Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyanyian di Balik Jeruji

10 September 2014   05:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:08 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku lahir di negeri sulap . . . .negeri sulap//  Aku besar di republik sulap. . . . . republik sulap // Negerinya pakar pesulap, suka menyulap apa saja // Dari gak ada hingga di ada-ada, dari yang ada hingga tiada-1)

Nyanyian itu mengalun dengan suara parau, serak, dan sama sekali tidak ada merdunya. Telinga yang mendengarnya pasti merasakan ketidak-nyamanan, jangankan terlena, suara itu justru seperti menendang-nendang gendang telinga dengan sadis. Hingga tengah malam suara nyanyian terus meninggi, merendah, menggertak, lalu mengancam. Tak henti. Sampai Bripda Pambudi menggebrak pintu besi kamar tahanan, maka seketika bungkam.

“Berisik! Mana sumbang, jelek, bikin rusak telinga. Kau pikir hanya kamu yang harus melupakan kesedihan dengan bernyanyi? Nyanyianmu membuat orang lain sakit kepala, tahu!”

Rokmini yang ada di balik jeruji ditangkap semalam karena mejeng di depan toko bahan bangunan Jalan Simpang, dekat dengan kelab malam yang ramai oleh pengunjung. Mungkin nama aslinya Rukmini, tapi untuk menyesuaikan dengan pekerjaannya menjadi Rokmini. Tentu saja ia tidak bisa masuk ke dalam ruang keramaian berbau alkohol karena umurnya tidak muda  lagi. Ia berdiri di situ mencari sisa-sisa lelaki yang berdompet tipis. Tapi celaka, polisi justru yang menyeretnya, dan melemparkannya ke balik jeruji.

“Maafkan saya, Pak Polisi. Tapi saya sungguh tidak bisa tenang karena dimasukkan dalam jeruji disatukan dengan dua maling ayam. Apa tidak ada yang lebih terhormat sedikit, misalnya dengan seorang koruptor? Saya menyanyi ini justru untuk membela diri dari ancaman sekapan mereka. . . . . .!” teriak Rokmini dengan sengit sambil memukul-mukul tembok dengan kepalan tangannya hingga berdarah.

Bripda Pambudi tersenyum saja, ringan, disambut Briptu Mastoto dengan seringai. Mereka senang mengganggu agar tidak jatuh tertidur, dan sebenarnya justru senang kalau ada yang bikin gaduh.

“Sebenarnya siapa yang terpenjara, mereka atau kita?” tanya Briptu Mastoto dengan perasaan risau.

Makin banyak saja pencurian akhir-akhir ini, padahal yang dicuri barang-barang tak seberapa berharga. Masalah kecil saja bisa berujung pada tawuran jika tidak didamaikan. Sementara di luar sana para koruptor terus merancang strategi paling canggih untuk membobol uang Negara untuk memupuk kekayaan diri sendiri dan sanak-kerabat mereka.

Tapi untuk polisi dengan pangkat rendahan apalah yang bisa dilakukan? Mau bertindak jujur saja sulitnya minta ampun. Briptu Mastoto membaca headline sebuah koran tua yang dijadikan alas di balik kaca meja penjagaan: selama semester pertama pada tahun 2012 - 2013 sebanyak 143 koruptor divonis bebas-2)

Ahya, begitu hebatnya negeri ini sehingga siapapun tidak perlu dihukum kecuali yang miskin, yang tidak mampu membeli pasal, dan yang tidak bisa berpura-pura berbuat baik. . . .!” gumam Bripda Pambudi seolah kepada dirinya sendiri.

“Kamu tahu apa tentang hukum?” sahut Briptu Mastoto setengah mencibir. “Tapi kukira benar apa yang kamu katakan. Kamu pernah dengar seorang nenek pencuri tiga buah kakao yang dihukum satu setengah bulan penjara?”

