Dalam pemahaman saya, ada tiga tingkatan nilai dalam pekerjaan kita sehari-hari. Tingkatan pertama sekadar mengejar target. Tingkatan kedua dengan memberi nilai tambah, agar barang dan jasa yang dihasilkan memiliki nilai rupiah lebih. Dan yang ketiga, yaitu memberi nilai tambah dengan upaya meraih derajat keakhiratan.
Mengucapkan kata ‘Bismillah’ (dengan menyebut nama Allah) pada setiap awal kegiatan kita, tentu sangat baik. Sebab tidak ada sesuatu pun yang terjadi yang tidak sepengetahuan dan seizinNYa. Dan itu tak lain sebuah nilai tambah. Nilai-nilai yang dapat diraih bukan semata pada kegiatan ibadah dan amaliah, tetapi juga pada kegiatan sehari-hari yang lain yang mungkin kita anggap remeh-temeh belaka. Â
Menyebut, Niat Baik
Tiap-tiap pekerjaan baik itu hendaklah dimulai dengan menyebut nama Allah. Kegiatan makan, minum, berangkat ke sekolah/kuliah/bekerja, menyembelih hewan untuk dimakan dagingnya, Â dan sebagainya. Allah merupakan Zat yang Maha Suci, yang berhak disembah. Sementara itu apapun kehidupan dan pekerjaan kita di dunia ini tak lain hanya ladang untuk menanam, untuk menabur, dan untuk memulai sesuatu yang dapat dipetik hasilnya ketika masih di dunia maupun kelak di alam akhirat.
Bila amal-ibadah bulan Ramadhan dimaknai sebagai segala sesuatu yang serba keakhiratan, maka bagaimana dengan sebelas bulan sesudahnya? Apakah harus kembali pada kebiasaan yang menghalalkan segala cara, mengutamakan kepentingan dunia, dan mengejar nilai-nilai hedonisme yang semu dan menipu itu? Tidak, tentu saja tidak. Penolakan itu tidak sulit dilakukan manakala kita masih memiliki kesadaran, tidak dikejar tuntutan ini dan itu, serta bila masih boleh memilih. Sedangkan tuntutan dunia seringkali begitu kejam dan sering tidak memberi pilihan.
Menyebut nama Allah dalam kegiatan kita sehari-hari pasti bukan sekadar kata-kata kosong. Sebab di sana kita harus mengawalinya dengan niat pada tindakan yang baik. Betapa banyak tindakan yang tidak baik di sekitar kita, bahkan kemungkin kita menjadi pelakunya pula. Misalnya, mendapatkan keuntungan dengan cara curang, memulai pekerjaan dengan memina bantuan selain Allah, mendapatkan pekerjaan dengan cara kotor, memakan makanan yang bukan haknya, dan banyak lagi. Ucapan ‘bismillah’ tentu tidak bisa menghapuskan hal ‘buruk’ yang melekat pada apapun yang kita kerjakan/upayakan.
Nilai tambah yang dimaksud menjadi lebih bermakna manakala didahului dengan sikap keikhlasan, kejujuran, kedisiplinan, dan berkerja keras. Dengan kata lain, kata bismillah itu tidak sekadar di bibir, tidak semata kebiasaan tanpa memaknainya, terlebih hanya latah!
Mengeraskan, Mengingatkan
Tiap orang punya kebiasaan yang berbeda terkait dengan ucapan bismillah. Bebeapa kali saya bertemua dengan ibu-ibu tua berjilbab yang sangat suka mengucapkan bismillah dengan dikeraskan. Dan saya pun berprsangka baik, bahwa si ibu sedang mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia telah berniat baik. Besaman dengan itu mungkin ia juga berharap orang lain melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, ia mengingatkan orang lain. Sebab belum tentu seseorang suka dinasehati, lebih senang dicontohi.
Saya membayangkan, mungkin ibu itu terbiasa di tengah keluarga besarnya. Ada saudara-saudara di sekeliling, anak-cucu, dan bahkan tetangga. Maka ia mengeraskan ucapannya dengan berbagai maksud itu. Tentu tidak semua orang suka dengan tindakan itu. Terlebih mungkin orang yang tidak terlampau mempedulikan sikap/perilaku keberagamaan pada setiap sisi kehidupan.
Penutup