Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Nonton Sepakbola Rasa Kesal, Timnas Indonesia Terpuruk

26 November 2014   09:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas  Philipina pada Piala AFF 2014 berakhir jelang maghrib Waktu Indonesia Barat tadi. Sebelum peluit dibunyikan panjang (bedakan dengan ‘peluit panjang dibunyikan’) remote saya telah mendahului memindahkan channel tv ke lantunan Adzan.

Maka usailah sudah rasa kesal yang sejak tendangan pinalti ke gawang Timnas Indonesia dilakukan.  Rasa kesal setelah gol itu makin menjadi-jadi, baik pada babak pertama maupun kedua. Darimana datangnya rasa kesal itu, silahkan simak tulisan berikut ini.

Kurang Tenaga, Kurang Berani

Bermain sepakbola selain skill, andalannya adalah kekuatan tenaga, stamina, nafas kuda dan seterusnya. Latihan dan menjaga kebugaran bagi setiap pemain sepakbola harus terus dilakukan, dan itu menjadi wajib hukumnya dalam keadaan apa dan bagaimanapun.

Namun pemain Timnas Indonesia di lapangan kelihatan kedodoran sekali. Ukuran seberapa stamina pemain dapat di lihat dari dua hal. Kalau kawan memegang/mendapat bola, maka cepat jauhi lawan (mencari ruang untuk menerobos dan agar umpan kawan tidak mudah dihadang lawan, serta melakukan gerakan tanpa bola untuk mengecoh dan membingungkan pemain lawan). Sebaliknya kalau bola lepas maka cepat pula dekati/jaga lawan.

Dua prinsip sederhana itu tidak dilakukan. Mungkin stamina, mungkin faktor usia, mungkin malas, dan banyak mungkin yang lain. Intinya daya juang rendah. Maka pemain Timnas Philipina begitu leluasa men-dribbling, passing, overlapping, dan ing-ing yang lain. Akibatnya sebuah backpass yang terlalu lemah menjadi ujung malapetaka. Pelanggaran di kotak pinalti, dan tendangan keras ke pojok gawang tidak terjangkau kiper.

Kurang tenaga dan kurang berani melakukan body contact menjadi malapetaka kedua. Lalu terjadi situasi kacau-balau dan porak-poranda sebelum gol kedua tercipta. Dua gol sudah Indonesia ketinggalan. Masih ada harapan untuk membuat gol balasan sebenarnya, tapi...

Kalah Postur, Kalah Cerdik

Pada beberapa kali pertandingan Timnas Indonesia, termasuk Timnas U 19, kalah postur terutama tinggi badan, sehingga pertandingan terlihat tidak seimbang. Dengan sebagian besar pemain lawan bertubuh tinggi-besar, maka setiap langkah-gerak dan apalagi pada perebutan bola, terasa berat sebelah.

Mungkin karena kesadaran itu beberapa kali corner kick selalu diarahkan ke tiang jauh, dan anehnya tidak ada kawan yang berada di sana. Beberapa kali tendangan itu melayang deras sia-sia. Sebaliknya Philipina mendapatkan satu gol dari tendangan pojok.  Bola meluncur ke tiang dekat, heading mengenai tiang gawang, mental keluar dan langsung dicocor pemain lawan menjadi gol.

Soal kecerdikan pun tim kita mengecewakan. Melakukan kesalahan di dalam kotak pinalti jelas hukumnya. Bahkan kartu merah yang diperoleh pemain kita menunjukkan kecerdikan pemain lawan. Pemain lawan berlari kencang dengan mendribbling bola memotong pergerakan pemain kita. Lawan menjatuhkan diri dan kartu merah diacungkan.

Kalau saja pelatih Alfred Riedl cukup cerdik, maka pemain muda dengan kelebihan kecepatan dan stamina diturunkan pada awal pertandingan. Pemain tua berpengalaman menjadi pengganti pada 15 menit terakhir.

Komentator, Penonton

Kesal makin bertambah-tambah saat mendengarkan suara komentator tv yang terus-menerus berbicara tentang teori-teori bermain sepakbola. Menjengkelkan sekali. Ia tidak menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana permainan di lapangan, tapi lebih banyak berteori dengan kata ‘bagaimana….. bagaimana……’.

Namun sehebat-hebatnya komentator, ternyata penonton tv di rumah pasti jauh lebih jago. Ketika pemain membuat kesalahan, langsung dimaki. Ketika pemain malas lari mengejar bola, spontan dibully. Ketika pemain salah umpan, dilempar sandal. Ketika komentator ngobrol sendiri nggak jelas juntrungannya, audio dimatikan. Ketika lawan berhasil menyarangkan bola ke gawang Timnas Indonesia sampai empat kali, saatnya siaran tv dipindahkan ke channel lain saja cepat-cepat.

Dimana-mana penonton selalu lebih pintar, lebih jago, dari siapapun. Pintar mengenali rasa. Karena itu hai PSSI, sesekali buatlah sepakbola rasa senang, rasa tambah, atau rasa rindu. Kalau cuma rasa kesal, gara-gara harga bbm naik pun spontan datang.

Terakhir, karena sok pintar, sok tahu, dan sok akrab itulah tulisan ini tersusun. Begitu saja ocehan kesal saya ini, jangan dimasukkan ke dalam hati! Punten ka sadayana. Hatur nuhun. Wilujeng wengi!

Cibaduyut, 26 November 2014

----------

Simak ocehan lain soal sepakbola dan demo:

Sepakbola-Punya-Cerita-

Manakala-Demo-Usai-Tinggal-Puing-dan-Penyesalan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun