Tidak semua pilihan ingin kutandai, tidak seserpih  perhatian pun mampu menandai ketiadaan yang melarutkan hati. Namun benar engkau telah pergi, pada suatu petang, ketika gerimis tertahan-tahan dan suara burung-burung hutan meliar membuyarkan harmoni
Kita sepakat dulu untuk tidak saling menguji, kita menjauh dari semua bising dan menepi, serupa kegamangan awal perjalanan, juga langkah yang menjejakkan setapak berpasir pada undak pendakian di kaki Merapi, kita tak pernah membiarkan detik berlalu dengan ingkar
Menjadi tua itu menakutkan ungkapmu, begitu setiap kalender hangus lembar demi lembar, selalu begitu setelah melayari untaian pulau, jejalan mimpi, melintasi kota satu ke kota berikutnya, sergapan harap, lalu diam lama seperti tertegun-tegun pada  satu kawasan yang kita yakini di situ bakal tak terpisahkan oleh lambaian tangan
Ada pohon kamboja berderet menyembulkan bunganya, ada rerumputan liar yang menjalar, lereng kosong memanjang, dan di kejauhan rumpun bambu dengan desau angin yang menebar ke semua ratap, menerawang aku hingga menipiskan rasa dan hati, juga kepalsuan yang terserak di masa lalu, berkemas, Â merapuh.
Bagaimana meyakinkanmu kini manakala aku masih menunggu, merawat ingatan tentang ketulusan mencandai duri-duri, juga luka memar benturan, bahkan semacam perih yang tak terperi entah terantuk misteri. Semua kita mencandai hidup sambil berhitung, berbaris rapi, dan termangu. Â Di kerindangan kamboja mana engkau cemas menunggu.
Sekemirung, 9 – 23 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H