkan rasa muakku---yang tak kalah perih, kisah anak perempuanku yang begitu jelek multidimensi; fisik, kelakuan, pun batinnya busuknya tak terbilang.
A, tapi sudahlah, mungkin juga tak akan ada manfaat untuknya. Aku segera menuju pintu keluar. Dahiku berkerut, sedikit menyipitkan mata, demi fokus akan apa yang sedang kuperhatikan mendetail.
Ey Aban! Ngapain dia tak beranjak juga dari sini? Memang dia kira ini rumahnya yang kedua? Masa pilu sih masa pilu, tapi tak segitunya juga kali. Coba kutahan untuk tak segera berkata-kata seenaknya saja.
Tenang, tenang. O ya, mungkin saja begini, bagiku kejadian begitu memang harus segera ditinggalkan di belakang dan tak perlu terlalu diratapi begitu. Nah, tapi kan ketegaran tiap orang pasti berbeda.
Tapi sayang, aku sudah harus bekerja. Mungkin di lain waktu kita akan bertemu lagi.
Pmg, 070124, 07.18, halub