Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emansipasi Wanita Akankah Menjadi Supremasi Wanita

6 Mei 2023   06:29 Diperbarui: 6 Mei 2023   06:44 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: merdeka.com

Emansipasi Wanita Akankah Menjadi Supremasi Wanita

Budaya patriarki yang sudah berlangsung sejak zaman kuno telah membentuk mindset bahwa laki-laki memiliki posisi lebih tinggi daripada wanita. Posisi lebih tinggi ini mencakup semua lini dan hierarki kehidupan. Baik dalam masalah sosial, politik, ekonomi, keluarga maupun seksualitas. Keadaan seperti ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikan kaum wanita sebagai golongan yang boleh dieksploitasi oleh kaum pria bahkan diposisikan sebagai budak.

Sebagai gambaran seperti yang kita baca dalam beberapa literatur sejarah, pada zaman dulu wanita diberikan batasan yang ketat untuk berperan di masyarakat. Misalnya tidak boleh sekolah, tidak boleh menjadi kepala di suatu institusi ataupun tidak boleh memberikan jajak pendapat dan hak suara dalam sebuah pemilu. Walaupun begitu memang ada beberapa wanita yang punya peran dalam masyarakat dan pemerintahan, misalnya menjadi ratu, pemimpin perang atau yang lainnya. Tapi itu hanya segelintir saja.

Selain di kehidupan masyarakat, di kehidupan keluarga sendiri wanita sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Misalnya mereka tidak punya hak dalam melakukan gugatan perceraian jika mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya atau tidak boleh menikah lagi ketika suaminya meninggal dunia seperti yang terjadi di India. Bahkan di zaman Arab kuno kaum wanita tidak diberikan hak waris bahkan yang lebih parahnya lagi masyarakat di sana sangat malu kalau istrinya melahirkan anak perempuan. Alhasil mereka sering menguburkan bayi perempuan hidup-hidup.

Baca juga: Mereka Bukan Sapi

Namun seiring berjalannya waktu, kondisi sosial budaya umat manusia mengalami perubahan. Revolusi industri di Eropa agaknya mulai menggeser budaya patriarki di debelan dunia ini. Di mana sebelumnya yang secara umum bekerja di sebuah perusahaan atau industri itu dilakukan oleh kaum pria, namun kaum wanita juga secara umum banyak bekerja di perusahaan dan industri besar. Memang pada mulanya mereka para pelaku industri banyak memperkerjakan wanita karena pengeluaran untuk membayar gajinya wanita lebih kecil dari pria yang walaupun secara porsi kerja bisa saja sama dengan pria. Dan di zaman sekarang pembedaan gaji agaknya tidak bisa kita temukan lagi.

Sebenarnya jauh sebelum revolusi Industri di Eropa peradaban Islam telah banyak melakukan perombakan terhadap budaya patriarki. Sebagaimana yang penulis singgung di awal, masyarakat Arab memposisikan wanita secara lebih rendah. Namun Islam membawa misi mengangkat martabat wanita ke arah yang lebih tinggi. Penguburan hidup-hidup terhada bayi perempuan di larang, perempuan memperoleh hak waris, perempuan punya hak suara dalam bermusyawarah. Begitu pula perbudakan, secara bertahap Islam telah menghapus perbudakan sehingga tidak ada lagi perbudakan dalam internal umat Islam.

Emansipasi wanita versi Islam ini membawa hasil yang membanggakan. Jika kita sandingkan emansipasi versi Islam dengan Emansipasi kontemporer ada sebuah perbedaan yang cukup jelas.
Islam memandang pria dan wanita sama di hadapan Tuhan yang membedakannya hanyalah amal ibadah dan keimanannya kepada Tuhan. Dengan mengacu kepada hal ini artinya wanita dan pria tidak ada perbedaan dalam hal derajat manusia.
Tapi secara fungsi sosial, ekonomi, politik maupun seksualitas Islam juga menempatkan keduanya pada porsi dan perannannya masing-masing. Mungkin berbeda, tapi perbedaan bukan berarti ketidakadilan dan persamaan belum tentu juga sebuah keadilan. Mungkin bisa kita mengambil analogi; ada orang tua memiliki dua anak. Yang satu kelas XII SMA, yang satunya lagi kelas 2 SD. Anak yang kelas XII SMA dibelikan motor, sedangkan anak yang kelas 2 SD dibelikan sepeda. Apakah orang tua mereka tidak adil? Tentu hal ini adil meskipun mereka mendapatkan perlakuan berbeda. Karena keduanya punya kebutuhan dan porsinya masing-masing yang tidak mungkin bisa disamakan.

Sementara itu antara pria dan wanita secara fisik dan psikis juga punya perbedaan yang mencolok dan tentunya mereka punya kebutuhan, fungsi dan porsi yang berbeda dalam kehidupan ini. Dan Islam menekankan fungsi, kebutuhan dan porsi mereka ini harus terpenuhi secara benar. Inilah keadilan gender menurut Islam. Itulah mengapa Islam masih memandang adanya perbedaan antara wanita dan pria, bukan pada derajat dan kedudukan pria dan wanita di masyarakat ataupun derajat manusia dihadapan Tuhan. Tapi lebih kepada fungsi dan porsi alamiah yang berkaitan dengan kodrat fisik dan psikis wanita dan pria.
Sebagai contoh mengapa menurut Islam wanita tidak boleh poliandri sementara pria boleh poligami. Pada dasarnya poligami bukanlah keharusan tapi ia hanya dibolehkan dan bisa jadi solusi dalam kehidupan sosial dan rumah tangga dalam suatu permasalahan tertentu. Mengenai wanita tidak boleh poliandri itu bisa difahami, secara bentuk dan fungsi seksual saja wanita adalah pihak yang melahirkan dan menerima sperma dari laki-laki ketika pembuahan dalam proses kehamilan. Sedangkan pria adalah pihak yang memberikan sperma ketika melakukan pembuahan dalam proses kehamilan.
Nah jika ada lebih dari satu pria memberikan spermanya kepada pihak wanita dalam waktu 3 hari saja, maka ketika wanita itu hamil dan melahirkan akan mendapati kebingungan siapa ayah biologis si anaknya tersebut.
Sedangkan pria sebagai pihak pemberi meskipun ia memberikan spermanya kepada 4 wanita dalam waktu 3 hari saja, maka ketika keempat wanita itu hamil itu sudah pasti anak yang dikandung mereka adalah anak dari seorang pria itu. Selain itu menurut kesehatan juga wanita yang di organ vitalnya terdapat sperma beberapa pria yang bercampur itu bisa menjadi sumber penyakit.

Contoh kedua masalah pekerjaan dan karier. Islam mewajibkan pria mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan wanita tidak wajib tapi dibolehkan. Nah inilah contoh keadilannya. Pria diberikan beban kewajiban mencari nafkah sementara wanita tidak. Hal ini bisa kita fahami karena berkaitan dengan fisik maupun psikis yang menjadi kodrat alamiah keduanya.  Di mana wanita punya beberapa uzur tertentu seperti melahirkan, hamil dan juga mood yang sewaktu-waktu berubah signifikan. Nah hal ini tentu bisa membuatnya tidak maksimal dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan pria tidak mengalami hal tersebut. Namun sebaliknya wanita punya tanggung jawab besar merawat dan mendidik putra putrinya di rumah. Ada sebuah istilah ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Maka untuk mewujudkan generasi yang hebat yang kelak akan berkontribusi besar dalam kemajuan suatau masyarakat itu dibutuhkan pendidik awal yang berkualitas yaitu seorang ibu.

Baca juga: Ratu Cinta

Namun kalau kita cermati emansipasi kontemporer yang diusung masyarakat barat saat ini agak lain praktiknya. Mereka memandang pria dan wanita punya kedudukan yang sama denga pria dalam hal sosial, politik, ekonomi bahkan secara seksualitas. Intinya faham ini tidak memandang fungsi dan porsi wanita dan pria itu beda tapi keduanya dianggap sama saja. Wanita benar-benar dipersepsikan sama dengan pria dalam berbagai hal. Alih-alih mengangkat kehormatan wanita yang ada malah justru mengeksploitasi wanita misalnya dalam hal pekerjaan. Karena wanita benar-benar dianggap sama dengan pria maka obsesi yang dimunculkan adalah wanita hidup bebas tak boleh diatur oleh pasangannya yang merupakan kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban mencari nafkah. Maka akibantnya adalah tugas utama wanita mengasuh dan mendiddik anak-anaknya supaya menjadi manusia-manusia hebat terabaikan dan dialihkan kepada asisten rumah tangganya yang memang pola asuh dan pendidikannya tidak semaksimal ibunya secara langsung. Sementara sang ibu lebih asyik di dunia kariernya. Ia terlena dengan kehidupan di luar, bekerja dan hidup bebas sehingga lupa peran dan fungsi dia dalam rumah tangga.
Celakanya lagi di beberapa negara tertentu sebagaimana yang penulis baca di media, banyak wanitanya yang enggan melahirkan dan berumah tangga sebagaimana mestinya. Malah sensus penduduk memperkirakan negara-negara tersebut akan mengalami penurunan penduduk dari tahun ke tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun