Di ambang pintu itu Bapak dulu,
sore-sore pulang dengan seplastik roti markook untuk ibu dan aku.
Juga zaitun serta kurma, upah berkebun di ladang orang dua pekan lamanya
Manis madu rasanya, membuat asaku melayang seperti seekor burung
melintasi pasar Al Zawiya, kota tua hingga Jabaliya utara
Di Lorong dapur itu ibu dulu,
Memasak Malfoul sembari menderas hapalan Al Qu'ran
getarannya perlahan merambat ke dinding rumah, ruang tengah hingga lepas ke lautan.
Merdu nian, seolah menyiram asaku yang sedang lara
dengan setangkup air dari kali Kautsar nan tak habis-habis segarnya
Lalu aku dan kawan-kawanku berlarian lepas sekolah
Melintasi jalanan, lalu lalang kendaraan dan bunga-bunga
Memainkan lakon Salahudin di taman Rimal
juga benerang umpama kawanan angsa di pantai Gaza
riuh nian pada masanya, umpama cericit burung pipit bersahut-sahut di pagi buta.
Tapi itu dulu kawanku, Dulu,
Sebelum kawanan serigala datang ke kampungku dengan membawa bara
Sebelum monyet dan kera mengacau dalam jet termpur dan Merkava
Lalu bangunan-bangunan porak poranda umpama sejumput rumput yang lemah
Lalu jiwa-jiwa tercerabut dan mengalir darah
Ya, itu dulu kawanku, dulu...
Kini aku di sini, berdiri untuk merelakan yang telah pergi
Kini aku di sini, berdiri dalam perlawanan, menyongosong menang atau mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H