[caption id="attachment_389541" align="aligncenter" width="500" caption="sumber gambar driverlayer.com"][/caption]
1
Apapun yang kukatakan ada saja caramu untuk membantah. Apa saja yang kumau begitu banyak justru maumu yang kau desakkan padaku. Semua yang kunasehatkan menjadi bahan tertawaanmu. Aku bingung, sungguh, harus bagaimana lagi aku menyikapimu! Maka dengan ini kuputuskan aku menjadi manusia dengan mulut terkatup!
Aku akan seperti pohon pisang di kebun buah, seperti serumpun bambu di pinggir hutan, pun seperti awan yang berarak. Hanya angin yang mampu membuatku bersuara. Itu pun lirih, nyaris bisik. Bunyi daunan yang saling bergesek, siutan angin mengembara di celah bukit. Selebihnya diam, bisu, tanpa kata-kata, tidak bahkan untuk sekedar mengaduh.
2
Apa saja yang kau tuduhkan sudah kuakui, kujelas-terangkan bahkan segenap niat yang terpendam di dalam hati. Tapi tidak sesaat pun kau terima pengakuanku. Kau anggap semua dusta, dan kau reka sendiri kenapa aku lebih suka pergi meninggalkan semua yang siang-malam kuperjuangkan selama ini.
Kurasa kita bukan lagi sekompak dulu, tidak lagi saling mendengarkan suara resah, saling bertutur geliat gundah, sambil  berupaya mencari setapak keluarnya, bukan mempertanyakan ada maksud apakah disebalik itu. Selalu terbuka saja bibirmu dengan rasa curiga, dengan kata-kata setajam duri, dengan sorot mata seperti menguliti. Tidak ada lagi yang bisa kuucapkan selain lidah kelu, dan tanpa terasa air mata ini rintik satu-satu.
3
Dulu pernah bulat bumi ini cuma kita berdua penghuninya, itu kataku. Tapi entah bagaimana kamu membajak ungkapanku tanpa merasa bersalah. Dulu pernah semua rajutan benang tidak lain hanya cara kita untuk saling berkait, merekat, dan kemudian menjadi pembungkus dingin bahkan sunyi kesendirian kita masing-masing.
Namun cepat sekali rajutan itu rusak dan membosankan, seperti kebosanan kita pada kata yang tidak pernah berbeda rasa apalagi berpindah makna. Kalimat demi kalimat tersisa basa-basi, sering tercecap makin basi, entah kenapa. Itu alasanku tak lagi suka bertukar kata, dan lebih memilih mengatupkan mulut untuk seterusnya.
4
Itulah kata-katamu dengan tulisan pensil tergesa pada sesobek kertas bergaris kusam yang terselip diantara aneka catatan menu masakan yang tercecer di mana saja, lama waktu sebelum semuanya berlalu.
Apa yang dapat kusesali kini selain coba mengubah diri, menakar kata dengan sekedar senyum dan anggukan, dan kukira aku pun ingin mengikuti jejakmu, menjadikan sisa usia ini dengan rapat mulut terkatup. Tanpa suara, tanpa bertanya, tanpa berprasangka, apalagi mengaduh.
Bandung, 9 Â Januari 2015
Simak juga puisi sebelumnya
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/12/28/bebek-bebek-menjarah-kota-713252.
htmlhttp://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/12/22/atas-nama-dendam-cerita-dibalik-rindu-712173.
htmlhttp://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/12/18/sebutir-debu-manusia-711243.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H