*****

Nenek Darsih, panggil saja begitu, enam puluh tahun lebih umurnya. Perempuan renta dan tidak berpendidikan itu tinggal di dusun terpencil, hidup dari bertani dan tidak memerlukan pendidikan apapun untuk menyambung nyawa.

Kemiskinan tidak memungkinkan si nenek, meski turun-temurun sebagai petani, memiliki tanah. Maka warga Kecamatan Ajibarang, Banyumas itu-3)  dengan seizin perkebunan bertanam palawija disela tanaman pokok perkebunan, yaitu kakao.

Panas terik suatu hari, ketika ia memanen lading kedelainya. Keringat menetes deras di kening dan sekujur tubuh. Beruntung di sekitar sini memang rimbun dengan pohon kakao. Ia beteduh di bawah salah satu pohon dengan tiga buah menggantung matang kecoklatan.

“Bagus kalau aku mengambil buah kakao untuk benih. Perusahaan toh tidak rugi dengan tiga buah kakao saja. . . . .!” pikir nenek Darsih dengan polos. Dipetiknya buah kakao dengan hati-hati, sampai tiga buah, dan di letakan di dekat tangkal pohon.

Sejenak beristirahat, nenek Darsih kembali bekerja memanen kedelai. Namun sesaat kemudian seorang petugas perkebunan datang mendekat, dan mendapati tiga buah kakao yang tergeletak di tanah.

Sebagai pegawai yang digaji untuk mengawasi keamaan kebun Sukidi tidak bisa lain kecuali bersikap tegas. Puluhan atau bahkan ratusan petani berladang di sekitar kebun. Kalau tiap petani mengambil tiga kakao berapa kerugian pabrik? Maka meski dengan perasaan tidak enak, ia dekati nenek Darsih untuk menyampaikan hal penting.

“Nenek yang mengambil tiga buah kakao, ya? Apa nenek tidak menyadari apa yang dilakukan? Mencuri tiga buah, atau tiga truk sama saja sebutannya, sama-sama maling. Jadi nenek bersalah!”

Melalui proses cukup panjang, akhirnya nenek Darsih memang dinyatakan bersalah, dan menjadi penghuni ruangan berjeruji besi selama satu setengah bulan di kantor Polsek setempat. Tiap malam nenek Darsih hanya bisa menembang, nyanyian dengan bahasa Jawa yang mengisahkan tentang kemurungan dan kesedihan. Para pesakitan lain merinding mendengarkan suara itu, juga para penjaga malam.

Semua menjadi terlelap oleh udara dingin mengigilkan, juga kesenyapan yang beraroma misteri. Sampai suatu malam Sukidi datang ke kantor polisi dengan wajah pucat pasi. “Biarlah saya menggantikan nenek Darsih di balik jeruji besi. Saya tidak kuat lagi diganggu mahluk apa entah, tapi mereka selalu datang dalam mimpi menyerupai wujud nenek itu!”

Kepala Jaga hanya tertawa, tidak mau menghiraukan. “Kamu yang membuat nenek Darsih masuk penjara, tapi sekarang kamu menyesalinya? Apa kamu sudah tidak waras lagi?”

Sukidi dengan jengkel mengungkapkan perasaannya kepada Kepala Jaga. “Ya, Pak Polisi! Hukum manusia berarti manusia yang bikin hukum, atau bahkan ia yang menjalankan hukum. Apa di sini tidak ada peristiwa salah tangkap, salah tembak, atau bahkan ada rekayasa polisi untuk memenjarakan orang yang tidak bersalah?”

*****

Lelaki tiga puluhan, sebut saja Fatoni, pemilik beberapa petak kontrakan, dan memang mengandalkan hidup dari sana. Selain itu ia membuat sebuah warung kecil yang dikelola bersama isterinya Sustri yang baru tiga bulan dinikahinya. Wilayah Neglasari Tangerang itu-4) memang dikenal sebagai kawasan  rumah kontrakan dan indekos, karena bersebelahan dengan beberapa pabrik.

Seminggu lalu kontrakan nomor sebelas kosong, karena pengontrak mau pindah ke Jawa. Persaingan begitu ketat, karena makin banyak saja kontrakan dibuat orang. Jadilah seminggu belum terisi, ketika suatu petang dua orang pemuda mencari-cari kontrakan. Fatoni membayangkan uang lima ratus ribu rupiah sebulan dari kamar kontrakan yang kosong segera akan didapatkannya kembali.

“Malam ini kami pindah kemari, ada beberapa barang yang belum dibawa. Tapi nanti bayarnya, pertengahan bulan ya?” kata yang lebih tua. Dua lelaki itu menyebut diri Sobri dan Jamil.

Fatoni begitu gembira sampai lupa menanyakan kartu penduduk seperti lazimnya. Malam hari ketika mereka datang dengan beberapa barang bawaan, Fatoni memberikan kunci kamar. “Mudah-mudahan betah, ya!”

Dua pemuda itu membuka pintu rumah kontrakan, menyalakan lampu, masuk ke dalam lalu kembali menutup pintu dari dalam. Tidak ada sesuatu firasatpun bagi Fatoni bahwa pengontrak terakhir itu membuatnya harus terjerumus pada dinginnya kehidupan di balik jeruji besi.

Tiga hari setelah kamar kontrakan nomor sebelas berpenghuni, malam harinya beberapa polisi berpakaian preman datang. Mereka sigap menggeledah, dan menemukan beberapa kilogram ganja di dalam kamar itu. Fatoni menjadi tertuduh. Polisi bertindak beringas, dan tidak mau mendengarkan argumentasi Fatoni.

Lewat proses hukum, lika-liku yang tak mudah dan kadang sama sekali tidak dipahami, akhirnya ditemukan angka tujuh tahun penjara bagi Fatoni.

Sukidi mengakhiri kisah yang dibacanya berulang-ulang pada sebuah suratkabar. Ia melirik dengan kebencian yang amat sangat pada nasib yang mengharuskannya terjebak pada apa yang disebut hukum. Polisi di depannya seperti patung, Sukidi memupus, jangan-jangan polisi itupun menghadapi banyak kerumitan masalah hidup pula. . . .!

*****

Bripda Pambudi menyalakan lagi rokok kreteknya. Tinggal satu-satunya yang ada di dalam bungkusan.  Hari menjelang subuh. Dua kawannya yang jaga malam sudah pulas beberapa jam lalu. Lelaki bujangan itu masih bertahan semasa asap masih ngepul dari bibirnya yang sesekali menyunggingkan senyum. Pikirannya merayap entah kemana.

Sepi, bahkan pesawat televisi sudah dimatikan, gambarnya buram hingga tidak ada enaknya nonton siaran apapun. Perempuan di dalam sel yang mengaku bernama Rokmini pun tidak lagi bersuara. Mungkin sudah kehabisan lagu, entahlah.

Tapi adzan subuh belum lagi terdengar ketika dua oang penghuni sel berteriak-teriak ribut. Bripda Pambudi terlonjak kaget dari lelap beberapa menit, belari kea rah suara, diikuti oleh dua penjaga lain. Cepat membuka pintu sel, dan mendapati di dalam sana, mengenaskan sekali! Rokmini pucat-kaku, tidak lagi mengenakan apa-apa menutupi tubuhnya. Lidahnya menjulur, posisi tubuh tersender dengan leher terikat tali kutang di jeruji besi!

Bandung, 21 Maret  2014

Keterangan: 1.Penggalan lirik lagu Tony Q Rastafara, berjudul ‘Republik Sulap’. 2. Suratkabar Haluan, 29 Juli 2013, '143 Koruptor divonis bebas’. 3. ‘Mencuri 3 Buah Kakao, Nenek Minah Dihukum 1 Bulan 15 Hari’,  detikNews,  Kamis, 19/11/2009 15:24 WIB. 4. Penghuni Bawa Ganja, Pemilik Kontrakan Jadi Korban Pengadilan Sesat’,   04 July 2013 14:50, Gatra News

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun