Adakah Sosok Pemimpin Seperti Umar di Zaman Sekarang?
dalam sebuah riwayat diceritakan Khalifah Umar Ibnu Khatab sedang mengecek surat dan laporan-laporan dalam negara kekhalifahan Islam di ruang kerjanya. Saat itu tiba-tiba anaknya mengetuk pintu ruang kerjanya yg kata-katanya kira-kira begini:
"Ayah, bolehkah aku masuk. Aku ada perlu sebentar dengan ayah."
Umar menjawab. "Iya Nak, kamu ada perlu apa. Keperluanmu apakah keperluan umat dan negara atau keperluan pribadimu sendiri?"
"Keperluan pribadi ayah."
"Oh iya silakan masuk," timpal Umar kemudian. Berbarengan dengan masuknya anak Khalifah Umar ke ruangan itu, lampu minyak di depan Umar dimatikan. Anaknya pun merasa heran.
"Lho kok lampunya dimatikan, ayah?"
"Iya, Nak. Karena kamu masuk kesini dalam kepentingan pribadi bukan kepentingan umat atau negara. Sedangkan lampu minyak ini minyaknya dibeli dengan uang negara. Dan ketika kamu mau masuk ayah sedang mengerjakan urusan  negara. Maka dari itu jika ayah tidak mematikan lampunya itu berarti ayah telah melakukan kezaliman karena menggunakan fasilitas negara yang seharusnya untuk kepentingan negara malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Ayah tidak mau menggunakan sesuatu yang bukan hak, bagaimana nanti mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah?"
Mendengar hal itu anaknya tertegun. Ayahnya tidak hanya sebagai sosok ayah yang penyayang tapi juga punya sikap bijaksana yang sangat luhur.
Inilah sosok pemimpin yang paling dibutuhkan di masa kini. Mungkin jika parameter kepemimpinan itu diukur dengan kepandaiannya dalam management, punya kemampuan retorika yang mumpuni, wawasan yang luas dan pendidikakan yang tinggi, maka kualifikasi seperti itu agaknya sudah banyak di zaman sekarang. Tapi sikap jujur, bijak, amanah itulah yang langka. Mungkin akhir-akhir ini kita sering mendapati berita ada oknum pejabat yang menggunakan fasilitas  negara untuk kepentingan pribadi. Seperti memakai mobil dinas untuk jalan-jalan bareng keluarga atau nongkrong- nongkrong. Atau malah yang lebih ekstream melalukan korupsi kolusi dan nepotisme. Tapi Khalifah Umar Ibnu Khatab jangankan menggunakan fasilitas negara yang mewah untuk kepentingan pribadi yang besar. Menggunakan lampu minyak barang beberapa menitpun ia tidak mau karena minyak lampu itu dibeli dengan uang negara dan memang seharusnya digunakan untuk urusan negara.
Selain itu ada sikap bijak Umar lainnya yang perlu dicontoh oleh pejabat masa kini.
Yakni Khalifah Umar tidak marah ketika dikritik.
Dalam riwayat lainnya suatu malam Khalifah Umar berkeliling ke peloksok negeri bersama ajudannya, Â Aslam. Bermaksud memantau kondisi rakyatnya saat itu, khawatir pembangunan dalam pemerintahannya tidak merata dan meninggalkan beberapa ketimpangan. Umar dan Aslam berkeliling di antara heningnya malam dan lelapnya penduduk jazirah Arabia yang sudah berlabuh di alam mimpinya masing-masing. Di tempat yang agak jauh dari perkampungan Umar melihat ada rumah kecil dan lampu minyak di rumah itu tampak menyala. Lalu Umar dan Aslam menghampiri rumah itu.
Terdengar ada tangisan dua orang anak kecil yang mengeluh karena lapar. Sedangkan ibu mereka berusaha  menenangkannya. Khalifah Umar dan Aslam yang saat itu memang sedang berkeliling negeri dan mengenakan pakaian musafir, mereka pun mengetuk pintu rumah itu untuk meminta izin istirahat sebentar di sana.  Lalu sang ibu pun mempersilakan masuk.
Di rumah itu Umar dan Aslam melihat dua orang anak kecil yang tadi menangis. Sementara ibu mereka tampak sedang merebus sesuatu. Tapi setelah Khalifah Umar dan Aslam beristirahat beberapa saat, ibu itu tak juga mengangkat masakannya. Kedua anak kecil itu kembali menangis.
"Bu, barangkali masakannya sudah matang. Kasian anak-anak ibu sudah sangat lapar sepertinya," sapa Umar. Ibu itu malah menjawab dengan nada ketus.
"Sayang sekali tuan-tuan masakan saya ini tidak akan pernah matang." Mendengar hal itu Umar dan Aslam bersitatap keheranan. Lalu ibu itupun memperlihatkan isi di dalam kuali itu kepada Khalifah Umar dan Aslam.
"Ya Allah mengapa ibu membohongi anak-anak ibu," tanya Aslam sembari mengernyitkan kening.
Ibu itupun berkata dengan nada yang lebih kasar.
"Tuan-tuan tahukah kondisi saya ini. Saya ini seorang janda miskin. Sejak pagi tadi, saya dan anak-anak saya belum makan apa-apa. Jadi saya menyuruh anak-anak saya untuk berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Saya mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam kuali dan saya isi dengan air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anak-anak saya dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta makan," ucap ibu itu.
" Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya. Dia yang saat ini bersenang- senang di rumahnya bergelimang harta benda. Sedangkan di luar sana ada rakyatnya yang kelaparan seperti diriku ini. Mana yang katanya pemimpin adil itu? Sungguh semuanya itu bohong. Ternyata tak ada bedanya dengan Firaun dan Qorun."
Mendengar celotehan ibu itu yang memaki junjungannya, Aslam naik Pitam wajahnya memerah dia hendak menindak ibu itu.
'Mengapa juga ibu itu menyalahkan Umar. Umar sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mensejahterakan rakyatnya. Hanya saja kerena posisi tempat tinggal ibu itu sangat jauh dan terpencil, tidak diketahui sebelumnya oleh pemerintah.' Begitu hemat Aslam.
Namun sebelum Aslam bertindak Umar segera menjawil tangan Aslam, memberikan kode agar dia menahan emosinya. Aslam pun berusaha tenang. Lalu Umar berpamitan kepada Ibu itu untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampai di Madinah, Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum. Tanpa memedulikan rasa lelah, Khalifah Umar mengangkat sendiri karung gandum tersebut di punggungnya. Aslam segera mencegah.
" Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu," kata Aslam.