[caption caption="event my diary"][/caption]
Kawanku, Diary
Hari ini terasa berbeda, sangat berbeda dibandingkan hari-hari lain. Tapi aku takut membicarakannya dengan siapapun kecuali dengan kamu. Ini mungkin sekedar perasaan haru, atau semacam kecengengan yang bermuara pada hati yang lemah. Maka rahasiakan ini sampai nanti jatah usiaku terpenuhi.
Tidak mungkin kuceritakan detilnya bagaimana, tapi terasa masa tua ini begitu berat membebani hati dan pikiran. Mungkin inilah akibat nyata dari masa laluku yang enggan berpikir berat. Semua dibikin enteng, dibiarkan mengalir seperti aliran air sungai, tidak secara teliti dan hati-hati dihitung-ditimbang dan dipikir matang. Semua dibikin enak, yang penting senang dan menang, meski kemudian ternyata itu semua semu.
Kalau sudah begini jadi teringat nasehat para tetua dan alim-ulama: tidak ada sesuatu pun di dunia ini kecuali mengikuti hukum sebab-akibat. Dalam bahasa agama disebut sunatullah. Perbuatan burukmu kepada siapa dan apapun akan kembali padamu, demikian sebaliknya. Padahal begitu banyak rangkaian kebusukan telah kulakukan, sebanyak pasir di pesisir, sebesar gunung-gunung, seluas bentangan laut dan langit. Tak terbayangkan betapa semua itu pernah kulakukan.
Maka bila hari ini aku merasakan deraan yang pahit, tak ada rasa lain kecuali penyesalan mendalam, juga keprihatinan yang tak tertahan-tahan. . . .
Temanku, Diary
Aku gampang sekali menitikkan air mata apapun alasannya. Bahkan siang tadi, ketika sedang menjemur pakaian cucu keduaku. Bayi enam bulan itu selalu kugendong dari pagi hingga malam disela kegiatanku menulis, ke mesjid untuk sholat berjamaah, berjalan kaki keliling kompleks, Â makan-minum serta mencuci pakaian.
Kuajak ia bermain dan ngobrol seperti kepada bocah yang sudah fasih berbahasa. Anehnya ia pun khusuk mendengarkan, sambil sesekali menggerak-gerakkan bibir seperti hendak berkata sesuatu, atau sekadar tersenyum serupa menanggapi obrolan yang lucu. Betapa aku merasa kehilangan dan membayangkan pakaian bayi itu sedang dikenakan cucuku yang lucu-imut dan  murah senyum. Aku tergugu.
Anak perempuanku, mantu, dan cucuku harus berpindah setelah sekian lama rumah mereka selesai direnovasi. Kedekatan dengan cucu itu –melebihi dengan siapapun sebelumnya- yang membuatku merasa sangat kehilangan.
Karibku, Diary