Melaju itu kencang
Bukit gundul, hutan pinus, dan jalanan
Berbatu lurus, menembus belantara petang
Kuterbangkan ragaku
Menuju kota, memburu tetirah, merawat luka
Bernanah, sakit di atas sakit, remuk diperam duka
Di atas sepeda motor tua
Itu aku, dengan mesin dan knalpot sama tua
Tanpa kaca spion
Tanpa peta mau kemana
Hingga tetes terakhir bahan bakarnya
Dan kuseret rongsok sialan itu
Kujerumuskan ia ke sebuah telaga begitu saja
Lalu aku menjauh meninggalkannya
Masih berhelm, bersepatu kulit selutut
Melangkah gagah sesekali berlari
Menerabas padang rawa-rawa, jauh di sana, laut
Dan mungkin aku segera tiba
Di pesisir, untuk meneriakkan puisi ihwal lelaki papa
Tapi aku tak pernah sampai ke sana
Di depanku menghadang seekor buaya
Sepertinya kelaparan, matanya redup merintih
Mengajakku saling berkisah, mungkin membujuk
Kulemparkan helmku juga sepatu, untuk menghalau
Tak dihiraukannya, pastilah ia mengincar pahaku
Dan aku tak percaya, andai saja masih ada
Sepeda motor bututku, masih ada bahan bakarnya
Aku memilih melaju kencang menuju kota
Sungguh malu aku terpedaya seekor buaya
Mungkin malam ini kawanan mereka segera berpesta
Menerbangkan ragaku dengan tarian brutal kebengisan
Aku tak tahu, dan tak ingin memikirkannya!
Bandung, 22 Juli 2016
Simak juga tulisan sebelumnya:
- kedahsyatan-yang-diabaikan_
- penyiksaan-di-sepanjang-jalan-tol
- prajurit-tua-yang-tersesat-di-belantara-kota
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI