Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Berkomentar Positif, dan Saling Berwasiat

2 Januari 2015   17:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:58 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap tindakan seseorang pasti didasari oleh suatu alasan dan pemikiran tertentu. Namun kenapa kita lebih sering memilih melontarkan komentar negatif? Jangankan untuk hal-hal yang kontradiktif, untuk hal-hal yang normatif dan baik pun tak jarang yang muncul justru cibiran, prasangka buruk, komentar negatif.

Banyak contoh disekitar kita dapat dikemukakan. Mulai dari soal keluarga, bertetangga, hingga ke pekerjaan dan beragam urusan lain yang tiap orang pasti berbeda menanggapinya.  Tanpa sadar sering di depan mereka kita bermanis muka, tapi di belakang berkata lain….

Jangan lagi kita berhadapan dengan orang yang salah, lupa, kalah, atau celaka. Wah, makin ramai, heboh, dan nyaring pula komentar kita. Padahal tidak ada orang yang tidak pernah tersandung pada kondisi demikian. Bila bertumpu pada ketentuan agama bukankah lebih baik berkomentar positif. Karena itu berarti pula harapan, berprasangka baik, bahkan mungkin doa.

Rabi, Tumben

Pengalaman saya waktu kecil ngambek tidak meneruskan belajar ngaji karena Guru Ngaji memberi komentar yang sangat menusuk perasaan. Sebabnya sepele, saya tidak masuk pada jadwal ngaji sebelumnya. Apa katanya? “Kemana saja kamu? Rabi (bahasa Jawa: nikah, kawin), ya?”

Bayangkan perasaan anak baru umur 10 tahun  (tahun 1967). Sakit hati, sejak itu saya tidak pernah pergi mengaji lagi. Setelah agak besar baru saya sadari mungkin Guru Ngaji itu punya pandangan negatif terhadap pekerjaan bapak  saya! Urusan orangtua tapi anak terbawa-bawa.

Ucapan serupa Guru Ngaji itu yang dalam berbagai versi-kondisi maupun situasi dilakukan oleh umat Islam dalam berbagai tingkatan keilmuannya. Bayangkanlah bagaimana perasaan seorang lelaki yang tidak ke masjid kecuali sholat Jum’at, lalu saat ia datang pada sholat Maghrib dikomentari “Tumben ke masjid?”

Seorang karyawan menghabiskan waktu istirahatnya setelah sholat dan makan siang, juga dengan membawa kitab suci Al Qur’an di ruangan kerjanya. Ada saja orang lain yang berkomentar kurang senang: kenapa tidak di masjid, hanya mau pamer, atau banyak dosanya sih…..!

Bersabar, Tidak mengira

Bersabar dan mawas diri atas komentar negatf orang menjadi solusi terbaik. Untuk cerita ‘ngambek’, misalnya: “Kalau mau cepat fasih bacaannya jangan terlalu rajin membolos ya….” Untuk cerita ‘tumben’ menjadi : “Alhamdulillah sekarang sudah dapat menyempatkan waktu sholat berjamaah ke masjid!”. Untuk cerita ‘ngaji di ruang kerja’: “Rasanya jadi sejuk-tenteram, ikutan ah…..!”

Untuk orang yang dikomentari, kalau tidak cukup bersabar maka tindakan apapun yang kita lakukan mungkin justru akan merugikan diri sendiri. Membalas dengan komentar yang menyakitkan hati menempatkan kita pada perilaku yang sama-sama tidak terpuji.

Terkait dengan komentar negatif dan tidak bermanfaat itu Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah SWT yang ia tidak mengira yang akan dicatat oleh Allah SWT keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah SWT yang tidak dikiranya Allah SWT akan mencatatnya sampai hari Kiamat.”(HR. Tirmidzi; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Penutup

Demikian saja tulisan ringan ini, sebuah petuah untuk diri sendiri karena sering berkata –sadar maupun tidak sadar- bernada negatif dan juga tidak bermanfaat. Hemat saya, orang berkata negatif semata karena sifat/sikap sombong, pamer, mau menang sendiri, bodoh, ingin menyakiti perasaan orang lain, iri, dan aneka penyakit hati lain yang sangat tidak baik untuk dipelihara. Namanya juga penyakit, suatu ketika dapat saja membunuh kita bila tidak segera disembuhkan….

Demikianlah tulisan kecil ini hendaklah bukan sebuah kesia-siaan. Ditengah banyak kasus dan peristiwa yang memunculkan banyak perbedaan, pertentangan, dan bahkan permusuhan;  berpikir positif dan optimistik menjadi kearifan tersendiri.

Mudah-mudahan ini –dan banyak tulisan lain yang serupa di K- menginspirasi penulis lain untuk berlomba-lomba bertutur tentang ke-Islaman dan seribu-satu aspeknya –semampu kita, asalkan didasari niat baik, rendah hati, dan ikhlas-. Jumat menjadi hari yang baik untuk  saling berwasiat agar Islam tidak menjadi barang asing bagi pemeluknya sendiri. Mohon maaf atas kekurangannya, terimakasih bila sudi menyimak. Wassalam.

Bandung,  2  Januari  2015

-------------

Tulisan Sebelumnya:

Http://Edukasi.Kompasiana.Com/2014/12/24/Pahala-Yang-Mengalir-Nasehat-Akhir-Tahun-712668.Html

Http://Lifestyle.Kompasiana.Com/Catatan/2014/12/11/Mereka-Yang-Pergi-Mendahului-Sebuah-Renungan-709941.Html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun