1
Munir mati! Tak terlacak oleh siapa dan mengapa. Beribu hari, dan kelak jadi beribu tahun. Beribu lain juga mati, entah. Bahkan angin dan kabut pun bungkam, tak terungkap! Sejuta tahun lewat!
Munir mati! Begitu juga Marsinah. Widji Tukul, Udin. Para mahasiswa berdemo. Bagai hutan terbakar memberangus pagi. Lalu sandiwara itu riuh digelar dari subuh ke petang. Sekedar kiprah pelakon dan para dalangnya, atau semacam itu. Ironi ludruk, lenong, ketoprak! Munir mati! Siapa Munir? Entah!
2
Dari satu demi satu perkara. Anggota dewan tumbang di tangan keadilan yang pincang. Si Amin yang tragis, tidak pantas dipercaya. Terduduk lesu, mengkerut, jadi pesakitan
Beratus, beribu perkara lain antri sepanjang Sabang-Merauke. Maka semua anggota dewan pun pucat-pasi, pontang-panting berargumentasi. Bertumbangan. Nyaris mati!Al Amin, untuk menyebut satu nama, lalu siapa? Pecundang! Beribu masalah lain dengan pendekatan sama: Upeti! Korupsi! Ampun, oh, ampun!
3
Penyuka sesama lelaki pun mata gelap. Maka belasan lelaki dari dunia yang terbalik, terbantai ngeri. Ryan jadi selibritas, terobsesi pembunuh berantai. Tangkas suratkabar dan televisi menyiasati. Begitulah ladang penting berburu oplah, dan rating. Menggantikan bencana lumpur, tsunami, ekonomi tersungkur. Mengalihkan perhatian pada bencana banjir. Pengacau ritus cuaca.
Maka seketika karakter banci ditabukan tayang di media. Padahal semua terlanjur jadi banci. Bodoh, linglung, dan gamang. Bahkan kelak tidak ada lagi lelaki di negeri ini!
4
Secangkir kopi pahit, air mendidih, di kantor kpk. Ngepul aroma, petang mengental. Dan celoteh usang tak pernah usai: cerita manusia! Selingkuh? Sabu? Politik? Tanya suara lelaki di ujung sana. Balas dendam? Skenario besar membongkar negeri? Mungkin jerat rentenir, setinggi apa jejak ambisi. Tak berjawab pasti. Si perempuan modis menghirup buih di ujung cangkir kopi!
Di Mabes Polri lalu ponsel itu dicelupkannya dalam-dalam. Dalam didih beraroma kopi. Lalu gegas melangkah, di ujung jalan sana lelaki lain gelisah, siap menerkam rakus sesuai perintah! Ah, betapa semua cerita menjelma ironi!
Dayeuh Kolot, 2008 – 2009
-------------
Sumber : fineartamerica.com
--------------
Simak juga puisi lain:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/11/07/tonggak-waktu-701548.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/26/biarkan-pagi-menulis-puisi--698303.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/19/melontar-tanya-tak-terjawab-696605.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/13/merindu-rumah-tua-695093.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H