Demi Tuhan yang Maha Tahu, sejujurnya saya cemas mengenai ketahanan energi Indonesia. Persepsi bangsa Indonesia mengenai kekayaan sumber daya minyak dan gas bumi jelas-jelas salah kaprah (lihat tulisan saya sebelumnya http://politik.kompasiana.com/2014/09/02/bangsa-salah-kaprah-soal-migas-685041.html ), mengakitkan kebijakan energi Indonesia juga bertahun-tahun salah kaprah.
Bagaimana tidak cemas, beberapa kandidat Menteri ESDM yang masuk bursa media massa banyak yang keliru mengenai ke ESDM-an, contoh:
(1)Iwan Ratman (SKKMigas).
Beliau bilang: “Pemerintah tidak perlu menaikan harga BBM tapi menggantinya dengan menaikan pajak kendaraan untuk mengatasi krisis energi nasional”. Gagsan ini sangat parsial (tidak komprehensif), kurang melihat dampak kebijakan harga obral BBM terhadap
(2)Susilo (Wamen ESDM).
Beliau bilang: “Puasa subsidi BBM pada hari Sabtu-Minggu, akan menghemat subsidi BBM sebesar Rp. 96 Trilyun”. Ini gagasan seperti tidak mengenal tabiat bangsa, kalau hari Sabtu-Minggu tidak dijual BBM subsidi maka masyarakat akan membelinya hari Senin-Jum’at. Pada hari Sabtu-Minggu akan banyak dijual BBM eceran dengan harga di atas harga subsidi.
Sadarilah Bapak Presiden yang saya hormati, apabila kebijakan energi Presiden Terpilih = Presiden Petahana (tidak memiliki sense of energy crisis) maka Bom Krisis Energi yang bisa meluluh-lantakan perekonomian dan kehidupan sosial Indonesia berisiko meledak KURANG DARI 10 tahun ke depan!!!
Terjadinya ledakan bom Krisis Energi ditandai antara lain:
*** Krisis listrik (terjadi pemadaman massive secara bergiliran).
*** Kelangkaan BBM (beli BBM antri dan di jatah).
Dampak ledakan krisis energi antara lain:
*** Akan memukul Industri otomotif (pajak drop, dll).
*** Biaya transportasi naik tajam (inefisiensi usaha, dll).
*** Pada giliranya mengakibatkan stagnasi/resesi ekonomi (PHK/pengangguran, pertumbuhan drop, dll) yang ujung-ujungnya bisa memicu krisis sosial dan politik.
Mengapa ledakan bom krisis energi bisa menghantam negeri ini sedemikian dasyat? Dan sudah di depan mata? Ini karena pada tahun 2024 (10 tahun lagi):
*** Produksi minyak Indonesia diproyeksikan menjadi kurang dari 600 ribu bph (mengalami penurunan secara alamiah, seperti terlihat pada grafik).
*** Konsumsi BBM (jika tidak ada perubahan kebijakan yang radikal) akan jauh melampaui 2 juta bph.
***Dengan demikian, impor BBM bisa di atas 1,5 juta bph senilai US$ 150 juta/hari (Rp. 1,8 Trilyun/hari @kurs Rp. 12.000 per US$).
Kondisi saat ini (2014)
(1)Akibat kebijakan harga jual BBM ≈ 50% harga pasar (biaya pengadaan)
a)Konsumsi energi Indonesia paling boros di ASEAN yaitu sekitar 0,83 liter per orang per tahun. Bandingkan dengan Filipina yang 0,47 liter per orang dan Vietnam 0,56 liter per orang.
b)Terjadi pencurian dan penyelundupan BBM.
c)Akibat (1a) dan (1b), inefisiensi konsumsi BBM diperkirakan mencapai 30%
d)Kuota subsdi BBM 46 juta KL diperkirakan jebol.
e)Subsidi BBM mencapai Rp 276 trilyun atau lebih.
(2)Seandainya kebijakan harga jual BBM ≈ 80% harga pasar (biaya pengadaan)
a)Inefisiensi konsumsi BBM diperkirakan hanya mencapai 10-15% (ambil rata-rata 12.5%)
d)Sehingga konsumsi BBM akan turun sekitar 17.5% dan subsdi BBM hanya Rp 75 trilyun.
Benefit lain:
a)Kegiatan eksplorasi gas akan meningkat karena naiknya competitiveness hasil produksi gas (harga gas terkait harga minyak/BBM).
b)Meningjkatnya competitiveness energy alternative seperti bio fuel, PLTA, PLTU, dll.
Tentu akan lebih ideal apabila harga jual BBM = harga pasar untuk menghilangkan distorsi harga.
Kebijakan menaikan harga BBM harus segera dilakukan karena proyek pengembangan energi alternatif memerlukan waktu lama hingga dimanfaatkan. Sebagai contoh, membangun PLTU dari panas bumi sekitar 8 tahun, PLTA sekitar 10 tahun, bio energi lebih lama lagi (perlu waktu penanaman bahan baku hingga bisa dipanen).
Secara keseluruhan, pemerintah yang baru perlu segera melakukan perubahan kebijakan energi yang radikal untuk menghindari terjadinya ledakan bom krisis energi, diantaranya:
(1)Kebijakan menaikan harga BBM hingga minimal 80% harga pasar pada kesempatan pertama, kemudian naikkan secara bertahap hingga mencapai harga pasar dalam 3 tahun mendatang.
(2)Pengembangan infrastuktur gas, termasuk program konversi bahan bakar kendaraan bermotor dari BBM ke BBG secara progresif dan massif.
(3)Percepatan proyek PLTU (energy panas bumi).
(4)Percepatan pengembangan PLTA dengan membangun bendungan-bendungan (proyek terintegrasi dengan program kedaulatran pangan)
(5)Mengubah mekanisme pembelian minyak/BBM dari model sport market (short term contract) menjadi long term contract langsung dari sumber-nya (Timur Tengah). Di inisiasi dengan diplomasi G to G kemudian B to B (manfaatkan keunggulan komparatif sebagai sesama negara muslim).
(6)Pendekatan G to G dapat dilakukan juga untuk mendapatkan daerah konsesi lapangan minyak dan gas (membantu percepatan program Pertamina Go International).
(7)Pembangunan KIlang Mini BBM di daerah tertentu (ada sumber dan potensi pasar).
(8)Mulai merencanakan PLTN dengan target bisa dioperasikan tahun 2050-2060 (setelah terbentuknya budaya disiplin hasil program revolusi/transformasi mental selama 30 tahun).
Pada akhir tulisan ini, saya teringat pendapat Dr Arkand Bodhana Zeshaprajna (ahli metafisika) yang meramalkan Indonesia berisiko cerai berai tahun 2021 jika tetap namanya Indonesia (tidak diganti dengan Nusantara). Hemat saya, bisa saja Indonesia seperti ramalan Dr Arkand apabila kebijakan energi pada pemerintahan presiden baru tidak ada perubahan yang radikal (tetap business as usual).
Yth Bapak Presiden… Semoga Allah SWT mendorong bapak berkenan membaca tulisan ini kemudian melakukan langkah-langkah strategis yang diperlukan.
Salam Hormat
Sugriwan Soedarmo - Praktisi Perminyakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H