Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi I Bingkai, Perjalanan, dan Keretaku

17 Oktober 2016   21:16 Diperbarui: 21 Maret 2017   20:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurt Wenner, lukisan “Street Mural 3 Dimensi”. gambar: hendrataprasanti.wordpress.com

Bingkai
Begini rasanya terperangkap lamunan
rimba raya silam yang timbul-tenggelam
dalam ingatan, ada diantaranya potongan sesal
bayangan kelam. Beruntung aku  
mampu membingkainya hingga serupa kado
pernikahanmu yang tertunda berbelas tahun
semata menunggu kesia-siaan
gerbang keluarga yang kuncup dalam rencana

Seturut kaum yang abai berhitung
kita pun sengaja melalaikan
restu orang tua, betapapun syarat kebaikan  
diukir-dirajut, betapapun cinta terlanjur tunas  
di beranda hati, menggumamkan lantunan puja-puji  
namun harap kejujuran tak pernah sampai

Kini tumpukan bingkai itu tertanam subur
hingga menjadi belantara cerita dan canda-tawa
tak bosan untuk menjejakinya  
bahkan hingga waktu entah nanti. Sepotong senja  
luntur, sebaris puisi menunda, segenggam peristiwa
kelam, sepercik tanya, dan entah apa lagi

Semua terbingkai begitu rapi
agar kita mengenali yang tercecap dan termimpi
Tahun demi tahun menua
dan guncangan kecewa tak juga jeda, ada terasa
satu bingkai yang mestinya kusematkan. Bingkai kesaksian
dua orang yang disucikan untuk bersatu, yang terjadi
justru saling mengingkari. Di bingkai itu kini semua sesal
dijejalkan, dilumatkan, dimatikan. Aku serupa  
para pemuja kesetiaan lain, tak kuasa untuk berdamai
Sekemirung, 3 Mei 2016

Perjalanan
Di Jakarta, dalam gemerlap keringat  
Sebuah alamat lumer dalam adonan pepat
Tak terurai hanya dengan niat
Seorang tua terseok, merasa diri jauh tersesat

Meniti laju bus trans dari halte ke halte
Juga menyuruk tangga jembatan penyeberangan
Jalanan menjelajah alur mengalir jiwa lemah
Kaki ini mendaki, lengan ini melambai lunglai

Gerimis memaksa langkah makin gegas
Palmerah, Slipi, Komdak lalu ke timur kota
Tol padat dengan rumah-rumah mewah beroda
Arus enggan susut jikapun kemarau lepas

Di Jakarta, hari tak pernah usai
Banyak lelakon baru permulaan, kemanusiaan
 Jaring kusut, jerat
Di sisa usia pergumulan masih juga rahasia
Cikarang, 7 Oktober 2016

Keretaku
Naiklah gegas ke dalam keretaku
kereta azimat yang melaju meninggalkan debu  
kita akan melesat
menyusuri tepian padang, tumpukan pasir lembut  
juga angin yang mengelus punggung
mengulur khayal sepanjang waktu
cepat naiklah ke dalam keretaku
kereta kuda besi yang meluncur sesaat beku

Kini semua berebut tahta
sedangkan setapak entah dimana
kita berjalan ke semua arah
sambil memacu nafas, dengus yang lepas
hingga suatu masa
tak ada lagi yang tidak terurai di padang luas
di sana keakuan kita dilucuti
teriris kerat demi kerat untuk rugi

Hari yang memberat  
seperti dikubangi racun cinta sesaat
pada pohon-pohon merakit biji suara
bersua geram makin padat  
pada lautan yang dibingkai di tepinya
mayat-mayat menepi  
semua gagal tembusi pasrah
retak terpanggang siang kereta pun terbang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun