Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Orang-orang yang Menyerah

5 September 2014   08:12 Diperbarui: 20 April 2017   00:21 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409854195503290425

[caption id="attachment_357321" align="aligncenter" width="560" caption="sumber  dari jibran staff.ipd.ac.id"][/caption]

LELAKI muda itu coba berdiri, dan belum tegak benar ketika kembali terhuyung, lalu berdebam terbanting. Seketika ia coba merayap dan terus bergerak. Beberapa detik berdiri lalu jatuh, seperti bola pantul, akhirnya meringkuk, tanda menyerah. Pukulan, tendangan, hajaran, bertubi-tubi seperti tanda henti. Tidak ada kesempatan meloloskan diri. Memar dan luka sekujur, tulang dirasa patah-patah.

Inilah akhir pelariannya menjelang subuh. Semalaman ia menunggu untuk memindahkan sebuah pesawat tv,  memindahkannya ke rumah. Tapi ia lupa malam itu ada pertandingan sepakbola La Liga Spanyol hingga larut. Maka kesempatan mencuri hanya beberapa belas menit menjelang subuh. Dan celaka, semuanya sudah terlanjur terjadi.

Ia nekat, dan tepergok! Maka di desa kecil pinggir hutan karet itu ia jadi buron. Pontang-panting ia menyelamatkan nyawa, dan hanya lari yang dapat dilakukan, hingga jarak yang cukup jauh sebelum nafasnya habis! Pagi rekah. Matahari menebar senyum dari balik bukit perkebunan teh sana!

Pada saat itu serombongan penjudi menuruni jalan setapak untuk pulang. Jalan mereka terantuk-antuk. Ada memang yang setengah mabuk. Tak pelak pelarian itu tertangkap tangan tanpa sengaja. Sebuah pesawat televisi 21 inci merek tidak terkenal yang dipanggulnya dengan langkah tergesa, tidak memberinya dalih apa pun kecuali tuduhan maling!

Para penjudi berteriak-teriak kegirangan. Si maling berteriak kesakitan. Kepal tangan, tendangan kaki, dan gocoh pentungan kayu menggebah tubuh yang kian ringkih.

“Kenapa maling? Jawab, kenapa?” gertak si tubuh gempal merangsek dengan tinjunya.

”Maling untuk mabuk-mabukan, ya? Untuk main perempuan dan makan enak sendiri? Atau untuk beli ganja dan sabu?” si ceking melabrak, padahal dia sendiri yang dari tadi sempoyongan karena mabuk.

Meski untuk sekedar menganiaya mereka kelelahan. Maklum sejak kemarin malam mereka melewatkan jam tidur! Beberapa menit kemudian kembali tangan, kaki, pentungan dan apa saja seperti menggertak mencari sasaran masing-masing.

”Kami ini memang penjudi, tapi tidak pernah mencuri, tidak pernah maling!Meski harta benda kami ludes di meja judi, kami tidak mau menghina-dinakan diri menjadi maling. . . . . !”

”Ampun, pak. . . . . . .!”

”Apa pun jawaban yang kamu berikan pasti bohong. Sudahlah maling, bohong lagi. Pasti sejak kecil kamu sudah terbiasa maling. Bapak-ibumu pasti juga maling, keluarga besarmu pun pasti maling. . . . .!”

HARI bergeser lamban ke siang, jam setengah tujuh, dan makin banyak saja orang yang datang. Tapi anehnya mereka tidak ikut-ikutan meninju, menendang, dan memukul dengan pentungan. Dua puluh atau tiga puluh orang warga kampung setempat berdesakan di situ. Mereka, para bapak, para ibu, pemuda dan anak-anak hanya melihat dengan tercengang-cengang.

Ada yang heran, ada juga yang sedih. Ada haru, tapi juga sebal. Atau entah perasaan lain apa yang menyelinap di lubuk hati mereka. Mereka hanya tahu seorang maling dihajar oleh tujuh orang dari desa sebelah. Ya, mereka hanya melihat. Tidak ikut menganiaya, tidak ikut mengejek dan mencemoh si maling. Tidak ikut-ikutan marah dan menjadi kalap.

Maka tujuh penjudi itu seketika menghentikan aksinya dengan terheran-heran. Takjub luar biasa mereka! Rasa keheranan itu tertumpah kepada warga kampung setempat.

”Kenapa kalian tidak ikut meninju?” tanya penjudi tertua.

”Apa kalian kenal dengan maling ini hingga tidak ikut menendang?” tanya penjudi terpendek.

”Atau mungkin kalian masih bersaudara? Atau takut? Jangan-jangan kalianlah penadah hasil curian orang ini? Kenapa kalian tidak mau ikut memukul dengan pentungan?” tanya penjudi yang selalu kalah, tapi masih saja berjudi hingga tega menjual istri sendiri.

Warga desa itu hanya menggeleng, dan menggeleng lebih keras. Kini para penjudi berhadapan dengan puluhan warga kampung. Akhirnya para penjudi itu was-was juga. Mereka khawatir, jangan-jangan kini justru merekalah yang bakal ganti jadi pesakitan.

Seorang bapak setengah umur, Ustad Rosid, menyeruak maju sambil berkata: ”Nah, sekarang beri kesempatan kami ganti bertanya. Untuk apa kalian beramai-ramai meninju, menendang, dan memukul terus-menerus seperti kalian tak pernah berbuat khilaf? Untuk apa? Kalian ini sendiri sebenarnya siapa? Kenapa ada yang sempoyongan seperti orang mabuk? Coba salah satu dari kalian yang masih waras menjawab!”

Diam, sunyi, tidak ada jawaban. Para penjudi tertunduk. Mereka bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Tidak tahu pertanyaan itu untuk apa, hendak menggiring mereka ke mana.

