Puisi dan Subyektivitas PenyairÂ
Puisi semestinya bertutur tentang sesuatu yang lebih berarti, bukan sekedar kata-kata tanpa isi. Tetapi juga perilaku, bahkan laku atau amalan tentang harapan pada kebaikan. Puisi setidaknya tulisan yang coba diwujudkan sedemikian sehingga kompak antara isi dan diksi. Mudah dicerna namun tidak kehilangan keindahan dalam rangkaian kata-katanya. Tentu di sana ada subyektivitas penyair, dan sebaliknya pada saat yang lain terbuka terhadap subyektivitas pembaca untuk menafsirkannya.Â
Mengenai isi dan makna disebaliknya baru saya sadari kini, belasan tahun setelah puisi itu sendiri terangkai. Maka dengan subyektivitas pula saya coba menemukan isi puisi-puisi saya yang bertutur tentang lapar, hidayah, dan kehidupan.Â
Lapar, Sabar
Soal lapar itu bukan semata bagaimana memenuhi kebutuhan tubuh, tetapi juga mengenai ibadah yang bernama puasa atau shaum. Shaum Ramadhan ditengah semangat beribadah yang terlihat riuh diantara sesama muslim/muslimah bukan hal yang sulit. Namun shaum lain, semisal shaum enam hari bulan Syawal, shaum tiga hari pada pertengahan bulan kalender Komariah, dan shaum Senin-Kamis; terasa berat dan sulit. Itu yang saya rasakan ketika masih didera rutinitas pekerjaan kantor dulu. Padahal semua itu ternyata karena lemahnya niat dan tekad serta kecilnya kemauan untuk menjalani.Â
Dulu –belasan tahun lalu- saya tuliskan soal lapar itu dalam larik puisi, dan baru satu setengah tahun terakhir ini saya mampu mengamalkannya.
----
Rasakan Lapar
Kalau pernah kau rasakan lapar, sebenarnya
bukan lapar benar yang menuntunmu