Mohon tunggu...
Suhail Guntara
Suhail Guntara Mohon Tunggu... Akuntan - Akunting

Iseng aja nulis. Suka baca manga dan nonton anime

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Konten Ucapan Hari Besar Masih Relevan?

22 November 2024   09:00 Diperbarui: 22 November 2024   09:03 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era digital yang serba cepat ini, tren di media sosial terus berubah, termasuk dalam cara masyarakat merayakan dan menyampaikan ucapan di hari-hari besar, seperti Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, atau hari nasional lainnya. Salah satu fenomena yang penulis pertanyakan adalah relevansi konten ucapan greetings hari besar yang diposting di media sosial. Apakah kebiasaan ini masih relevan, atau justru telah kehilangan maknanya?

Tradisi menyampaikan ucapan di hari-hari besar awalnya merupakan bentuk ungkapan rasa syukur, kebersamaan, dan solidaritas antarindividu maupun kelompok. Dalam konteks budaya, ucapan seperti ini menjadi simbol penting yang mempererat hubungan sosial dan menyampaikan doa serta harapan baik kepada orang-orang di sekitar kita. Namun, di era digital, makna mendalam dari tradisi ini sering kali bergeser. Di media sosial, konten seperti ini sering kali terlihat generik dan cenderung formalitas semata. Ucapan hari besar tidak lagi hanya menjadi interaksi personal, tetapi juga bertransformasi menjadi konten publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Akibatnya, kesan tulus yang seharusnya hadir sering kali tergantikan oleh persepsi bahwa ucapan-ucapan ini hanya formalitas belaka atau bahkan sekadar strategi untuk mempertahankan eksistensi online. Banyak yang menggunakan template ucapan yang seragam, bahkan dari sumber yang sama. Akibatnya, makna personal yang seharusnya menjadi inti dari ucapan itu menjadi hilang.

Alih-alih mendekatkan hubungan, ucapan semacam ini terkadang hanya menjadi strategi branding, baik untuk individu maupun perusahaan. Hal ini menciptakan kesan bahwa ucapan hari besar lebih ditujukan untuk menjaga eksistensi di dunia maya ketimbang membangun relasi yang tulus.

Banyak individu maupun organisasi yang kini memanfaatkan momen hari besar untuk sekadar menjaga kehadiran di media sosial. Unggahan ucapan selamat sering dibuat dengan desain visual yang mencolok, tetapi tanpa menyertakan pesan yang personal atau emosional. Ucapan tersebut terkesan generik dan seragam karena menggunakan template yang sudah umum digunakan. Dalam banyak kasus, konten semacam ini tidak mencerminkan nilai-nilai atau hubungan personal antara pengunggah dan audiensnya. Fenomena ini membuat ucapan hari besar kehilangan daya tariknya, bahkan terlihat seperti kewajiban rutin yang dilakukan hanya untuk mengikuti tren.

Lebih jauh lagi, pendekatan semacam ini sering kali membuat ucapan hari besar terkesan transaksional. Perusahaan, misalnya, menggunakan ucapan tersebut untuk membangun citra positif di mata publik tanpa ada interaksi lebih lanjut. Padahal, inti dari ucapan hari besar adalah membangun kedekatan emosional, baik dalam lingkup pribadi maupun komunitas. Ketika makna ini hilang, ucapan tersebut tidak lebih dari simbol kosong yang tidak lagi memiliki resonansi kuat di hati audiensnya.

Kehilangan kedekatan emosional menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak orang mulai merasa jenuh dengan konten ucapan hari besar di media sosial. Pada awalnya, tradisi ini membawa rasa hangat dan kebersamaan, tetapi seiring waktu, repetisi dan kurangnya personalisasi membuat konten-konten tersebut terasa hambar dan kehilangan makna. Ketika ucapan hari besar lebih banyak digunakan untuk tujuan formalitas atau sekadar mengikuti tren, nilai emosional yang seharusnya menguatkan hubungan justru menjadi semakin lemah. Akibatnya, audiens tidak lagi merasakan keterhubungan dari pesan-pesan yang diunggah, dan minat terhadap konten semacam itu pun menurun. 