”Nah, benar ’kan? Kalian semua tidak lebih dari orang-orang bodoh bin dungu. Perbuatan kalian menyakiti secara fisik. Tapi sekarang lihatlah makhluk Tuhan yang kalian jadikan sekedar obyek kekerasan ini. Lihatlah dengan mata jernih, dengan jiwa dan nurani terdalam. Apakah ia masih memiliki rasa sakit jika penganiayaan masih diteruskan?”

Para penjudi tetap bergeming. Matahari sepenggalah, demikian cepat menyorot tajam di punggung bukit itu. Dan warga desa itu satu demi satu meninggalkan tempat itu. Meeka bergegas untuk bekerja, berjualan, ada yang bersekolah, dan beberapa orang ibu rumah tangga.

Pak Ustad Rosid memanggil beberapa pemuda dan membagi tugas. Sepuluh orang menjaga tujuh penjudi supaya tidak lari, dan dua orang memanggil polisi. ”Perkembangan kondisi maling menjadi tanggung jawab ketujuh penjudi itu!” ujar Ustad Rosid.

PAK USTAD ROSID mengurus si maling dengan hati-hati. Agak lama pesakitan itu siuman dari pingsan. Lalu diberi air minum, disuapi bubur. Dibantu beberapa orang yang lewat, Pak Ustad Rosid membawa lelaki malang itu ke Puskesmas terdekat.

”Apa tidak ada jalan lain yang mesti kau tempuh selain dengan menjadi maling?” tanya Pak Ustad dengan hati-hati. Suaranya lembut, teduh, dan bersungguh-sungguh. ”Mestinya ada cara lain untuk mengatasi seberat apa pun persoalanmu!” tambah Pak Ustad.

Si maling tidak menjawab. Hanya mata di balik wajah yang bengkak, lebam dan memar itu setetes demi setetes air mengalir di pipi. Bercampur dengan darah merah. Dan nafasnya mulai sesak. Pak Ustadmenyuruh kusir delman untuk memperlaju lari si kuda. Puskesmas masih di ujung jalan aspal sana, dua kilometer lagi.

DI RUMAH reyot di ujung desa itu Suli menunggu. Ia harus membayaruang seragam, buku-buku pelajaran, les mata pelajaran, dan entah apa lagi yang dijanjikannya hari ini. Semalaman kakaknya Mardiyo sudah berjanji untuk mencarikan utang. Seratus tujuh puluh lima ribu rupiah saja. Tidak besar. Tapi utang kepada siapa? Tagihan utang dari sana- sini pun belum terbayar! Bingung!

Suli kelas tiga SMP. Bapak-ibunya meninggal waktu ia masih SD. Tidak ada peninggalan apa pun dari mereka kecuali kemiskinan.

Dan mobil mini bus itu sudah menunggu di dekat pasar desa. Seorang wanita muda dengan dandanan menor, mengaku bernama Neng Firda, sejak pagi menunggu jawaban Suli. Sudah beberapa minggu terakhir si wanita muda itu mengalihkan daerah operasinya ke desa itu. Ia mencari perempuan muda, bisa gadis atau janda, asalkan berpenampilan menarik. Dan janjinya tidak berubah: gaji besar, bonus berlimpah, masa depan cerah dan hidup enak

”Lihatlah di desa sebelah. Tidak ada lagi rumah yang kumuh dan jelek. Para perempuan di desa sana tidak segan menuju ke kota untuk bekerja keras. . . .!”

”Biarlah saya menyelesaikan SMP dulu!” jawab Suli mencoba untuk menghindar tadi pagi.

Suli berpikir keras, dan meminta Neng Firda untuk menunggu di kejauhan saja. Ia hendak berkemas. Maka sekali lagi ia ingat kata-kata Mardiyo: ”Aku rela mati untuk membantumu. Kamu harus bisa bayar uang seragam, buku pelajaran, les mata pelajaran, dan semua biaya yang kamu perlukan. Aku dulu berjanji kepada bapak-ibu untuk membiayaimu paling tidak sampai lulus SMP!”

Dalam pandangan Suli yang nanar, sementara hari makin siang saja, seutas tali berkelebat di pelupuk matanya. Tali plastik usang dua-tiga meter milik kakaknya untuk mengikat barang-barang rongsok. Dengan seutas tali itu ia menemukan jalan lain yang dirasakan sangat pas untuk nasibnya.

Maka cepat ia mencari sesobek kertas. Ada pensil tumpul, dan menulisdengan air mata menetes deras: ”Mas Mardiyo, biarlah aku pasrah untuk pergi membawa nasibku. Daripada terus-terusan merepoti Mas. Aku sungguh minta maaf. Aku pamit untuk pergi saja! Doakan aku, Mas! Wassalam. Adikmu Suli.”

SUARA bedug di mesjid kampung terdengar menjelang sholat dhuhur. Siang terik memanggang. Suasana itu mengiringi perjalanan Pak Ustad Rosid, dari jalan setapak berkelok-kelok, di antara rumah-rumah kumuh, lewat kebun dan sungai kecil, kemudian muncul di depan pintu rumah reyot itu. Beberapa orang dari desa setempat menjadi penunjuk jalan.

Beberapa orang yang mengantar jenazah itu dengan mudah masuk ke dalam rumah. Pintu depan tidak dikunci. Mereka mendapati meja-kursi-almari kusam, secarik kertas, dan sebuah tali yang sudah dililitkan di kayu lapuk yang melintang rendah di dapur. Tidak ada siapa pun. Beberapa menit lalu Suli menyelinap naik mini bus berkaca gelap, berdesakan bersama belasan gadis lain Mereka bergegas meninggalkan desa untuk memburu nasib baik di kota!

Cibaduyut, Des 2007 – Sept. 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun