Rasanya baru sekejap aku terlelap dalam tidur setelah sholat tahajud tadi. Aku sudah terbangun lagi. Dari jendela kaca yang tak bergorden tampak gelap di luar, namun beberapa bintang berkedip dalam keluasan langit malam. Udara dingin, dan suasana senyap.
Biasanya aku memang terus pergi ke kamar mandi, bersiap untuk menyongsong sholat subuh berjamaah. Tapi rasa penat membuatku kembali terbujur di bale-bale kayu untuk tidur beberapa saat saja.
Hari ini adalah hari terakhirku menunggu rumah besar ini. Menunggui, membersihkan, dan memelihara dengan rapi dan bersih sepanjang hari. Membantu keperluan anak-anak mengaji dan kegiatan madrasah. Bahkan juga menjaga dan memelihara masjid dari tangan-tangan jahil dan pencuri. Aku sudah menganggapnya sebagai rumahku sendiri. Ya, rumah besar ini tak lain adalah sebuah masjid. Dan aku marbot –atau si penjaga masjid- Al Hidayah ini, yang hampir tiga puluh tahun setia memeliharanya.
Perasaan kehilangan tiba-tiba menyergap. Aku harus segera pulang ke kampung halaman sebagai orang asing di sana. Seorang penjaga masjid yang baru akan datang menggantikanku. Pasti penggantiku muda, gesit dan hafal al Qur’an, serta bersuara indah untuk melantunkan adzan.
Kemarin siang Pak Haji Marlan memanggilku. Itu dilakukannya setelah menjadi imam sholat Ashar. Ia duduk di pojok belakang ruangan masjid. Wajahnya sumringah seperti setiap kali. Aku menyalaminya dengan takzim. Dan beliau mempersilahkanku duduk di sampingnya. Jamaah mulai meninggalkan masjid setelah sholat. Namun ada beberapa orang yang masih sholat dan berzikir.
“Assalamu’alaikum, Pak Muhrowi. Saya perlu menyampaikan hal penting seperti yang sudah beberapa kali saya utarakan. . . . . . ,” ucap Pak Haji Marlan setengah berbisik sambil mengulurkan tangannya untuk kujabat.
Ia memandangiku dengan begitu ramah sehingga membuatku sangat canggung. Selama ini Pak Haji dikenal tegas dan getas dalam berbicara. Syariat dan ketentuan agama ditegakkannya dengan sangat disiplin. Dialah pembuat dan pemberi tanah wakaf masjid besar ini. Tentu semua jamaah tahu belaka, dan sangat hormat padanya.
“Waalaikumsalam, Pak Haji. Maaf, ada yang perlu saya lakukan sekarang. . . . .?” tanya saya menunggu-nunggu apa yang akan diperintahkannya padaku.
Pak Haji Marlan tidak segera menjawab. Tiba-tiba wajahnya menampakan kegelisahan dan rasa kurang nyaman. Senyumnya seketika hilang. “Ada kabar yang menggembirakan, namun mungkin sekaligus juga menyedihkan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya!” ujar Pak Haji seperti berteka-teki, dan tidak segera menjelaskan duduk persoalan yang akan dibicarakannya.
“Tentang apa ini, Pak Haji. . . . .?”
“Tentang Pak Muhrowi sendiri, siapa lagi?”