.
Ā Ā Ā Masih pada suasana ketercengangannya, Aban berusaha tegar mendengar. "Maaf, mungkin dia kurang dalam riset. Setan bisa diprediksikan sejak awal, kuesioner kan dapat dilakukan. Jelas perkara ini bukan seperti membeli gorengan.
Ā Ā "Bisa jadi, Bapak juga ikut terpukau dengan tampilan awal setan yang telah diceritakan di awal. Setan, kalau kita sadar betul saat itu, jelas mereka tak mungkin kalau tak licik.
Ā Ā "Pengelabuannya banyak." Ladnemi berhenti. Sekilas menanti respon Aban. Senyap saja. Aku tetap belum bisa percaya dia. Biar pun, misal yang telah diutarakannya benar, tapi apakah itu benar-benar benar? Belum tentu juga.
Ā Ā Tapi biarlah aku menunggu hingga dia merespon. Haaahh---Aban menarik napas dalam-dalam, mendongakkan kepalanya, melihat langit-langit tempat ritual suci. Benaknya berkecamuk. Mengingat banyak hal yang telah terjadi, mengiringi kehidupannya.
Ā Ā Dulu, aku tak seperti anak lelakiku, pendamping hidupku, heum---jangan ditanya kalau hanya loyalitas, solidaritas, bisa dibilang sangat amah. Hanya ada satu masa yang di sana membuatku sangat kecewa.
Ā Ā Bisa-bisa entah apa disebutnya, lelaki yang dahulu pernah berjanji ingin menikahinya---singkatnya gagal, dekat dengan ibu mertuaku. Datang dengan tawar yang menggiur.
Ā Ā Memang saat itu keadaanku sedang terpuruk terpuruknya. Begitu nestapa rasanya, satu dua dari anak-anakku memyarankan untuk pisah. Ini tak tentu tak mudah.
Ā Ā Hingga akhirnya semua berlalu, semua berhak kembali ke fitrahnya masing-masing. Sebelum menuju ke kembali sejati.
Ā Ā .