PAGI mekar indah, alangkah hangat dan renyah. Kilau sorot mentari berpendar-pendar di daun, rumput, titik embun, dan bahkan pada kabut tipis yang segera meruap. Di kejauhan para pemetik teh, kaum ibu dan beberapa orang gadis, dengan ditunggui seorang mandor, memulai kerja keras mereka. Warna-warni anyaman bambu sebagai tutup kepala dan pakaian panjang tebal, dengan selapis plastik sebagai mantel, menghiasi lereng itu.
Di kawasan perumahan para pekerja kebun teh, Sunar tercenung, dan kembali pada pemikiran yang dalam. Ia melangkah gagah sambil menuntun sepeda di depan gerbang Sekolah Dasar Negeri tempatnya mengajar. Topi panan lebar menutupi wajahnya dari pancaran sinar matahari pagi. ”Pagi ini alangkah hangat dan renyah!” gumamnya lirih.
Lelaki kurus, dengan tinggi sekitar seratus lima puluh sentimeter itu, sebulan lagi akan pensiun. Mengabdi sebagai guru dijalaninya hampir empat puluh tahun. Selama itu pula ia rajin menjadi guru ngaji. Bagi Sunar, semua dirasa tak pernah direncanakan. Sebenarnya dulu, dulu sekali, ia minggat, atau lebih tepatnya menghilangkan diri dari kota kelahirannya. Ia pergi dari keramaian kota sekitar 160 kilometer dari tempatnya berdiri kini.
Kenangan itu seperti tiba-tiba saja mengerubuti benaknya. Masih di depan gerbang, saat jam pelajaran pertama seharusnya dimulai, ia terkenang pada Ramlia, seorang gadis cantik di masa lalu.
”Aku sudah punya pacar. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi!” gadis itu berkata ketus nyaris kasar. Sesuatu yang sama sekali tidak diduga oleh Sunar muda. Ia tampak sekali terlalu berharap. Padahal ia tidak punya modal apapun. Ketampanan, kekayaan, atau kecerdasan otak untuk menggapai kegemilangan masa depan; ia tak punya. Bahkan ia pun tidak mempersiapkan satu siasat pun. Karuan saja gadis populer itu tidak mengacuhkannya. Sunar sangat menyesal menuruti anjuran busuk teman-temannya.
”Menjauhlah dariku sebelum bapakku mengusirmu!”” Gadis itu membelalak dengan matanya yang hitam bulat, dagu mendongak, dan rambut tergerai dipermainkan angin sore.
Ramlia, gadis yang populer dan jadi rebutan pemuda kaya, dengan gayanya itu, tegas menolak. Tidak ada kemesraan seperti dibayangkannya setiap kali. Tidak ada sekedar senyum. Dan Sunar melangkah lungai tanpa mau menoleh lagi. Ia tidak tahu perasaan rremuk bagaimana memenuhi rongga dadanya. Itulah kali ke empat ia ditolak oleh gadis yang ditaksirnya.
KISAH mata-buta Sunar celaknya menjadi bahan olok-olok, jadi gosip murah. Bahkan jadi bahan tertawaan sesama teman. Meski ada pula yang bersimpati dan coba membantu sekuat tenaga untuk menjadikannya Arjuna tulen. Sebagian yang lain justru menjerumuskan pada pikiran kotor, ngawur, dan nakal!
Seorang teman kuliah, Nurabid, yang dikenal alim menasehati Sunar. ”Kebahagiaan orang berpacaran itu hanya fatamorgana. Hanya kepura-puraan dan semu. Dalam ajaran agama kita pun tidak dikenal cara pergaulan itu. Kalau kau merasa sudah siap putuskan untuk menikah saja!-
Sunar terduduk di bangku taman kampus. Nasehat itu tidak salah, salahnya ia tidak berani melakoninya.
-Buatlah kesiapan matang, lalu nikah? Nafkah datang dari kerja apapun! Setidaknya jangan menggantungkan diri pada orang tua. Aku sendiri sudah menjalaninya, karena itu aku berani menasehatimu!” sambung Nurabid.
Terbakar oleh nasehat Nurabid, Sunar muda sejak itu rajin bercermin. Ia membeli cermin besar untuk mematut-matut diri. Namun tetap saja, tidak ada gadis yang cukup bangga sekedar berdampingan dengan Sunar, meski mereka belum menjadi pacar.
Itulah sebabnya Sunar memutuskan dengan bulat hati untuk pergi. Pada suatu malam yang pekat, yang sepi, yang dingin, dalam kesendiriannya.
-Nasehatmu baik, tapi tidak untuk semua orang, dan aku tidak cocok untuk nasehat itu. Sekedar tidak cocok, bukan salah. Aku berterimakasih kamu memberiku motivasi. Aku pamit pergi, , , ,!- ujar Sunar beberapa minggu kemudian dengan mata menerawang jauh.