Ketidakhadiran sentuhan personal juga memperkuat efek jenuh ini. Dalam lautan ucapan serupa yang memenuhi linimasa, sulit bagi satu unggahan untuk benar-benar menonjol dan memberikan dampak emosional. Audiens, yang sudah terbiasa dengan pola seragam ini, akhirnya menjadi lebih selektif dalam memberikan perhatian. Tanpa elemen yang unik atau personal, ucapan tersebut tidak lebih dari sekadar formalitas visual yang mudah terlupakan. Kombinasi antara kedangkalan emosional dan kejenuhan ini menciptakan tantangan baru bagi kita untuk mencari cara yang lebih bermakna dalam menyampaikan ucapan atau merayakan momen hari besar.

Penulis, dan mungkin juga sebagian besar pengguna merasa bahwa ucapan hari besar yang diunggah secara masif tidak lagi memberikan nilai tambah. Bahkan, saya yang merasa bahwa postingan semacam ini hanya membanjiri feed mereka tanpa memberikan dampak emosional yang signifikan. Penurunan minat terhadap ucapan hari besar juga terjadi karena perubahan preferensi audiens di media sosial. Pengguna cenderung lebih menghargai konten yang otentik, informatif, atau memiliki nilai hiburan dibandingkan dengan postingan generik. Dalam hal ini, ucapan formal yang sekadar menampilkan desain menarik atau kata-kata klise tidak mampu bersaing dengan konten kreatif yang lebih berkesan. Apalagi, di tengah banjir informasi yang terus mengalir di media sosial, konten ucapan hari besar sering kali tenggelam begitu saja tanpa meninggalkan kesan mendalam.  

Selain itu, mungkin, bagi sebagian orang, ucapan yang terlalu sering diulang setiap tahun mulai kehilangan maknanya. Mereka merasa bahwa ucapan tersebut tidak lagi relevan untuk diunggah ke publik, terutama jika pesan itu tidak disampaikan secara personal. Bagi mereka, momen hari besar lebih bermakna jika dirayakan melalui interaksi langsung atau aksi nyata, seperti menghubungi orang-orang terdekat atau melakukan kegiatan sosial. Akibatnya, banyak pengguna media sosial yang mulai mengabaikan tren ini atau cenderung lebih tertarik pada konten yang memiliki keunikan, kedekatan personal, atau cerita yang otentik. Ucapan formal yang repetitif akhirnya kalah bersaing dengan konten kreatif lainnya seperti bentuk perayaan yang lebih intim dan tidak memerlukan eksposur di dunia maya. 

Kejenuhan ini bukan hanya fenomena individu, tetapi juga terjadi pada skala komunitas dan organisasi. Ketika audiens tidak lagi memberikan respons antusias, pengunggah, baik personal maupun perusahaan, mulai mempertimbangkan efektivitas konten ucapan hari besar. Mereka mulai mencari cara baru untuk merayakan momen istimewa dengan pendekatan yang lebih personal, kreatif, dan bermakna.

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai menunjukkan kejenuhan terhadap konten ucapan hari besar yang diunggah secara masif di media sosial. Pola yang cenderung berulang dan kurangnya personalisasi membuat banyak orang merasa bahwa ucapan semacam ini tidak lagi memiliki daya tarik emosional. Bahkan, sebagian pengguna media sosial melihat unggahan tersebut hanya sebagai "noise" di linimasa mereka, yang lebih sering diabaikan daripada diapresiasi. Kejenuhan ini diperparah oleh kenyataan bahwa banyak dari konten tersebut terlihat seragam, menggunakan template yang sama, atau hanya sekadar formalitas tanpa memberikan sentuhan personal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun