Di mana telapak berpijak jika bukan
di bumiMu, yang bergunung berhutan
lebat, dan di sebaliknya ketandusan dataran pasir,
gersang memanggang cemas menyihir
Di mana tangan menggenggam jika bukan
di rumahMu, yang megah
dari pualam, jati tua, bahkan logam mulia
berkilau menyilaukan indera
Di mana telinga mendengar nyanyi angin jika bukan
pada padang ilalang, rumpun bambu
juga  di sela belantara batu-batu, bersiutan
meniup siul pujian bermula purba
Dimana lidah menyulap kata-kata, bibir merapal
untai doa, gigi gemeratak
Mengunyah balok es hingga pecahan bara,
bertasbih padaMu
Dimana degup jantung,
aliran darah,
proses elektrik gumpal otak, dan entah lagi
Tak sebanding segenap anggota tubuh, dengan entah
berapa milyar nikmat
Yang tak terhitung dengan angka-angka manusia,
tak terbilang seberapa besar nilainya
Namun aku memilih ingkar, untuk mendzolimi diri
dengan mata dan pikir buta
Tak coba kucari dimana dan mengapa Engkau
semata karena sihir dunia! Gemerlap semu
Beratus abad sudah peradaban
silih berganti bangsa manusia, hingga kini
aku terduduk sendiri di ruang hampa, gelap
dan sunyi, menanti jawab atas semua
yang tak terjawab, sebab aku memilih
tuan yang dipertuhan, berkawan setan
untuk sirna,
sia-sia!
Bandung, 19 Oktober 2014
Simak juga puisi lain:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/13/merindu-rumah-tua-695093.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/09/22/aku-ingin-berbagi-padamu-689694.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/09/11/bangku-bangku-kayu-687128.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H