Dibakar Matahari

.

   Tak mau menutup, kedua kelopak yang belum ingin terlelap. Kenangan paksaan yang menyiksa. Pura-pura yang terlalu menyakitkan. Alih-alih usia sudah tepat untuk menjalin kesepakatan.
   Jauh tepat dari artinya. Siapa pun terlalu bisa berbicara banyak hal hebat, yang belum tentu bisa diwujudkan. Terbawa suasana, menyalahkan lagi---ke keadaan. Tidak pernah salah, bukan?
   Gurauan ini terlalu berlebihan. Ada nyawa yang terombang-ambing di rentang waktu yang terus memanjang. Ulah siapa yang memaksakan diri, berpura-pura suka. Padahal loya, murka.
   Kasihan dia, terpental ke mana riuh angin berhembus. Ketika dewasa kelak, perlahan semua akan terkuak jua. Cerita bohong yang terlalu memaksakan kehendak agar didukung, pencucian otak yang busuk.
   Sulit bertarung dengan jujur. Jelek rupa, juga krida, kelakuan. Hinggap di suatu batang pohon, hingga terlihat kering. Benalu-benalu rancu titisan murni setan. Sesuka sukanya hinggap.
   Terik yang mencekik pun tak berarti apa-apa. Air banyak, alasan sakit. Tak ada air, bahagianya seperti baru dapat makan setelah tiga hari hanya minum air. Pembakaran matahari, ringan. Terlalu berlemak---tebal, kotor, dan bau.
    Rindu yang dibakar matahari, memikirkan banyak hal. Satu satu untaian rindu terbakar, tak ada yang lebih dirindukan, dari kerinduan yang belum dibakar matahari. Tentang waktu silam yang sengaja dibuat kelam.
   Kalau saja sejak dahulu SADAR kalau makna waktu luang dan waktu sehat itu, amat sangat terberharga, maka salah langkah, ceroboh, tentu bisa ditekan hingga tidak menjadi sebesar dan segila ini.
   Sebab lalai, sebab makhluk halus, yang membakar kewarasan juga ketegasan, bahkan ketangkasan dalam mencabik-cabik badai. Seolah semua terjadi begitu saja tanpa ada muaranya.
   Padahal, tidaklah begitu. Badai kecil kemarin yang telah diremehkan itulah yang sungguh telah berhasil melumat kesombongan hari kemarin dan sekarang.
   Lalu,
Dibilanglah langkah ini salah,
Sebab itu, terbakarlah, dengan?
Panas teriknya matahari.
  Yakin?
Bukannya sengaja dibakar?
Kalau sudah begini, menyalahkan diri sendiri---oh tidak akan pernah ya.
   Kan yang hangat, memanas, hingga membakar---matahari, iya kan? Begitulah bedebah berpikir. Rindu pun meregang ke seluruh penjuru sudut tubuh. Mencari sisa-sisa seonggok semangat dan prinsip, yang dahulu nampaknya---tak akan pernah goyah.
   Waktu berlalu, kadang pola pikir pun berubah. Tak jarang juga yang tujuan awal pun dirasa tak perlu lagi dituju. Benarkah terbakar matahari; rindu-rindu itu, kecerobohan, kebodohan, perasaan yang sengaja diberi ruang lebih banyak ketimbang pikiran?
   Sayang ya?
Sayang siapa?
Diri sendiri,
Yang baru sadar, atau mungkin baru mau menyadarkan diri.
   Kalau semua ini, kesempatan yang dahulu tercurah, hanya sengaja diberikan ke matahari, lalu dengan santainya bilang, "Bakarlah ini matahari, biar nanti, aku akan merindukan penyesalan ini, sesal sebab lebih menundukkan diri pada kebodohan dan menjadikannya permaisuri yang paling berarti di hati."
   Jadi apa yang telah dibakar matahari?
   .
   Cls, RTD, Kamis 29 Juni 2023, 23:45, halub
   .
   Bersambung ke "SUNGAI CUAI"