Tiga tahun sudah saya bertekun menulis di blog Kompasiana. Waktu yang pendek dibandingkan dengan orang lain mungkin. Tapi lumayanlah dibandingkan tidak sama sekali. Niatan saya menulis selain mengisi masa pensiun terlebih juga untuk merawat ingatan.
Yang saya maksudkan ingatan tak lain daya ingat dan upaya mengingat-ingat. Meski nyatanya tetap saja banyak yang lupa. Bersamaan dengan itu saya pun merawat ingatan supaya tetap waras. Sebab dengan tingginya intensitas tulisan pro dan kontra dalam banyak hal sekaligus, makin sarkas dan brutalnya gaya dan sikap orang dalam berkomunikasi, lalu dibumbui dengan banyaknya hoax, hujat-menghujat, informasi partisan, dan opini menghasut-melecehkan- dan pornografi; berpotensi besar membuat orang stress dan bahkan kehilangan kewarasannya. Â Alhamdulillah ingatan saya masih dalam koridor sehat (setidaknya menurut saya sendiri).
Maka saya berterima kasih kepada Kompasiana yang membuat saya makin tekun merawat ingatan. Biarlah teman-teman lain bertarung opini mati-matian untuk sesuatu yang politis, agamis, dan hal-hal lain yang strategis. Saya beropini dalam bentuk fiksi saja. Itupun kalau ada yang membaca, dan itupun kalau yang membaca merasakan ada pesan-pesan tertentu yang sifatnya sangat pribadi mengenai suatu topik.
***
Kalau ditanya orang, apa manfaatnya menulis di Kompasiana., saya jawab: banyak. Namun merawat ingatan yang sudah saya sebutkan di atas, menjadi hal utama. Begitupun hal lain bukan tidak penting. Pertama, menjadi Kompasianer ternyata membangkitkan kembali minat dan selera saya dalam menulis, terutam menulis fiksi. Meski kalau dirumuskan dapat saja saya menggunakan bahasa kasar ‘menjerumuskan’ tapi sebenarnyalah maknanya sangat positif, yaitu membuat saya ‘terpaksa’ berpikir lebih lama dan lebih keras  untuk menulis.
Menulis memerlukan sedikit aktivitas fisik, namun perlu banyak kegiatan otak: berpikir, membandingkan, menyimpulkan, lalu menuangkannya dalam tulisan. Melihat, mendengar, membaca, merasakan, dan memahami banyak hal di sekeliling kita, dari media massa arus utama maupun online, serta juga dari bacaan lain. Sebelum kemudian menentukan satu judul  tulisan, meski ringan-ringan saja sekalipun. Dan saya menulis yang ringan-ringan saja itu. Tidak perlu berpikir terlalu rumit dan sulit. Tentu hanya begitulah kemampuan saja.
Hal kedua, membuat saya rutin dan bersemangat menulis. Kreativitas dan produktivitas menulis coba saya sejajarkan. Dalam tiga tahun saya menulis 370 tulisan, atau rata-rata 123 tulisan pertahun, atau dua hingga tiga tulisan seminggu. Itu cukup produktif dibandingkan dengan mereka yang menulis seminggu sekali, dan pasti jauh lebih produktif dibandingkan dengan mereka yang tidak menulis sama sekali karena asyik sebagai pembaca saja. Produktivitas itu menurut saya cukuplah. Saya bukan tidak iri pada sosok-sosok fenomenal yang mampu menulis satu artikel atau lebih dalam sehari, namun saya harus mawas diri.
Ketika masih sekolah hingga kuliah saya banyak menulis. Dengan mesin tik yang memunculkan bunyi yang khas itu terasa nyaman di telinga. Terlebih saat malam larut. Menulis disela tugas sekolah atau kampus, disela kesibukan lain, menjadi kesenangan. Namun ketika mulai bekerja dan ditempatkan di provinsi jauh utara sana, waktu itu 1980-an perkembangan media cetak dan elektronik masih minim. Saya seperti terpisah dari pergaulan media. Demikian pun waktu saya sebagai insan penyiaran setiap hari memang menulis untuk bahan siaran.
Sesekali saja kalau rindu menulis fiksi saya lakukan namun produktivitas dan kualitasnya tidak pernah berkembang baik. Sampai jelang pensiun saya tetap tidak intensif menulis fiksi. Baru setelah kenal dengan media online saya seperti tersadar untuk kembali menulis, terutama fiksi. Mengisi hari-hari pada masa pensiun dengan menulis menjadi kesenangan yang komplit, melengkapi aktivitas pergi-pulang jalan kaki ke masjid sehari lima kali, mengantar isteri dua-tiga hari sekali berbelanja untuk memasak, juga berolahraga berjalan kaki di Lapangan Tegallega atau di Lapangan Gasibu seminggu sekali.
***
Kembali ke soal menulis di Kompasiana, tiga hal yang menjadi ‘prestasi’ (kalau boleh dibilang begitu), yang pertama, mampu mengumpulkan puluhan puisi dalam sebuah buku dengan judul ’(Hanya Orang Gila) Yang Masih Menulis Puisi’. Itu puisi introspeksi dan mawas diri saja sebenarnya. Buku itu memang dibuat agak memaksakan diri yaitu untuk mengejar tenggat mengikuti lomba buku puisi yang diselenggarkan DKJ tahun 2016 lalu. Dan hasilnya mudah diduga, tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan selembar surat elektronik ucapan terimakasih karena telah bersusah-payah mengikuti lomba pun tidak. Tapi tidak mengapalah. Pesertanya ‘kan sampai ratusan orang, jadi betapa repot Panitia kalau harus memperhatikan satu-per-satu peserta.