.
Sudah berkali-kali upaya dikerahkan, namun hasil belum kunjung bersambut. Apa daya, yang seumuran telah pergi bersama arus kisah kehidupannya masing-masing.
Seorang wanita dengan paras cukup matang, memandang dirinya yang memantul dari cermin. Akankah aku tetap seorang diri hingga akhir kehidupan ini?
Rambut panjang sebahunya disela-sela dengan jemarinya berkali-kali. Mengapa begitu sulit menemukan teman hidup hingga tutup usia? Ingin rasanya punya keturunan yang bukan mengangkat dari mana pun, siapa pun.
"Tenang sudah Fes, kapan pun kamu mau, rumah ini selalu terbuka untukmu." Ayahnya memberikan semangat. Tembok kesedihan itu lebih dulu membenturkan diri dengan semangat. Lesu. Sedih yang begitu mendalam.
"Apakah mungkin bagiku untuk punya suami Yah, bukankah setiap kebanyakan wanita yang dilahirkan ditakdirkan untuk menjadi istri?" Pertanyaan yang tak dijawab, menyisakan sesak perih di hati Ibunya yang pura-pura tidur. Ayahnya tersenyum sembari menyembunyikan pilu yang tak kalah mengoyak hati.
Cermin tak lagi dilihat olehnya. Bukan, bukan ini yang aku inginkan. Setiap anak, siapa pun tentu tidak selamanya tinggal bersama orangtuanya.
Feshikha tak lagi bicara satu patah kata pun, dia berpindah tempat, dari kamar kedua orangtuanya ke kamarnya sendiri.
Brezzz ... Tubuh dijatuhkan ke atas kasur super empuk. Menatap atap kamar transparan yang sudah dipenuhi pemandangan bintang-bintang yang indah. Sayang, sinar hatinya sedang redup.
.