-Tapi setidaknya selesaikan dulu kuliahmu!- tambah Nurabid.
Sunar hanya tertawa, tidak menjawab. Hari itu ia berpamitan kepada Umi dan Abahnya. Dengan surat keterangan pernah kuliah di Institut Pendidikan ia merasa sanggup untuk menjadi guru SD. Ya, ia pamit untuk menjadi guru di tempat yang jauh.
”Jodoh itu Allah yang mengatur, Nak. Jadi alangkah bodoh dan memalukan merasa patah karena ditolak seorang gadis. Alangkah rapuh dengan begitu mudah berputus-asa dan menyerah!- ujar Umi dengan air mata berderai-derai. -Pergi menjadi guru di tempat terpencil, kami tidak melarang. Tapi kalau alasan sepele itu penyebabnya, kamu harus berpikir ulang. . . . .!”
”Perbaiki niatmu. Dan sebaik-baik alasan tak lain untuk amaliah dan ibadah. . . .!” sambung Abah dengan suara tenang dan sejuk.
Kepergian Sunar tidak bisa dicegah. Ia menggelandang, dan seperti nasehat Abah dan Uminya, Sunar memperbaiki niat.
Setelah beberapa tahun mencari kesempatan, akhirnya Sunar bisa menjadi guru sekolah dasar di tempat yang terpencil. Ia beberapa kali pindah sekolah sesuai dengan penugasan. Dan terakhir kali ia dipindahkan di lereng pegunungan, dekat perkebunan teh ini.
SUATU pagi, empat puluh tahun kemudian, di depan kelas seorang bocah kelas tiga pindahan dari kota memperkenalkan diri. Ia cerdas bercerita tentang keluarganya. Pak Sunar tidak perlu bertanya siapa dia. Danan yang superaktif itu diketahuinya anak Pak Jaya, administratur perkebunan ini. Sebenarnya siswa lain pun sudah tahu. Di desa kecil itu ibarat jarum jatuhpun terdengar sampai jauh..
”Nama saya Danan, lengkapnya Danan Budi Satria. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik saya namanya Dania dan Ramlia. Nama adik bungsu saya itu persis sama dengan nama nenek saya. . . . . .!”
Deg! Pak Sunar terkesiap mendengar nama Ramlia disebut. Tapi ia menduga-duga tentulah itu nama orang lain. Sekedar nama, banyak nama orang yang sama. Sampai suatu pagi, saat dengan sepeda tuanya ia bergegas menuju sekolah, seorang perempuan tua melempar senyum selintas. Dan kagetlah Pak Sunar mendapati perempuan itu seperti pernah dikenalnya. Ia meneruskan kayuhan sepedanya, sebab yakin perempuan itu bukan Ramlia. Dan kalaupun Ramlia tak mungkin masih mengenalinya.
Pagi berikutnya nenek itu sengaja mencegat di jalan, dan menitipkan sekotak roti isi coklat dan keju untuk Pak Kepala Sekolah. Dengan sikap sangat santun, nenek yang masih langsing dan menampakkan sisa-sisa kecantikan itu berkata. ”Biarlah beliau sarapan sebelum mengajar. Saya dengar dari Danan, cucu saya, ia menjadi bujang lapuk, dan tetap bertahan karena pernah patah hati?”
”Terimakasih. Nanti saya sampaikan kepada Pak Kepala Sekolah. Saya kenal baik beliau, saya tukang kebunnya. . . . .!” ucap Pak Sunar dengan suara ditekan dan terus menunduk di balik topi pandannya. Sadar ia, kini pun ia tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Pada masa muda setidaknya masih ada kenekatan. Kini tak lagi bersisa apapun, apalagi berhadapan dengan ibunda Pak Jaya, ’the big bos’ yang sangat kaya, pintar dan berwibawa itu. Ia makin ciut saja untuk mampu menutupi gejolak hati.
Pagi pada minggu berikutnya perempuan tua itu kembali mencegat. Kali ini menitipkan beberapa butir apel merah untuk Pak Kepala Sekolah. Di ruang guru ketika plastik buah itu dibuka ditemukan secarik kertas kecil bertuliskan sebuah pertanyaan : ”Adakah kata terlambat untuk sekedar meminta maaf?”
”Maaf? Untuk apa?” gumam Pak Sunar sendirian. Ia menduga, agaknya Danan sudah terlalu banyak bercerita kepada neneknya. Tentu saja bercerita tentang apa saja kejadian di sekolah barunya, termasuk juga tentang kepala sekolah dan lima orang guru lain yang seharian mengelola sekolah dasar itu.
Pak Sunar semakin yakin nenek itu tak lain adalah Ramlia. Gayanya berjalan, senyuman, tatapan, dan juga pilihan kata-kata yang diucapkannya. Betapa ia hafal kenangan masa lalu itu. Dibacanya lanjutan tulisan itu: ”Sejujurnya empat puluh tahun tahun saya menyesali keisengan itu. Saya menyesal telah mempermainkan perasaan seseorang yang terlalu berharap! Saya jadi merasa sangat bersalah sejak itu. Rumah tangga saya kandas hanya dua tahun setelah Jaya, anak saya satu-satunya, lahir!”
Samar tapi semakin nyata ada desir halus yang kembali menggayuti perasaan Pak Sunar. Perasaan rapuh yang sudah jauh ditimbun dalam kenangan getir masa silam.
DI KEJAUHAN para pemetik teh, kaum ibu dan beberapa gadis, dengan ditunggui seorang mandor, masih memanen pucuk-pucuk teh. Warna-warni anyaman bambu sebagai tutup kepala dan pakaian panjang tebal, dengan lapisan plastik menyerupai mantel hujan, begitu meriah oleh sorot matahari yang semakin terik saja. Pak Sunar tersenyum sekilas. Tiba-tiba ia ingat petuah Abahnya kala keputusan itu ia buat. ”Jangan ada sesuatu pun kecuali untuk alasan amaliah dan ibadah. . . . . .!”
Maka itulah pagi terakhir ia menjadi kepala sekolah di SD yang berlokasi di perumahan para pekerja pabrik teh terpencil itu. Pak Sunar tak ingin membuat hati siapapun merasa bersalah. Maka ia pergi begitu saja. Melepas semua atribut sebagai guru dan kepala sekolah, mengayuh sepeda tuanya di jalan setapak melingkar dari jalan yang biasa dilaluinya melewati kerumunan pemetik teh, melambaikan tangan, tersenyum. . . .!
NUN di ujung bukit sana, beberapa kilometer yang dilaluinya dengan sepeda butut, Pak Sunar disambut belasan santri. Selama menjadi guru, agaknya beberapa tahun ia menjadi santri di Pondok Pesantren. Kemudian ia menjadi guru ngaji pada sebuah pondok pesantren kecil. Santrinya tidak banyak, namun lumayan maju. Salah satu santrinya, seorang gadis sederhana yang terlambat nikah, tidak menolak pinangan Pak Kyai.
”Hari ini aku sudah pensiun. Dan seperti janjiku, setelah pensiun aku akan membina rumah-tangga mengikuti sunah nabi. . . . .!” ucap Pak Sunar sambil berjalan tertatih-tatih menuntun sepedanya menuju pesantren, yang terdiri atas beberapa rumah desa.
Di depan rumah itu, ketika kerumunan santri menyibak, betapa kaget Pak Sunar mendapati siapa yang ada di hadapannya. Pak Jaya dengan ibunya, Ramlia, sudah ada di situ.
”Pak Jaya. . . . .?” sambut Pak Sunar dengan terkejut.
”Pak Sunar. . . .! Sudah lama saya ingin menengok rumah Pak Sunar. Selain Kepala Sekolah, agaknya bapak juga seorang guru ngaji. Ohya, saya mengajak ibu saya ini karena ingin mengenal lebih dekat dengan Pak Sunar. . . . . .!” ucap Pak Jaya.
Pak Sunar dan Ramlia bersitatap sangat cepat, lalu saling menunduk. Dengan tangan kaku Pak Sunar menjabat tangan Ramlia. Mestinya tidak ada perasaan apa-apa di dasar hati Pak Sunar. Entah di hati Ramlia. Tapi sungguh, Pak Sunar bersikeras menepis semua perasaan itu!
Pak Sunar memperkenalkan calon mempelai wanita, lalu calon besannya yang siap menjadi wali nikah dan dua orang saksi. Ijab kabul pun berlangsung cepat dan sederhana. Wali nikah memberi nasehat perkawinan yang sudah dihafal betul isinya oleh Pak Sunar. Sebab selama ini di desa itu Pak Sunarlah yang selalu memberi nasehat perkawinan.
Tidak ada pesta, tidak ada hidangan yang berlebihan, kecuali sekedar makan siang yang sederhana. Pak Sunar menekan perasaan untuk tidak menyakiti hati Ramlia sebagai balas dendam. Sebaliknya nenek cantik itu tersenyum sambil menahan genangan cair yang mengaca di pelupuk.
Pagi yang teramat hangat dan renyah bagi Pak Sunar, betapa bila Umi dan Abahnya masih ada. Tapi tidak untuk Ramlia!
Bandung, Juni ’08 - Sept. ’14
Baca juga cerpen terdahulu:
1.Nyanyian di Balik Jeruji
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/09/nyanyian-di-balik-jeruji-686745.html
2.Dunia Para Kanibal
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/02/dunia-para-kanibal-cerpen-1-684966.html
3.Orang-orang yang Menyerah
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/05/orang-orang-yang-menyerah-685639.html
4.Pembawa Kabar Kematian
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/09/03/pembawa-kabar-kematian-cerpen-2-685318.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H