Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Tantangan100HariMenulisNovel-FC)- Cinta yang Menua # Bab I

16 Maret 2016   05:31 Diperbarui: 17 Maret 2016   13:19 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="ojek sepeda onthel. Sumber gambar : http://www.mendrofa.com/2013/07/11/photo-gallery-sepeda-ontel/"][/caption]Lelaki Tua dan Cinta

Rintik air hujan masih ramai, berisik dan berderik. Sejak siang tadi cuaca mengancam, dengan mendung tebal, gelap, dan menggelayut. Orang-orang berlarian di trotoar. Mencari peneduh meski sekedar rimbun daunan pohon, lalu kembali berlari ke shelter di depan sana. Perlahan malam pun merambat, terasa pepat sebab angin diam, dan sunyi mengambang tak menyentuh daun telinga.

“Aku akan menikahimu kalau saja ada hal yang bisa menjadikanmu suka. Tapi sungguh aku tidak punya apa-apa. Tentu kecuali sekadar sepeda onthel tua, itu modalku untuk memperpanjang nafas sehari-hari dengan dua bungkus nasi, bekal makan siang dan malam hari. . . . . .!” ucap lelaki itu nyaring berulang-ulang sambil melihat kearah jam tangannya. Jarum jam pendek sudah menunjuk angka tujuh.

Menunggu, itulah pekerjaannya. Tidak ada penumpang sejak petang tadi. Beberapa batang rokok di kantong sudah tuntas, maka yang tersisa tinggal lamunan. Tinggal kata-kata rayuan entah ditujukan kepada siapa.

Ia seperti dramawan sedang menghafal naskah, serupa bocah ingusan mengeja kata dalam deklamasi. Cuma memang suaranya sember, agak fals, juga nadanya teramat rendah. Sama sekali tidak merdu, cara bertuturnya terlalu bersahaja. Suara itu lebih mirip dengan dengkuran orang terlelap di gardu ronda meski hanya berbantalkan lengan sendiri.

***

Arjo  Kemplu nama lelaki itu, usia jelang enam puluh tahun. Kemplu tambahan nama kecilnya sekadar panggilan akrab kawan-kawan orang Jawa. Artinya, antara nekat dengan pilihan hidup yang ugal-ugalan. Terserah saja orang mengartikan apa, tapi Arjo baik-baik saja. Tambahan nama itu jadi terasa unik malah. Sebab dengan tambahan Kemplu menjadi berbeda dibandingkan ribuan nama Arjo di luar saja. Yang ini jelas Arjo spesial, ya Arjo Kemplu!

Tentu saja Arjo menjadi tua dengan segala ciri ketuaannya. Namun sifat ketus dan sok tahu dan bahkan suka bergaya-remaja membuatnya mudah ditandai. Selebihnya tidak tampak sesuatu pun pada perwujudannya kecuali perut buncit, wajah bopeng, dan lengan tangan berbulu menjuntai panjang seperti balalai gajah. Ya, tinggi badanya hampir dua meter: ia begitu gagah, bongsor, dan meraksasa namun agak bungkuk.

Arjo sedang jatuh cinta, dan layaknya peristiwa asmara yang lain tidak ada kata malu, bahkan juga tidak ada kamus malu-maluin baginya. Mengikuti pepatah jadul, umur tua bukan hambatan. Yang ada semata lamunan indah, bayangan mesra, rasa bahagia, hati riang gembira-ria; meski orang lain mungkin menganggapnya menjijikan, agak kurang waras alias setengah gila.

Ya, bagaimana tidak? Sasaran asmaranya agak sembrono. Sebenarnya ia boleh saja jatuh cinta kepada janda bahenol di belakang terminal, atau gadis ramping berkulit sawo matang di kampung sawah. Tapi pasti bukan perempuan muda bernama Wasistra. Perempuan mantan model itu bukan kelasnya.

Betapapun Arjo tetaplah lelaki normal. Apalagi ketika bersitatap dengan perempuan langsing jelang tiga puluh tahun, wajah tirus, dan menyimpan senyum dengan seribu pesona itu. Namun pasti bukan pinangan Arjo yang ditunggunya meski ia telah menjanda hampir lima tahun dengan dua anak dari dua suami terdahulu. Bukan! Yang mengherankan sikap Wasi –panggilan akrab sehari-harinya-  tidak menjadi ketus dan bersikap menyakitkan. Ia hanya berkata:  “Bang Arjo, ada perempuan lain yang jauh lebih cocok untuk Abang. Dan itu bukan Wasi. Maafkan bila kata-kata saya ini tidak mengenakkan hati!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun