Saya senang sampai pada usia ke 53 hari ini TVRI masih eksis. Masih berkiprah dengan baik di tengah persaingan yang makin ketat, di tengah kondisi pemerintahan yang belum mendapatkan ‘titik terang’.
Tentu saja banyak kerabat saya sesama pensiunan lembaga itu, serta terutama yang masih aktif berdinas, merasakan hal yang sama. TVRI, betapapun masyarakat sudah mengabaikannya, tetap punya peran besar dalam memberi warna pada pertelevisian di tanah air.
Membandingkan
TVRI tidak dapat dibandingkan dengan tv swasta manapun. Dari segi anggaran, teknologi dan kreativitas SDM-nya. Namun demikian tetap saja ada sesuatu yang diperlukan untuk pembanding, kalau bukan untuk pelarian dari sesuatu yang kita anggap tidak/kurang ideal. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
Kalau pertanyaannya dimulai dari kondisi TVRI, bagaimana nasibnya kini? Maka jawabnya sangat mudah dan sederhana: tidak sebaik dulu (sebelum lahir tv swasta milik putera-puteri Soeharto), makin payah (jumlah tv swasta makin banyak dengan modal besar, namun makin kehilangan rasa nasionalisme selain hanya berebut rating dan iklan), atau alhamdulillah masih dapat bertahan.
Kalau dari sudut tv swasta: sudah idealkah pertelevisian kita masa kini? Jawabnya ya dan tidak. Ya, karena menyerap banyak tenaga kerja, melalui iklan-promosi-info produk ikut memacu roda ekonomi, dan memperbanyak ruang maupun variasi isi informasi. Namun dapat pula dijawab tidak, karena station televi itu kebanyakan lebih cenderung pada informasi sensasi dan menyajikan hiburan miskin edukasi.
Keduanya kalau diibaratkan masih menjadi dua kutup yang saling bertolak belakang, keduanya belum atau tidak ideal.
Mungkin ada yang tidak percaya kalau ada orangtua dan keluarga yang sangat tidak menganjurkan menonton tv (yang terbanyak tv swasta) karena : banyaknya iklan, adanya iklan yang konyol/dangkal dan tidak mendidik, isi informasi yang sensasional, mengabaikan rasa nasionalisme, mengutamakan iklan dan rating daripada bobot siaran, menonjolkan pemilik tv (apapun kegiatan, ucapan, dan pendapatnya –secara tidak langsung tampak pada kebijakan redaksional-), suka yang serba heboh meski berdampak buruk, cenderung abai atau bahkan melanggar regulasi, dan banyak lagi.
Pernah saya baca di media, karena kondisi itu maka ada orangtua yang hanya memasang satu channel untuk anaknya, yaitu TVRI. Namun lebih banyak lagi yang anak-anaknya tidak boleh menonton tv nasional, dan memilih tv kabel yang memuat hiburan maupun ilmu pengetahuan     -yang dirasa aman sesuai usia anak-.
Berbaik-sangka
Pilpres langsung pada waktu lalu menjadikan isi siaran televisi kita diwarnai kontras hitam-putih, blok A dan blok B, dan agaknya sampai kini pun belum hilang. Sengaja atau tidak maka benih perpecahan di negeri ini terus dipelihara oleh media. Sebagai pembenar, memang kesanalah kelangsungan dan kemakmuran kehidupan mereka ditopang. Kinerja tv swasta itu jelas sangat berbahaya, namun bahkan KPI pun agaknya tidak mampu berbuat apa-apa.